Dunia maya dan media sosial membuat masyarakat lebih bebas menyampaikan aspirasi dan ekspresinya terhadap suatu hal. Hal ini karena di dunia maya, kita tidak berinteraksi secara langsung dengan lawan bicara kita. Maka aspek seperti rasa segan dan rasa malu tidak berlaku saat kita bermedsos. Lain halnya dengan saat berinteraksi di dunia nyata. Saat hendak menyampaikan sesuatu, kita pasti melihat dulu lawan bicara kita. Seringkali apa yang ingin kita ungkapkan kita pendam, karena sungkan dengan lawan bicara kita.
Indonesia adalah negara yang religius walaupun tidak menjadikan satu agama tertentu sebagai landasan hukumnya. Mayoritas rakyat Indonesia menganut agama Islam. Agama dalam hal ini Islam sudah melekat dalam keseharian masyarakat kita, misalnya ucapan “Assalamualaikum” yang dipakai dalam forum sebelum berpidato. Karena melekatnya rasa keberagamaan dalam masyarakat, kita tak akan menemui aksi-aksi secara frontal ungkapan kebencian terhadap ajaran Islam. Namun saya menemukannya di dunia maya, suatu sentimen yang biasa kita sebut dengan Islamophobia.
Secara sederhana, phobia berarti ketakutan terhadap sesuatu tanpa alasan yang jelas. Seorang bisa jadi takut dengan harimau, itu wajar karena harimau bisa memangsa manusia. Seorang boleh jadi takut saat ditodongkan pistol kepadanya. Ini wajar juga karena jika ditembak maka akan menyebabkan rasa sakit bahkan kematian. Namun ada seseorang yang takut terhadap orang asing misalnya, padahal orang asing tidak bermaksud mencelakainya. Ini namanya phobia, yakni xenophobia. Banyak orang yang takut dan alergi dengan ajaran Islam dan muslim, padahal seorang muslim tidak akan menyakitinya. Hal ini merupakan fenomena Islamophobia.
Di negara-negara Barat, Islamophobia sangat sering menimpa umat Islam di sana. Orang-orang barat mengidentikan Islam dengan aksi terorisme, pedofilia, kotor dan jorok, jahat dan lain-lain. Hal ini karena pengetahuan yang sampai mengenai Islam berasal dari kelompok yang memang mempunyai sentimen terhadap agama Islam. Islamophobia juga disebabkan rasa terancam kelompok mayoritas di barat atas perkembangan Islam yang merupakan kelompok minoritas. Keterancaman ini tak semata soal ideologi, namun juga persaingan ekonomi dan politik.
Islamophobia di Indonesia
Lantas jika di negara-negara barat sangat wajar munculnya Islamophobia, adakah Islamophobia di negara mayoritas muslim seperti Indonesia? Ini pertanyaan menarik. Setelah viral kasus klepon yang mengguncang jagat maya, saya membaca sebuah komentar di medsos. Bunyinya, siapa yang senang dan memviralkan meme klepon tidak Islami, berarti dia sudah terjangkit Islamophobia. Wow, saya kaget sekali, karena saya juga menulis soal klepon di IBTimes. Berarti saya terjangkit Islamophobia, benarkah?
Sebelum menjawab hal tersebut, saya ingin mengatakan bahwa Islamophobia di Indonesia itu memang ada. Saya menemukannya sendiri di media sosial. Ada seseorang yang mengupload foto zaman dulu, dimana mayoritas perempuan Indonesia tidak berjilbab. Dia lalu memberi caption, bahwa zaman dulu lebih baik karena perempuan terlihat rambutnya.
Sementara hari ini tidak bagus, karena perempuan banyak yang sudah berjilbab. Ada lagi yang mengunggah foto penari perempuan dengan baju daerah dan jilbab di kepalanya. Dia mengatakan bahwa hal tersebut adalah penyimpangan terhadap tradisi, harusnya penari dengan baju daerah tersebut tidak memakai jilbab.
Bagi saya serangan terhadap jilbab adalah bentuk Islamophobia, dimana dia mempermasalahkan penggunaan jilbab yang dipakai secara sukarela. Padahal muslimah yang mengenakan jilbab tidak merugikannya sama sekali. Lain halnya kalau ada seorang yang mengkritik aksi terorisme yang kebetulan dilakukan oleh seorang muslim. Ini bukan Islamophobia, tapi justru membersihkan Islam dari oknum teroris yang senantiasa mencoreng nama Islam. Karena terorisme adalah perbuatan yang merugikan banyak pihak dan umat Islam sendiri.
Muslim Pacaran dan Suka Bercanda
Saya membayangkan, dalam pikiran kelompok yang terjangkit Islamophobia itu yang ada dalam gambaran mereka muslim itu semuanya kaku, keras, kasar, tidak loyal dengan negara dan lain-lain. Mereka mungkin tidak tahu kalau sesama muslim itu suka bercanda. Mereka juga tidak tahu bahwa untuk menunjukan keakraban, terkadang sesama muslim memanggil saudaranya dengan nama julukan, misalnya saya punya kawan bernama Teguh, tapi sehari-hari dipanggil Bruno.
Kawan-kawan Islamophobia ini juga tidak tahu bahwa walaupun pacaran dilarang, tapi kawan-kawan saya saat kuliah yang alumni pesantren, banyak yang pacaran. Semuanya berakhir dengan putus, ada yang putus karena keduanya menikah, ada yang putus karena berpisah lalu menikahnya orang lain. Soal jilbab ini, saya katakan kepada yang anti jilbab bahwa percuma saja mereka anti dengan jilbab.
Selain karena dakwah Islam, jilbab bisa menjadi massif juga karena para produsen hijab mampu menyesuaikan dengan mode busana kekinian. Para produsen jilbab bisa mengubah citra jilbab yang asalnya kampungan menjadi modis. Inilah bentuk keberhasilan adaptasi ajaran Islam dengan perkembangan zaman. So, apa yang ditakuti kaum Islamophobia hanyalah ketakutan yang semu, hasil dari imajinasi mereka saja.
Tentu saja kita perlu hati-hati saat melabeli seseorang atau kelompok dengan Islamophobia. Kita tahu bahwa dalam Islam berkembang banyak pemikiran dan tafsir terhadap suatu isu, terutama soal terkait dengan fiqh. Kita tidak boleh memberi label Islamophobia terhadap orang yang pemahaman fiqhnya berbeda dengan kita. Islamophobia berlaku dalam persoalan-persoalan yang selama ini sudah bukan jadi masalah baik oleh umat Islam maupun non muslim, namun tiba-tiba ada yang mempermasalahkannya.
PKI-phobia dan liberalphobia
Tapi umat Islam jangan senang dulu, kalau orang kafir dan munafiq banyak yang terjangkit Islamophobia, sebagian muslim juga ada yang terjangkit PKI-phobia dan liberalphobia. Sebagai seorang muslim, kita boleh untuk menolak ideologi komunisme dan liberalisme. Namun menuduh satu pihak sebagai PKI dan liberal ini yang harus hati-hati. Kalau sedikit-sedikit menuduh PKI dan liberal terhadap sesama muslim, maka anda sudah terjangkit PKI-phobia dan liberalphobia. Lantas apa bedanya kita dengan para penganut Islamophobia?
 Saat viral kasus klepon, banyak yang langsung mengaitkan dengan PKI. Saya masih menerima kalau yang membuat meme klepon adalah seorang sekular atau sinis dengan sebagian umat Islam. Namun apakah wajib dikaitkan dengan PKI? Beberapa waktu yang lalu saya menulis di IBTimes tentang fatwa Muhammadiyah terkait mengutamakan sedekah dibanding kurban saat situasi pandemi. Di kolom komentar ada yang menulis bahwa gagasan tersebut liberal. Ya Allah Ya Rabbi… Kalau saya dibilang liberal sih tidak apa-apa. Ini Muhammadiyah dan Majelis Tarjih dituduh liberal.
Perlu dipahami bahwa pemikiran Muhammadiyah mengutamakan sedekah dibanding kurban di masa pandemi itu bukan pemikiran liberal, tapi kontekstual. Hari ini banyak yang mudah memvonis pemikiran kontekstual sebagai liberal. Mereka berpikir Islam harus dipahami secara tekstual. Padahal baik pemahaman tekstual maupun kontekstual dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Silahkan baca kembali kisah dua sahabat yang diperintah salat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah.
Intinya adalah, ada kesamaan antara Islamophobia, PKI-phobia dan liberalphobia. Sama-sama memvonis duluan baru berpikir. Padahal yang benar adalah berpikir dahulu baru memvonis. Bukankah kita diajari mahfuzhat Al ‘Ilmu qablal qauli wal ‘amali, berilmu dulu sebelum berkata dan bertindak. Maka dari itu marilah kita hindari sikap phobia-phobia terhadap pemikiran apapun. Tidak setuju boleh, menolak boleh, tapi phobia jangan.
Editor: Yusuf