Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Jamaluddin Al-Afghani berangkat ke Istambul tahun 1892. Dengan penuh harapan ia akan menerima bantuan Syaikhul Islam Mufti Kerajaan Turki seperti yang dijanjikan dalam surat-suratnya. Di Istambul, dia ditempatkan di sebuah mahligai yang teramat indah lengkap dengan segala pelayan dan keperluannya. Sebuah kendaraan kereta yang bagus dikendalikan khusus untuknya.
Di Istambul Menyuarakan Pan-Islamisme
Hubungan Jamaluddin dengan Sultan amat akrab dan sering dipanggil wawancara ke Istana di Istambul, di mana selalu diajukannya saran-saran guna perbaikan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat. Keduanya memang mempunyai gagasan yang sama, sama muluk dan kebaikannya, yaitu Pan-Islamisme.
Bedanya ialah, Sultan Abdul Hamid bermaksud merealisasi gagasan itu untuk menempatkan seluruh negara dan umat Islam di bawah kuasanya. Sedang Jamaluddin menggagas Pan-Islamisme bertujuan untuk persatuan seluruh negara dan umat Islam agar menjadi kekuatan yang berarti dan mampu mengimbangi kekuatan negara-negara Barat. Agar tercipta keseimbangan yang nantinya dapat melahirkan tukar-menukar kebudayaan serta pengembangan ilmu-pengetahuan. Dengan demikian, tercapai perdamaian dan keadilan di dunia. Lewat gagasan Pan-Islamisme umat Islam dapat mengatur sendiri negaranya, tanpa dipengaruhi oleh kekuatan dari luar.
Kepindahan Jamaluddin ke Istambul lekas tersiar ke seluruh dunia Islam. Berdatanganlah orang mengunjunginya. Tidak hanya dari wilayah Turki sendiri, tetapi juga dari negara-negara lain seperti Iran, Mesir, dan lain-lainnya. Dikobarkannya semangat solidaritas antara negara Islam sesuai dengan jiwa Pan-Islamisme itu untuk membina kekuatan mengimbangi pengaruh Barat. Diajarkannya tauhid yang mutlak hanya mengakui kekuasaan Allah. Dianjurkan persatuan dan mengesampingkan pertentangan madzab. Dipropagandakan hak-asasi rakyat dan demokrasi yang harus berlaku dalam semua negara Islam, dan tidak lupa pula dicelanya sikap Syah Iran terhadap rakyatnya.
Amir Syakib Arsalan
Seorang pemuda terpelajar yang baru berumur 20 tahun, Amir Syakib Arsalan, sedang dalam perjalanan pulang dari Eropa ke Syria. Demi didengarnya Jamaluddin berada di Istambul, ia pun singgah ke sana. Syakib Arsalan adalah seorang daripada pengagum Jamaluddin dan Abduh. Bahkan, dia mengagumi keduanya bukan karena tertarik kepada agitasinya saja, dan bukan hanya karena cita-citanya semata-mata. Tetapi lebih daripada itu, ia tertarik juga karena nilai-nilai ilmiah yang terdapat dalam pendapat dan uraian kedua pimpinan itu.
Pertemuan Amir Syakib Arsalan dengan Jamaluddin dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendengar sendiri ceramahnya yang penuh dengan butiran falsafah dan dorongan perjuangan Islam. Maka, berlangsunglah soal-jawab dan pertukaran fikiran. Jamaluddin merasa sangat beruntung memperoleh kader seperti Amir Syakib Arsalan ini, cerdas dan cemerlang lagi penuh dengan semangat perjuangan.
Kelak pemuda ini akan menjadi pelangsung cita-cita Jamaluddin dan Abduh. Dibawakannya bukan sebagai pimpinan karena dia memang bukan pimpinan umat, tetapi seorang pengarang yang ulung. Salah satu karangannya yang termashur ialah Limadza Taakkharal Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum? (Mengapa Orang Islam Menjadi Mundur dan Orang Lain Maju?). Karangannya ini mula-mula tersiar sebagai artikel bersambung dalam majalah Al-Mannar yang dipimpin oleh Sayid Rasyid Ridla, kemudian dibukukan dalam majalah bahasa Arab dan lain-lainnya. Isinya merupakan analisa tentang kemunduran umat Islam yang akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa orang Barat menjadi maju karena meninggalkan agamanya sedang umat Islam menjadi mundur juga karena meninggalkan ajaran agamanya.
Alasan Jamaluddin Tidak Menikah
Sampai masa itu, Jamaluddin masih juga belum berniat untuk beristri. Barangkali dia berfikir kurang manfaatnya untuk kawin karena usianya sudah meningkat 56 tahun. Dirasainya kesehatan sudah mulai sering terganggu akibat banyak perjalanan, kerja keras, dan kepahitan serta penderitaan yang dialaminya. Kuranglah manfaatnya berumah tangga dalam keadaan usia dan fisik seperti itu, apalagi cita-citanya belum kelihatan hasilnya yang kongkrit. Timbullah ketetapan hatinya untuk hidup membujang, satu-satunya teman hidup baginya adalah perjuangan.
Sebenarnya, Sultan Abdul Hamid pun sudah mulai khawatir melihat mereka yang mengunjunginya semakin bertambah banyak juga. Ia takut, jangan-jangan rakyatnya pun dapat dipengaruhinya hingga menimbulkan perasaan yang tidak puas terhadap pemerintahannya. Apa yang diajarkan Jamaluddin tentang Pan-Islamisme sangat berlainan daripada yang dikehendakinya.
Pernah ia menyuruh Jamaluddin untuk membina rumah tangga agar mendapat keturunan. Kalau perlu akan diserahkan salah seorang putri dari kerabat istana untuk menjadi istrinya. Akan tetapi, Jamaluddin menolak tawarannya. Katanya, ia akan hidup membujang dan menyerahkan sepanjang hayatnya kepada perjuangan. Tambahan pula, jika ia beristri, niscaya istrinya itu akan hidup merana bersuamikan pejuang seperti dia.
Bukan main malu dan murka hati Sultan karena kerabatnya ditolak orang, namun disabarkan juga hatinya itu. Memang maksudnya hendak menjinakkan singa itu agar tidak berbahaya bagi kerajaan dan kekuasaannya. Di lain kesempatan, ditawarkan kepadanya pangkat Imam Tentara atau bahkan kemungkinan diangkat menjadi Syaikhul Islam menggantikan Syaikh Abul Huda yang hampir pensiun. Jabatan yang tinggi itupun ditolaknya karena lebih suka menjadi pemimpin rakyat. Jubah hitam berbenang emas dengan pelbagai macam bintang kebesaran ditolaknya pula karena ia lebih suka berpakaian sederhana.
Sultan Abdul Hamid Marah
Karena kegagalan yang berulang kali itu Sultan bertambah murka. Ada lagi hal yang menambah sakit hati baginda dan kemarahan petugas-petugas Istana. Yaitu, Jamaluddin selalu menyebut nama Allah dan menghitung-hitung tasbih di hadapan Sultan dan dalam setiap majlis kerajaan. Dengan hal yang demikian itu, maka berangsur retaklah hubungan baik antara keduanya. Hilanglah harapan Jamaluddin untuk mendapat bantuan dari pemerintah Turki dalam menyampaikan cita-citanya.
Namun ia masih terus memberikan ceramah kepada tamunya yang semakin membanjir datang. Kritiknya kepada Syah Iran bertambah pedas sehingga raja Iran itu memohon bantuan Sultan untuk menghentikan kecaman itu. Maka, oleh Sultan, dipanggilnya Jamaluddin menghadap dan diberinya nasehat keras agar supaya serangannya kepada Syah Iran dihentikan. Bagaimanapun, katanya, Syah adalah seorang raja Islam dalam negara Islam. Jamaluddin mengalah, ia berjanji untuk menghentikannya. Sejak itu, tak pernah ia menyinggung Syah dalam segala ceramahnya.
Seorang pemuda dari Iran datang mengunjunginya dan menceritakan hal-ihwal Syah yang bertambah kejam, lalu meminta izin kepadanya untuk membunuh Syah. Jamaluddin menjawab: ”Engkau meminta izin kepadaku, tetapi aku pun tahu maksudmu, supaya aku larang.” Muhammad Ridla Khan, yakni pemuda itu, kembali dengan rasa malu.
Kemudian, beberapa hari sesudah itu, yakni tanggal 11 Maret 1896, terdengar berita bahwa raja Iran Nasiruddin Syah ketika sedang melakukan upacara adat, menemui ajalnya ditembak oleh seorang pengikut Jamaluddin! (Bersambung)
Sumber: buku Aliran Pembaruan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif