KH. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur adalah salah satu tokoh Islam yang juga sekaligus tokoh bangsa. Satu dari sekian banyak pemikiran dan pandangan beliau adalah yang dikenal dengan “Islam Kita.” Apa sebenarnya “Islam Kita” tersebut? Dan bagaimana jalan tempuh pengaktualisasiannya?
Rukun Agama Islam
Rukun agama dalam Islam dapat dibagi pada tiga segi, yaitu iman, Islam dan ihsan. Pada tataran iman, pemahaman umat Islam di sekitar kita cenderung serupa alias banyak kesamaan. Misalnya pemahaman dan keyakinan tentang ke-Esa-an Allah, sifat-sifatNya, malaikat-malaikatNya, rasul dan nabiNya serta kitab-kitabNya.
Menurut Asep Maulana Rohimat dalam Metodologi Studi Islam, keimanan itu bersifat paten, tidak boleh diubah sekehendak hawa nafsu manusia. Sekali bertauhid kepada Allah, maka tidak boleh berubah menjadi menyekutukan Allah di waktu kemudian. Mungkin karena sifat itulah, banyak kita temukan keserupaan pemahaman tersebut.
Pada tataran Islam, pemahaman dan praktik keagamaan di sekitar kita mulai banyak ditemukan jalan yang berbeda. Pada segi Islam ini lahir keilmuan fikih. Secara etimologi, fikih bisa diartikan sebagai pemahaman yang mendalam sebagai sebuah produk dari usul fikih.
Perbedaan dalam pemahaman fikih pada akhirnya banyak menyebabkan praktik keagamaan yang berbeda pula. Berangkat dari perbedaan tersebut, akhirnya banyak penamaan atau nomenklatur untuk kelompok keislaman tertentu. Misalnya penamaan kelompok Islam syariat, Islam fundamental, Islam puritan, Islam Nusantara, dan sebagainya.
Pada segi ihsan, paling banyak kita temukan juga perbedaan dalam pemahaman dan praktiknya. Ihsan membicarakan bagaimana bertingkah laku dan berbuat kebajikan. Secara keilmuan, segi ihsan melahirkan ilmu tasawuf sebagai pendekatan untuk melengkapi pemahaman hidup beragama.
Tasawuf banyak menekankan suatu aspek yang sering disebut sebagai mistisme Islam. Kalangan sufi –sebutan untuk para ahli tasawuf– meyakini bahwa aspek esoteris (baca: batiniah) merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dan mendekatkan diri kepada Allah.
Gus Dur dan “Islam Kita”
Dari ketiga segi itulah, kita sedikitnya dapat mencermati Islam di sekitar kita. Wajar saja bila akan kita jumpai corak pemahaman dan praktik keislaman yang beragam. Bagi kalangan akademisi, merupakan suatu kewajiban untuk menerangkan keragaman tersebut pada umat Islam lainnya yang belum mengerti. Sebab bila tidak disampaikan, hal itu memungkinkan pada terjadinya suatu konflik keagamaan yang didasari karena ketidakmengertian dan berujung pada kekerasan beragama.
Berkenaan keragaman pemahaman dan praktik keislaman di sekitar kita, ada sesuatu yang menarik dari apa yang disampaikan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tokoh ulama sekaligus cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita.
Gus Dur mengatakan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialami oleh seseorang adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku.” Hingga karenanya, watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan memaksa.
Terkait istilah “Islam Anda”, Gus Dur mengkategorisasikan “Islam Anda” sebagai orang-orang Islam yang dalam memperoleh suatu kebenaran didasarkan pada suatu keyakinan yang menurutnya tidak terbantahkan. Yang mana, kebenaran itu tidak diperoleh dari pengalamannya.
Gus Dur memberikan contoh dengan orang Islam yang berduyun-duyun untuk memperingati haul Sunan Bonang. Tanpa berpikir apakah Sunan Bonang pernah hidup atau tidak, orang Islam dalam peringatan tersebut tetap saja meyakini setiap apa yang disampaikan penceramah terkait Sunan Bonang tersebut.
Selanjutnya yaitu apa yang disebut Gus Dur sebagai “Islam Kita”. Gus Dur mengakui sulitnya untuk mempersatukan umat Islam dalam bingkai “Islam Kita”. Yaitu suatu kelompok keislaman yang memfokuskan diri dan selalu memikirkan akan nasib Islam di masa depan.
Pangkal kesulitan tersebut yaitu karena pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”. Mantan Presiden Republik Indonesia tersebut menuturkan bahwa terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh segelintir orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu berada di tangan mereka saja.
Mengusahakan Bersama
Apa yang disampaikan Gus Dur menarik untuk dicermati dan didiskusikan bersama. Pada akhirnya, keragaman aktualisasi Islam di sekitar kita meniscayakan akan adanya suatu sikap saling menghargai dan menghormati.
Terkait sikap toleransi beragama, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dadang Kahmad menyebutkan bahwa potensi suatu konflik dalam beragama sangatlah besar dan harus dihadapi dengan dialog atau forum-forum komunikasi keagamaan, bukan dengan cara-cara kekerasan. Ia mengatakan bahwa antar pemeluk agama yang berbeda sangat berpotensi akan terjadinya suatu gesekan yang berujung pada konflik tersebut.
Dadang menjelaskan bahwa adanya “truth claim” atau klaim kebenaran yang merupakan watak dasar umat beragama dapat menyebabkan suatu kristalisasi iman dan cenderung untuk meyakini bahwa ajaran agamanya saja yang benar, di luar ajaran agama tersebut adalah salah dan tidak bisa diterima.
Namun bila kita perhatikan, truth claim tidak saja dimiliki oleh pemeluk agama yang berbeda. Melainkan, antar pemeluk agama yang sama pun banyak yang mengklaim bahwa kelompoknya sebagai kelompok yang benar dalam memahami dan mepraktikan Islam.
Klaim kebenaran yang selalu dipaksakan dan ditampilkan oleh kelompok Islam di sekitar kita, hemat penulis merupakan jalan terjal untuk bertemu pada apa yang dikatakan Gus Dur sebagai “Islam Kita.”
Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh agar semua umat Islam bersatu dan terhimpun dalam ukhuwah islamiyah adalah dengan mengusahakan pendekatan dialogis tanpa memaksakan siapa yang paling benar dengan menjunjung semangat toleransi yang tinggi. Tanpa adanya dialog yang tulus tersebut, maka cita-cita menuju “Islam Kita” akan sulit untuk diwujudkan.
Editor: Rifqy N.A./Nabhan