Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Melihat pengikut Jamaluddin Al-Afghani semakin banyak, Sultan Abdul Hamid semakin khawatir. Dia mulai dijaga dengan keras. Pelayannya ditambah terdiri daripada anggota tentara dan mata-mata yang menyamar, ke mana saja perginya selalu dibayangi dan setiap tamunya dicurigai.
Berita tentang nasib Syah Iran sangat mencemaskan hati Sultan. Penjagaan terhadap Jamaluddin diperketat. Pengawal bersenjata ditempatkan di sekeliling dan di semua pintu gerbang tempat kediamannya. Setiap tamunya diperiksa dan didaftar. Jamaluddin telah dikenakan tahanan dalam rumah.
Akhirnya, setiap tamunya harus mendapat izin terlebih dahulu dari istana. Alangkah berangnya hati Jamaluddin dan alangkah masygul-nya, tetapi tidak kuasa berbuat apa-apa. Semangatnya semakin menyala, namun jasmaninya semakin lemah dimakan usia. Sedang tubuhnya menjadi kurus dimakan hati yang murung dan kepedihan penderitaannya. Keinginannya berjuang tidak padam.
Sultan Abdul Hamid Bermuka Manis
Maka dikirimnya surat kepada Kedutaan Besar Inggris di Istambul meminta suaka politik agar dibebaskan dari kurungan. Permintaannya itu dikabulkannya oleh Kedutaan. Mendengar itu, segera Sultan memanggil Jamaluddin ke Istana. Dengan muka manis dikatakan kepadanya bahwa pemerintah Turki dan Sultan tidak sejahat yang disangkanya. Tidak layak seorang ulama dan pemimpin Islam minta perlindungan kepada orang kafir.
Maka dimintanya dengan sungguh-sungguh agar ia bersedia mencabut suratnya kepada Keduataan Besar Inggris itu. Sultan Abdul Hamid berjanji bahwa pemerintah Turki akan mengubah sikapnya dan akan berbuat baik seperti dahulu. Jamaluddin setuju, maka dicabutnya kembali permintaannya suaka kepada Inggris itu.
Tetapi, jasmani Jamaluddin sudah terlanjur sakit dan lemah. Tubuhnya semakin kurus, seolah-olah tinggal kulit pembalut tulang. Mukanya pucat dan suaranya sudah sangat lemah. Hanya sorot matanya yang masih tetap tajam dan cemerlang. Berkilat-kilat dan kadang-kadang berapi-api. Ia hanya mampu berkata menguraikan apa yang terpendam dalam hati sanubarinya dengan sorotan matanya saja.
Akhir Petualangan Sang Mujaddid
Tujuh bulan dia menderita sakit dan beristirahat. Waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berpikir sambil jarinya tak hentinya menghitung tasbih. Bibirnya yang pucat itu bergerak-gerak mengucapkan Kalimah Thayyibah. Sakitnya semakin parah dan dokter dipanggil, tenyata dia menderita kanker. Pembedahan dilakukan.
Tubuh kurus kering sebatang kara dalam kamar tahanan, jauh dari sanak saudara. Tiada istri dan tiada anak pula. Demikianlah keadaan Jamaluddin Al-Afghani ketika dia pada pagi hari Selasa tanggal 5 Syawal 1314 bertepatan dengan tanggal 9 Maret 1897 menutup mata untuk selama-lamanya. Tiada seorang pun menitikkan air mata dalam kamar tahanan yang indah itu.
Usia Jamaluddin Al-Afghani yang 58 tahun telah dihabiskan untuk mengabdi kepada Allah Rabbul ’Alamin. Ia berjuang demi keadilan dan kebenaran, membela rakyat dari aniaya dunia. Usia selama itu belumlah tua benar, tetapi hanya batas itulah yang Allah karuniakan kepadanya. Dan Jamaluddin telah membuktikan bahwa amanat umur yang singkat itu tidak sia-sia.
Janazahnya dimakamkan di pekuburan Ulama Istambul. Bagaimanapun, akhirnya pemerintah dan Sultan Turki harus mengakui bahwa Jamaluddin adalah orang besar, orang yang patut dimuliakan. Kalau di kala hidupnya dianiaya, maka janazahnya layak untuk dimuliakan.
Pengormatan Kepada Jamaluddin Al-Afghani
Pada tahun 1926, seorang Amerika bernama Charles Crane datang ke Istambul. Dia telah membaca dan sangat tertarik kepada riwayat Jamaluddin. Makam orang besar itu diperbaikinya. Pada tahun 1944, atas persetujuan pemerintah yang telah menjadi republik dengan presidennya Ismet Inounou, atas permintaan pemerintah Afghanistan, makam Jamaluddin dipindahkan ke tanah kelahirannya, Afghanistan di Kabul.
Sultan Abdul Hamid masih terus memerintah, tetapi akhirnya digulingkan dari tahtanya oleh sebuah pemberontakan. Yaitu pemberontakan yang dipelopori angkatan bersenjata di bawah pimpinan Jenderal Mahmud Syaukat Pasya pada tahun 1908, sebelas tahun sesudah wafatnya Jamaluddin.
Adapun Raja Iran, Nasiruddin Syah digantikan oleh putranya Muzaffaruddin dengan pertolongan Rusia dan Inggris. Selama ayahnya masih hidup, ia berada di Tabriz. Dengan diantar oleh Duta Besar Rusia dan Inggris, ia tiba di Teheran dan dinobatkan tanpa mendapat halangan suatu apa. Seperti ayahnya, ia pemboros, suka membuat perjalanan ke luar negeri, dan berhutang. Tentang Perdana Menteri Ali Asghar Khan yang telah memfitnah Jamaluddin, akhirnya menemui nasib yang sama seperti tuannya, mati dibunuh orang! (Habis)
Sumber: buku Aliran Pembaruan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif