Selayang tentang Ivan Illich
Ivan Illich, filsuf dan teolog berkebangsaan Austria, lahir di Wina pada 4 September 1926. Ia memulai perjalanan akademisnya dengan menempuh pendidikan teologi di Universitas Gregoriana Roma hingga ditahbiskan sebagai imam. Kemudian melanjutkan studinya hingga meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Louvain, Belgia.
Perjalanan intelektualnya semakin berkembang melalui keterlibatannya dalam dunia pendidikan di Puerto Rico dan Meksiko. Pada tahun 1956, ia mendirikan Centro Intercultural de Documentacion (CIDOC), sebuah pusat penelitian yang berfokus pada pertukaran budaya.
Pemikiran kritis Illich tentang sistem pendidikan konvensional terbentuk melalui kolaborasinya dengan Everett Reimer, pemikir pendidikan Amerika yang menulis buku terkenal School is Dead (1971). Bersama-sama, keduanya mengembangkan konsep “Deschooling” yang menekankan pendekatan pendidikan terdesentralisasi, berbasis masyarakat, dan berkelanjutan.
Dalam karya monumentalnya ‘Deschooling Society‘, Illich dengan tegas menantang paradigma pendidikan tradisional dan mengajukan model pendidikan yang lebih inklusif, kontekstual, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Pengalamannya sebagai pengajar di University of Puerto Rico dan University of Chicago semakin memperkaya perspektifnya tentang pendidikan. Illich mengadvokasi perlunya transformasi mendasar dalam sistem pendidikan yang tidak sekadar berfokus pada transfer pengetahuan, tetapi juga harus mampu memberdayakan individu untuk belajar secara mandiri dan berpikir kritis.
Institusional Pendidikan Bukan Sarana Mencapai Kesejahteraan
Ivan Illich dengan tegas menyatakan bahwa keberadaan institusi modern justru menciptakan dan mengendalikan berbagai kebutuhan manusia, menjadikan manusia beserta kreativitasnya sekadar objek. Kebutuhan yang seharusnya dapat dipenuhi secara mandiri kini telah berubah menjadi komoditas yang hanya bisa diperoleh melalui institusi.
Hal ini berdampak negatif bagi masyarakat, di mana institusi berhasil memanipulasi pola pikir mereka untuk meyakini bahwa layanan yang ditawarkan adalah kebutuhan mendasar yang wajib dipenuhi. Akibatnya, muncul ketergantungan psikologis terhadap layanan institusi yang menghambat kemandirian masyarakat.
Masyarakat modern cenderung memandang kesejahteraan sebagai hasil dari pelayanan institusi – pengetahuan dianggap sebagai produk pengajaran sekolah dan kesehatan dipandang sebagai hasil pelayanan rumah sakit. Namun alih-alih menciptakan keadilan dan kesejahteraan, institusi justru mematikan kesadaran dan kreativitas manusia. Lebih jauh lagi, institusi malah menjadi sarana eksploitasi dan menciptakan kesenjangan antara golongan miskin dan kaya.
Kritik Illich ini muncul sebagai antitesis atas keyakinan bahwa semakin banyak institusi dibangun, semakin baik pula kehidupan sosial masyarakat. Pandangan umum menganggap kesejahteraan masyarakat bergantung pada kuantitas institusi, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, maupun lainnya.
Faktanya, meski pembangunan institusi kesehatan dengan teknologi mutakhir marak di berbagai belahan dunia, virus dan penyakit baru justru terus bermunculan. Demikian pula dalam bidang pendidikan – meski institusi pendidikan terus bertambah, angka kemiskinan tidak menurun melainkan semakin meningkat.
Paradoks Institusional
Seperti dibahas sebelumnya, pendidikan modern telah bertransformasi menjadi institusi yang kehilangan makna hakikinya. Miskonsepsi tentang institusi sebagai wadah kesejahteraan masyarakat telah tersebar luas secara global dan mempengaruhi kebijakan pemerintah di berbagai negara yang mengaitkan penanggulangan kemiskinan dengan pembangunan sekolah.
Amerika menjadi contoh nyata, di mana korelasi antara kemiskinan dan durasi pendidikan formal dianggap indikator penting dalam upaya pengentasan kemiskinan. Namun realitanya, pembangunan sekolah tidak selalu efektif mengatasi kemiskinan.
Sebaliknya, hal ini menimbulkan dampak negatif yang kompleks. Secara ekonomi, pembangunan dan peningkatan kualitas fisik sekolah membutuhkan biaya tinggi. Secara sosial, kehadiran sekolah menciptakan stratifikasi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan dan penghargaan akademis. Secara ekologis, pembangunan sekolah berkontribusi pada kerusakan alam melalui penggusuran lahan dan penebangan pohon.
Pandangan Ivan Illich tentang pendidikan formal mengungkap paradoks yang relevan dengan dunia pendidikan kontemporer. Di satu sisi, pendidikan formal dipandang sebagai solusi utama mengatasi masalah sosial, khususnya kemiskinan, dengan asumsi bahwa tingkat pendidikan berbanding lurus dengan peluang mobilitas sosial. Di sisi lain, implementasi sistem pendidikan formal justru menghasilkan dampak yang bertentangan dengan tujuan awalnya.
Sekolah telah mengkomodifikasi pendidikan menjadi sesuatu yang hanya bisa diperoleh dengan biaya tinggi. Hal ini memperkuat persepsi bahwa pendidikan adalah privillege yang hanya dapat diakses oleh kalangan mampu secara finansial. Akibatnya, masyarakat menerima premis bahwa pendidikan itu mahal dan durasi pendidikan berkorelasi langsung dengan status ekonomi. Pandangan ini tidak hanya menciptakan kesenjangan sosial, tetapi juga memperkuat hierarki ekonomi yang ada.
Dengan demikian, realitas pendidikan saat ini bertentangan dengan visi dan misi awalnya, serta menyimpang dari gagasan ideal para reformis pendidikan terdahulu. Ironis bahwa institusi pendidikan justru kehilangan esensinya hingga sulit dikenali sebagai “pendidikan” dalam makna yang sesungguhnya.
Pentingnya Perayaan Kesadaran: dari Institusionalisasi Menuju Deinstitusionalisasi
Ivan Illich menempatkan “kesadaran masyarakat” sebagai solusi fundamental atas berbagai masalah sosial yang timbul dari ketergantungan pada institusi formal. Menurutnya, kesejahteraan sejati hanya dapat dicapai ketika individu dan komunitas berpartisipasi aktif dalam kehidupan mereka sendiri, tanpa terkekang oleh struktur institusional yang hierarkis.
Filsuf Austria ini mengadvokasi pendekatan pendidikan yang berpusat pada kebutuhan individu dan komunitas. Ia mengusulkan sistem pembelajaran yang lebih fleksibel dan aksesibel tanpa harus melalui jalur formal. Pembelajaran seharusnya berlandaskan pengalaman nyata, keterampilan praktis, dan eksplorasi minat individu, bukan sekadar mengejar gelar atau sertifikasi.
Illich juga menentang teori ekonomi konvensional yang mengaitkan kesejahteraan manusia dengan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, konsep ini keliru karena mereduksi kodrat manusia menjadi sekadar “homo economicus” – meminjam istilah Adam Smith – makhluk yang hanya dinilai dari aspek ekonomi. Bagi Illich, kesejahteraan manusia ditentukan oleh penghargaan terhadap nilai hidup dan kebebasan individu, bukan semata-mata peningkatan finansial.
Ia memperingatkan bahwa masyarakat dapat mengalami disintegrasi ketika produksi massal menciptakan lingkungan yang tidak ramah, merusak struktur komunitas, dan mendorong polarisasi sosial serta spesialisasi yang terfragmentasi. Model pertumbuhan ekonomi semacam ini, menurutnya, merusak hubungan sosial dan ekosistem penopang kehidupan.
Illich menekankan bahwa setiap upaya memajukan kesejahteraan masyarakat harus didasari pertimbangan moral yang mendalam. Setiap tindakan individu hendaknya tidak berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Ia mengenalkan prinsip conviviality (keramahtamahan), di mana manusia diajak hidup selaras dengan sesama dan lingkungan, dengan menghargai nilai-nilai moral, sosial, dan ekologis.
Penting dicatat bahwa Illich tidak menolak keberadaan institusi secara total. Ia menawarkan konsep “Deinstitusionalisasi” – sebuah revolusi institusional yang mengorientasi ulang tujuan pembentukan institusi dari yang semula berfokus pada aspek ekonomis sepihak menjadi lebih harmonis dengan memperhatikan keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan dampaknya bagi masyarakat serta lingkungan.
Pada akhirnya, Illich menghendaki setiap institusi yang dibentuk harus didasarkan pada tujuan menjawab kebutuhan masyarakat melalui hubungan yang otonom dan kreatif, baik antar individu maupun antara individu dengan lingkungannya.
Editor: Soleh