-IBTimes, Bengkulu- Dalam sesi peminar pra-Muktamar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Jumat (07/02/2020), Arif Jamali Muis selaku Wakil Ketua LPB PP Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua PWM DIY, menyampaikan materi dengan tema Sekolah Sebagai Basis Perkaderan Muhammadiyah (Berbagai Pengalaman Mendidik di Sekolah Muhammadiyah).
Dalam pembahasannya, Jamali melakukan suatu upaya kritik internal Muhammadiyah sekaligus menawarkan beberapa solusi berupa langkah-langkah konkrit yang perlu ditempuh Muhammadiyah ke depannya, terkhusus dalam lingkup efisiensi dan optimalisasi fungsi perkaderan Muhammadiyah.
Mula-mula ia melakukan refleksi historis bagaimana sang pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, melakukan suatu upaya mengintegrasikan nilai-nilai agama Islam dan Ilmu pengetahuan. Menurutnya, gebrakan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan tersebut terjadi jauh d sebelum adanya perdebatan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan.
Terkait pengajaran tentang Islam, Ahmad Dahlan mengajarkan Islam yang solutif dalam menyelesaikan persoalan kehidupan masyarakat. Islam yang “organik” atau Islam fungsional yang diajarkan oleh kyai dahlan terlihat jelas dalam metode pembelajaran surat Al-‘Asr ayat 1 – 3 atau surat Al Ma’un ayat 1 – 7 yang diajarkan berbulan – bulan” ujar Jamali.
Oleh karena itu, menurut Jamali, pendidikan Islam Ahmad Dahlan sangatlah melekat kuat dalam diri murid-muridnya kala itu, sehingga membentuk karakter-karakter mereka.
Selain pengajaran “Islam Fungsional”, Jamali mengimbuhi bahwa Ahmad Dahlan juga mengajari para muridnya untuk selalu berpikir kritis. Nilai-nilai Islam yang telah dipelajari, haruslah ditopang dengan ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan itu diraih dengan maksimal dengan cara berpikir kritis, bukan indoktrinasi. Ahmad Dahlan selalu mengajak murid-muridnya untuk mengkritisi fenomena dan problematika masyarakat yang sedang terjadi.
“Budaya berfikir kritis dan terbuka tersebut harusnya menjadi ciri khas warga Muhammadiyah, termasuk di lingkungan pendidikan Muhammadiyah. Ribuan Sekolah–sekolah dari PAUD hingga Perguruan Tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia menanamkan cara berfikir kritis dan terbuka ini. Cara berfikir yang kritis dan terbuka itulah yang menghadirkan diaspora alumni lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan berbagai macam cara memandang dunia ini” ujarnya.
Setelah itu, Jamali melemparkan pertanyaan kepada seluruh hadirin yang berpijak dari kegelisahannya selama ini, “Apa bedanya hasil didikan lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan lembaga lain?”
Selama ini, yang membedakan lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan lembaga lain yakni adanya mata pelajaran (Mapel) ISMUBA (Al-Islam, Kemuhammadiyah, dan Bahasa Arab). Namun Jamali menyayangkan, Mapel ini hanya dianggap Mapel pelengkap saja, bukan Mapel utama. Jamali menganggap bahwa Mapel ini hanya menyentuh aspek kognitif belaka.
“Disisi lain Mapel ISMUBA yang sebagai core penanaman nilai – nilai Islam dan kemuhammadiyahan berhenti sebagai matapelajaran yang hanya bertitik tolak pada aspek kognitif atau psikomotorik belaka, yang itupun belum tentu sesuai dengan perkembangan siswa” ulasnya.
Ia malah mengusulkan supaya Mapel Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) dihapus saja dan diganti dengan pendidikan karakter.
“Mapel AIK hanya berorientasi pada kognitif. Tak ada bedanya dengan mata pelajaran yang lain, seperti matematika dan sejarah. Akibatnya, siswa hanya mengenal Muhammadiyah sebagai pengetahuan belaka, tidak sebagai nilai dan etos bermuhammadiyah. Seharusnya, Mapel AIK dihapus, dan diganti pendidikan karekter. Pendidikan karakter dengan membangun budaya dengan nilai-nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” katanya.
Jamali mengaku, dulu ia kagum dengan Muhammadiyah sejak SMA karena diajarkan Kemuhammadiyahan oleh guru yang aktivis pimpinan pusat aisyiyah Ibu Shoimah Kastolani. Namun kenyataannya sekarang, banyak juga Mapel Kemuhammadiyah diajar oleh orang yang bukan aktivis Muhammadiyah. Sehingga murid-murid sekarang tak tertarik sama sekali.
“Pelajaran Kemuhammadiyahan bukan hanya sekedar Mata pelajaran/mata kuliah, akan tetapi kemuhammadiyahan adalah ruh yang harusnya menginspirasi semua kegiatan di satuan pendidikan, hal tersebut bisa terjadi jika dibuat sistem pembelajaran yang bermakna” imbuhnya.
Ia mempunyai usulan untuk Majelis Pendidikan Kader, supaya bekerjasama dengan majelis Dikdasmen untuk merumuskan budaya atau karakter berbasis “kemuhammadiyahan”.
Menurutnya ada tiga aspek penting dalam proses pembelajaran yang dapat menghasilkan kader Muhammadiyah yang unggul.
- Penanaman budaya/karakter yang dijiwai oleh nilai–nilai kemuhammadiyahan.
- Menerapkan 4 Cs (berfikir kritis, kreatifitas, kolaborasi, dan komunikasi) dalam proses pembelajaran disetiap matapelajaran termasuk ISMUBA.
- Melek teknologi informasi (literasi media, literasi teknologi, dan literasi informasi).