Pada 7 Desember 1998 atau 22 tahun yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk pertama kalinya mewawancarai Jakob Oetama, pendiri dan pemimpin umum Harian Kompas yang merupakan koran terbesar di Indonesia.
Pada waktu itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Survey Research Indonesia (SRI), jumlah pembaca Kompas di tujuh kota besar yang diteliti adalah 1.827.000 orang. Dengan berkembangnya media online saat ini, jumlah pembaca koran cetak kompas tentunya mengalami penurunan, tapi tetap merupakan yang terbesar di Indonesia.
Kesempatan yang diberikan Jakob Oetama untuk mewawancarainya itu merupakan sesuatu yang mengejutkan. Ini karena saya hanya seorang mahasiswa dari, ini perlu dikenankan, universitas yang bukan bagian dari Ivy League di Indonesia, seperti UI, ITB, dan UGM.
Wawancara juga tidak dilakukan untuk sebuah disertasi atau publikasi besar, tapi sekadar untuk skripsi sarjana S1 IAIN Syarif Hidayatullah yang berjudul “Relasi Kuasa: Analisis Hubungan Keberagamaan Kh Abdurrahman Wahid – Harian Kompas 1984-1998”. Dengan ditemani Tuti Alawiyah, saya berangkat menemui Pak Jakob dengan naik bis kota. Wawancara yang berlangsung sekitar satu jam itu dilaksanakan di Gedung Gramedia Lt. 7 Jakarta.
Kompas dan Isu Agama
Di antara pertanyaan yang saya ajukan ketika itu adalah terkait pemberitaan Kompas yang cukup banyak tentang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan bagaimana kebijakan Kompas tentang isu-isu agama. Ini, misalnya, terkait dengan pemberitaan Kompas pada 13 Maret 1998. Ketika itu tidak ada satu media cetak pun yang mengangkat berita tentang kepulangan Gus Dur ke rumahnya setelah menjalani perawatan di rumah sakit sebagai headline. Hanya Kompas yang melakukan itu.
Sejarah kelahiran koran itu tentu saja sangat dekat dengan umat Katolik karena didirikan oleh Partai Katolik. Menurut Ahmad Arif dalam tulisannya yang berjudul “Dari Represi Politik ke Jeratan Kapital: Praktik Swasensor di Harian Kompas dalam Mewacanakan Toleransi Beragama” (2017, 174), Kompas hanya melakukan perekrutan wartawan dari jaringan partai dan agama hingga tahun 1970. Warna keagamaan yang monolitik ini tentu bisa dipahami karena organisasi yang mendirikan, dalam rangka izin penerbitan, Kompas juga bekerjasama dengan gereja di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mendapatkan sejumlah pelanggan untuk mendapatkan izin penerbitan.
Keterkaitan sejarah Kompas dengan Katolik itu di antaranya yang membuat beberapa orang lantas memandang nama Kompas merupakan kependekan dari “Komando Pastur”. Sebutan ini, menurut Julius Pour (1994), sengaja dibuat dan disebarkan oleh massa Komunis untuk mendiskreditkan koran itu dan untuk menghasut rakyat.
Ini terjadi karena kelahiran Kompas pada 28 Juni 1965 membangkitkan penentangan dari media massa kiri kala itu. Kompas sendiri semestinya sudah menyadari itu karena salah satu tujuan pendiriannya adalah memang sebagai imbangan terhadap kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menguasai public discourse di Indonesia karena kekuatan media massa yang dimiliki.
***
Kompas mengubah wajahnya menjadi lebih terbuka dengan merekrut wartawan dari berbagai latar belakang agama mulia awal 1970 (Arif 2017, 174). Perubahan Kompas itu banyak dipengaruhi oleh dua pendiri dan pimpinannya, yaitu: Petrus Kanisius Ojong atau P.K. Ojong dan Jakob Oetama yang memiliki pandangan kemasyarakatan dan keberagamaan yang luas, inklusif dan terbuka.
Seperti disampaikannya dalam wawancara yang saya lakukan, Kompas ingin menjadi forum, jembatan, dan wacana dalam bidang kemasyarakatan pada umumnya, termasuk dalam bidang agama. Jakob, seperti disampaikannya, menerapkan prinsip ini dalam kebijakan editorial maupun dalam bidang perekrutan sumber daya manusia.
Terkait pemberitaan tentang Gus Dur, seperti disampaikan Pak Jakob, bukan karena ia memiliki banyak massa, namun karena ia memang memiliki nilai berita yang harus disampaikan kepada pembaca dan memiliki pemikiran yang sejalan dengan Kompas. Seperti kemanusiaan, keberagamaan, dan kebangsaan yang inklusif.
Gelombang Tekanan Baru kepada Kompas
Setelah Reformasi 1998, Kompas menghadapi dinamika yang tak sederhana terkait bagaimana mengelola dan memberikan isu agama. Jika dalam hal politik Kompas bisa survive dan bahkan sukses dalam menghadapi tekanan sosial dan politik di masa Orde Baru, sekarang ujian dan dan tekanan itu bukan hanya dari atas, tapi juga dari bawah.
Bersamaan dengan reformasi, berbagai kelompok agama yang sebelumnya ditekan oleh pemerintah atau bergerak di bawah tanah mulai bermunculan dan bersuara lantang. Demikian pula dengan berbagai kelompok garis keras, seperti Front Pembela Islam (FPI), yang bermunculan pasca Reformasi.
Tidak hanya sekali Kompas didemo oleh kelompok garis keras, seperti FPI. Terakhir terjadi pada 16 Juni 2016, terkait pemberitaan Kompas tentang Saeni yang membuka warungnya di Serang pada bulan Ramadlan yang kemudian ditutup Satpol PP. Kompas dianggap menyakiti umat Islam dengan memberitakan secara bias dan tak proporsional terkait hal tersebut.
Terhadap tuntutan FPI untuk minta maaf, mengakui kesalahan, dan melakukan langkah-langkah tertentu, Kompas menyetujui semuanya (Lihat di sini; juga lihat ulasan Ahmad Arif [2017]). Sejak saat itu, sepertinya kita tak pernah membaca pemberitaan yang menyinggung FPI di Kompas.
Kompas Menyuarakan Islam Moderat
Kompas menjalin hubungan erat dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan individu-individu yang menyuarakan Islam moderat dan rahmatan lil ‘alamin, seperti Azyumardi Azra dan Ahmad Syafii Maarif.
Suara dan idealisme keagamaan Kompas sepertinya memang disalurkan atau di-echo-kan melalui mereka, sama seperti dulu ketika mereka mengangkat berbagai pemberitaan tentang Gus Dur. Namun Kompas mengerem atau mensensor dirinya untuk bersikap kritis terhadap berbagai gerakan Islam radikal.
Sikap Kompas terhadap isu keagamaan itu tentu berbeda dari Tempo (koran dan majalah) yang lantang mengkritik kelompok garis keras Islam. Sikap Kompas terhadap kelompok garis keras Islam ini yang sering membuat saya bertanya-tanya, apakah ini sebuah pilihan yang tepat atau pilihan yang tidak tepat? Barangkali waktu nanti yang akan membuktikan. Secara sederhana, kita bisa menduga mengapa Kompas bersikap seperti itu. Di antaranya adalah karena Kompas dimiliki oleh kelompok minoritas agama tertentu.
Seperti ditulis oleh Vedi R Hadiz dalam artikelnya “Jakob Oetama dan Dunia Intelektual” (Kompas, 17/9/2020) bahwa “mencari keseimbangan antara tuntutan bisnis, tuntutan negara, dan minat atau idealisme akan sulit di tiap konteks”. Dalam hal keagamaan, saya kira Kompas menghadapi dilema yang sama peliknya untuk mencari keseimbangan antara idealisme keagamaannya, tuntutan bisnis, dan naiknya konservatisme keagamaan.
Itulah barangkali yang melatarbelakangi kebijakan Kompas dalam memberitakan isu-isu keagamaan. Seperti yang ditulis Vedi terkait tulisan-tulisan kritis terhadap pemerintah, Kompas juga sering mengedit atau menghaluskan bahasa terkait sikap-sikap kritis tentang keagamaan dan hubungan antar-agama.
Setelah menahkodai Kompas selama lebih dari 50 tahun, Pak Jakob meninggal dunia pada 9 September 2020 dengan meninggalkan koran Kompas yang berwajah pluralis dan nasionalis. Ini adalah sebuah amal jariyah yang tak berhenti pahalanya. Rest in peace, Pak Jakob! Namamu akan dikenang selamanya!