Falsafah

Averroes dan Kehormatan Syariat

6 Mins read

Para Filsuf dan Syariat Islam

Averroes (1126-1198 M) adalah salah satu filsuf terpenting yang pernah dilahirkan peradaban besar Islam. Kita sangat jarang diberitahu bahwa para filsuf seperti Averroes ini selain serius menekuni disiplin filsafat dan sains, juga serius melindungi kehormatan syariat Islam. Ini bukan pernyataan berlebihan, sebab para filsuf Muslim selalu mengawali epistemologi dan worldview mereka dengan menerima dua bentuk pengetahuan: wahyu dan nalar.

Barangkali dimulai dengan Al-Kindi (796-873 M), para filsuf Muslim selalu mengajukan satu teori penting bernama unity of truth (kesatuan kebenaran). Dilihat dari satu sisi, teori ini hendak membela validitas pengetahuan filosofis di hadapan serangan kaum ulama yang menolaknya. Namun dari sisi yang lain, kita tahu bahwa teori ini berlaku juga untuk membela validitas syariat dari serangan banyak pemikir yang menolaknya.

Averroes sendiri termasyhur dengan teori unity of truth ini. Dalam Fashl al-Maqal (19) ia menyatakan:

Setelah kita menyakini bahwa syariat itu benar dan bahwa ia mendorong pada penalaran yang akan membawa pada kebenaran, maka kita dapat mengetahui dengan definitif bahwa penalaran demonstrasi tidak akan berlawanan dengan apa yang dibawa oleh syariat. Hal ini sebab, kebenaran tidak akan menentang kebenaran, melainkan mendukungnya dan menjadi saksi atasnya.

Mungkin tidak sempat terpikir oleh kita, namun pendirian seperti ini sebenarnya menunjukkan pandangan luas dan kelapangan dada bagi orang yang menghayatinya. Inilah yang dimaksud oleh reformer Muslim Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Syafii Maarif, sebagai spirit kosmopolitanisme Islam. Fakta bahwa para filsuf kita menularkan spirit ini diakui pula oleh Prof. Romauld Landau (1962):

Adalah dari orang-orang Arab-Muslim, Eropa belajar cara berpikir yang objektif dan ilmiah, dan belajar berlapang dada dan berpandangan luas. Inilah nilai-nilai dasar yang membimbing Renaisans, dan mendorong terciptanya kemajuan bagi peradaban Barat.

***

Salah satu pendorong utama mengapa tercipta tradisi teologi rasional dan filsafat Islam yang dimulai sejak abad 8 Masehi adalah tantangan dari agama lain dan para pemikir bebas (mulhidun). Pemikir seperti Ibn al-Muqaffa, Ibn Rawandi, dan Abu Bakr al-Razi mengkritik nilai kebenaran wahyu dan kenabian.

Tanpa menolak eksistensi Tuhan, mulhidun ini mempertanyakan landasan rasional dari kemestian adanya nabi dan wahyu. Mereka juga berteori bahwa apabila para nabi itu tidak pernah ada, pasti umat manusia tidak akan berpecah dan saling berperang.

Pada saat itulah, teolog rasional dari mazhab Mu’tazilah dan para filsuf tampil membela kebenaran syari’at. Menurut Marshall Hodgson (1974), inilah situasi yang mendorong tradisi kalam untuk lahir.

Baca Juga  Machiavelli, Sang Guru Politik Modern

Menurut Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana akan senantiasa menjaga kehidupan manusia dalam kondisi terbaik (aslah). Hadirnya syariat yang Tuhan wahyukan bertujuan untuk itu. Filsuf Ibn Thufayl (1110-1185 M) juga melihat hal yang sama. Menurutnya, dengan nalar, manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan, namun manusia membutuhkan wahyu untuk mengerti cara mendekatkan diri kepada Tuhan itu.

Inilah masa ketika tercipta satu disiplin dalam kesarjanaan Islam yang disebut dengan dala’il al-nubuwwah [argumen-argumen kenabian]. Para filsuf utama seperti Al-Farabi dan Avicenna juga mendalami disiplin ini dan menulis secara panjang lebar perihal filsafat kenabian.

Menurut Avicenna, di antara derajat nalar yang dimiliki jiwa manusia, yang tertinggi adalah yang disebut dengan al-hads [intuisi] para nabi. Berlandaskan pada skema Al-Farabi, Avicenna membela kesatuan wahyu dan filsafat, sebab sumber kedua-duanya adalah sama, meski filsuf memperolehnya melalui upaya sulit, sementara nabi, dikarenakan al-quwwah al-qudsiyyah jiwanya, memperoleh dengan cara mudah.

Averroes dan Pembelaannya

Pada esai ini kita mengekspos secara khusus teori Averroes di atas, bahwa “kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran, melainkan mendukungnya dan menjadi saksi atasnya”. Pada satu titik, pandangan Averroes ini berposisi membela kebenaran –dan dengan begitu, kehormatan– syariat.

Di antara penilaian rendah atas syariat adalah anggapan bahwa syariat –dalam arti terluas dan mendasarnya sebagai wahyu Tuhan yang dikodifikasi dalam kitab suci– adalah berisi informasi yang tidak ilmiah dan karena itu tidak berguna untuk kehidupan manusia.

Pada masa kita hidup saat ini, hal seperti ini semakin sering kita dengar. Berlandaskan pada skeptisisme terhadap nilai historis kitab suci dan nilai epistemologis wahyu, sejumlah sarjana berpendapat bahwa pada dasarnya manusia tidak membutuhkan fiksi-fiksi zaman dahulu bernama kitab suci. Pendapat ini tidak baru. Akarnya dapat ditemukan pada skeptisisme filsuf naturalis Yunani kuno, atau mulhidun di zaman klasik Islam.

Yang selalu menarik dari rasa curiga kaum skeptik adalah mereka tidak pernah skeptis terhadap pendapatnya sendiri. Pada banyak hal, mereka sangat yakin bahwa apa yang sedang mereka pikirkan adalah jawaban finalnya. Mereka pun memutuskan secara generalis bahwa tanpa perlu penelitian lanjutan dari sudut pandang berbeda, semua isi kitab suci adalah fiksi, tidak ilmiah, dan pada dasarnya tidak benar-benar bernilai guna.

Pada titik inilah pandangan Averroes menjadi penting. Dengan Fashl al-Maqal, tujuan pertama Averroes sebenarnya adalah membela kedudukan filsafat dengan dukungan syariat. Namun, saya juga melihat, di saat yang sama Averroes meneguhkan kedudukan syariat. Menurut Averroes filsafat tidak lebih dari penalaran sistematis kita terhadap segala yang ada, dan apabila begitulah ia, maka sebenarnya syariat menyuruh kita menekuninya, sebab syariat berisi perintah untuk itu (Fashl al-Maqal, 2-3).

Baca Juga  Monadologi GW Leibniz: Rasionalisasi Entitas Melalui Ayat Kauniyah

Dari satu hal kecil tersebut, kita memahami juga bahwa itu berarti syariat berisi perintah yang tepat, dan sudah pasti baik. Di titik ini, tidak terbukti bahwa syariat tidak berisi kebenaran dan kebermanfaatan.

***

Seperti teolog rasional lainnya, Averroes merasa penting untuk melihat syariat berdasarkan tujuan kehadirannya. Di sini Averroes menerapkan doktrin teleologis Aristoteles ke dalam cara memandang syariat. Dengan begini syariat dilihat sebagai mengandung tujuan dan maksud. Averroes berkata (Fashl al-Maqal, 57):

Wajib kamu ketahui bahwa maksud adanya syariat hanyalah untuk mendidik pengetahuan yang benar dan perilaku yang benar. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan kita pada Tuhan yang maha suci dan maha tinggi dan segala yang ada sebagaimana adanya, lalu pengetahuan atas syariat, dan pengetahuan tentang kebahagiaan dan kesengsaraan akhirat. Sementara perilaku yang benar adalah patuhnya kita melaksanakan perbuatan yang menghasilkan kebahagiaan, dan menjauhi perilaku yang menyebabkan kesengsaraan itu.

Dari doktrin yang Averroes sebut maqshud al-syar’ ini, tidak akan berlaku anggapan bahwa syariat tidak bernilai guna bagi manusia.

Di tangan Abu Ishaq al-Syathibi (1320-1388 M), doktrin ini dimantapkan menjadi teori maqashid al-syari’ah yang termasyhur itu. Dalam Al-Muwafaqat ia berkata bahwa apabila secara empiris ayat-ayat kitab suci diperhatikan satu demi satu, maka akan ketahuan bahwa al-ahkam al-syar’iyyah ditujukan untuk menciptakan maslahat untuk komunitas manusia.

Keunggulan Syariat, dan karena itu, Kehormatannya

Averroes juga menganulir anggapan tidak ilmiahnya apa yang syariat [baca: kitab suci] sampaikan. Hal pertama dalam perkara ini yang kita pahami dari Averroes adalah perbedaan karakter antara syariat dan buku-buku filsafat/sains.

Jelas syariat bukan sebuah buku filsafat. Menurut Averroes, syariat lebih luas dari filsafat, sebab ia berisi ajaran kepada umat manusia untuk berkembang secara moral dan intelektual, mengatur kehidupan bersama, dan terutama mendekatkan diri kepada Tuhan (Tahafut al-Tahafut, 354).

Karena karakter syariat yang luas ini, Averroes juga menunjukkan bahwa cara syariat “berbicara” kepada umat manusia adalah dengan beragam metode. Apabila filsafat dan sains hanya semata-mata memakai metode demonstrasi untuk sampai pada keyakinan akan kebenaran sesuatu, maka syariat, di samping demonstrasi, juga menggunakan metode retorika dan dialektika (Fashl al-Maqal, 19).

Baca Juga  Rene Descartes: Tuhan Ada, Maka Aku Ada

Menurut Averroes, pluralitas cara berbicara ini lebih pantas bagi syariat, dan membuktikan unggulnya syariat atas yang lain. Buku-buku demonstrasi dalam filsafat dan sains secara alamiah tidak mungkin sampai ke tangan orang-orang biasa, orang-orang yang justru menjadi elemen mayoritas masyarakat. Akibatnya, dampak yang bisa filsafat dan sains berikan tidaklah merata.

Hal ini berbeda dengan syariat, sebab ia berbicara secara lengkap, dan menurut Averroes, bahkan memprioritaskan masyarakat umum. Oleh karena itulah, lanjut Averroes, syariat lebih banyak mengandung penyampaian retoris dan dialektis (Fashl al-Maqal, 59-60).

Di titik ini, justru adalah absurd dan sedikit lucu apabila kaum skeptik menilai rendah syariat karena alasan terdapat di dalamnya retorika dan dialektika yang tidak ilmiah. Jelas saja tidak ilmiah, karena memang itu bukan buku filsafat atau sains. Dan berdasarkan argumentasi Averroes barusan, hal ini justru tidak berimplikasi pada rendahnya nilai syariat, melainkan pada unggulnya syariat yang dapat berbicara menjangkau semua kalangan.

Kosmopolitanisme Islam

Sebagai penutup saya ingin kembali pada implikasi besar dari teori unity of truth Averroes, yaitu munculnya kesadaran kosmopolitan. Ada tiga pernyataan penting dari Averroes berkenaan dengan spirit kosmopolitan ini:

Apabila orang selain kita telah mendalami metode ilmiah, maka jelas bahwa wajib atas kita untuk meminta bantuan mereka untuk mempelajari metode ini. Tidak ada masalah apabila mereka itu seagama atau tidak seagama dengan kita (Fashl al-Maqal, 10).

Adalah wajib atas kita –apabila bangsa-bangsa terdahulu telah mendahului kita perihal penalaran ilmiah atas segala sesuatu, dan perihal investigasi atas itu semua menggunakan metode demonstrasi– untuk belajar dari apa yang mereka tuliskan tentang itu semua dalam buku-bukunya. Apabila yang mereka temukan itu memang benar, kita pun menerimanya, dan bersyukur atasnya. Dan apabila ternyata keliru, kita pun menyadarinya, berhati-hati, dan memaafkan kekeliruan mereka (Fashl al-Maqal, 15).

Mempelajari buku-buku filsuf dan ilmuwan terdahulu dari peradaban lain adalah wajib menurut syariat. Hal ini sebab tujuan mereka dengan buku-buku itu adalah tujuan yang sama yang didorong oleh syariat kita (Fashl al-Maqal, 16).

Dengan ajaran kosmopolitan ini –yaitu gagasan bahwa kita hidup sebagai warga dunia dan butuh saling belajar dari sesama manusia– maka kehormatan syariat kita turut ditinggikan. Adalah syariat yang bernilai mulia yang akan mendidik pengikutnya untuk berhati lapang dan berpandangan luas seperti ini.

Editor: Yahya

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *