IBTimes.ID – Jamhari Makruf, Profesor Antropologi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi pembicara dalam Seminar pra-Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Universitas Muhammadiyah Semaran (UNIMUS). Acara bertempat di Aula Lt. 7 Gedung Fakultas Kedokteran itu mengusung tema “Pengembangan Pesantren Muhammadiyah Berkemajuan” digelar pada Sabtu, (14/03/2020).
Sebelum mengulas lebih jauh, Jamhari memberikan tentang refleksi kelahiran pesantren di Indonesia. Menurutnya pesantren lahir dari suatu proses akomodasi kultural antara menjaga warisan tradisi pendidikan yang sudah ada dengan tradisi keagamaan yang baru. Pesantren juga berperan sebagai kawah candradimuka kader kader pendakwah Islam di Indonesia.
“Pesantren berkembang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat itu sebagai lembaga tranmisi Islam, bagaimana merawat dan mengembangkan Islam ke masyarakat yang lebih luas. Tidak mengherankan jika model pesantren mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang membuat model pesantren sangat beragam saat ini”, tambah Jamhari.
Tipologi Pesantren di Indonesia
Jamhari, Koordinator Kerjasaman Internasional Universitas Islam International Indonesia ini, menjelaskan tentang tipologi pesantren di Indonesia berdasarkan studi akademik.
Pertama, Pesantren NU (yang berafiliasi dengan faham dan ritual keagamaan NU) yang paling banyak jumlahnya. Pesantren NU ini dibagi menjadi dua kelompok yakni Pesantren Salaf (traditional) yang hampir dikata tidak mempunyai kurikulum maupun sistem pendidikan yang rigit (menyangkut seleksi satri yang masuk, batas berapa tahun harus lulus, sistem kenaikan kelas yang teratur). Pesantren tradional salaf ini seringkali memfokuskan diri pada kajian kitab kitab tertentu yang dikuasai oleh pengasuhnya. Transmisi keilmuan pesantren tradional salaf ini memakai system ijazah yang individual.
Pesantren NU yang lainnya adalah Pesantren Khalaf (modern) yang mencoba menggabungkan antara sistem pesantren traditional dengan system pendidikan modern. Di samping menggaji kitab kitab keagamaan dengan system sorogan dan bandongan, mereka juga belajar pendidikan formal. Kebanyakan Pesantren NU berkembang ke arah ini.
Kedua, Pesantren Muhammadiyah. Pesantren yang didirikan oleh Persirakatan Muhammadiyah yang mengembangkan pemikiran yang sejalan dengan pandangan Muhammadiyah. Pesantren Muhammadiyah ini ada beberapa model. Model Pesantren ala Mu’allimin dan Mua’allimat yang mensinergikan antara model pesantren yang menerapkan kurikulum 24 jam dengan memadukan dengan sekolah umum.
Model lainnya adalah pesantren Darul Arqam yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan model Mu’allimin dan Mu’allimat, tetapi dengan kajian keislaman dan bahasa yang lebih mendalam. Model asrama memberikan waktu yang lebih banyak kepada pengasuh pondok untuk mendidik santri dengan berbagai materi seperti kepemimpinan, wirausaha dan olah raga. Model Pesantren Muhammadiyah yang ketiga adalah Muhammadiyah Boarding School, yang pada muncul belakangan. MBS adalah sekolah umum Muhammadiyah berasrama.
Ketiga, Pesantren KMI Gontor. Pesantren Darus Salam di Gontor Ponorogo, yang kemudian lebih dikenal orang dengan Pesantren Gontor, menggunakan system yang disebut Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah, Sekolah Guru Islam. Terinspirasi oleh Sekolah Pendidikan Guru Agama Islam di Padang Panjang, pendiri Pondok Gontor menambahkan beberapa kurikulum yang mengadopsi modernitas, di antaranya menjadikan penguasaan Bahasa Arab dan Bahasa Ingris sebagai keunggulan.
Berbeda dengan Pesantren NU yang juga mengembangkan Bahasa Arab dengan penguatan tata bahasa (nahwu dan sharaf), Pondok Gontor mengembangkan system agar bahasa dikuasai baik dalam bacaan maupun percakapan. Bahasa Arab dan Ingris dijadikan bahasa percakapan sehari –hari. Jika dalam bahasa Ingris ada istilah Sing-English (Singaporean English yang memakai logat Melayu dalam berbahasa Ingris), barangkali bahasa Arab yang berkembang dalam percakapan santri
Gontor juga menciptakan Bahasa Arab ala Gontor yang khas (la takun la ya, misalnya). Misi awal dari Pendiri Gontor adalah mendirikan seribu Pondok Gontor di Indonesia. Para alumni Gontor, ketika pulang ke daerahnya banyak yang mendirikan pesantren dengan model dan system Gontor. Pesantren Gontor mempunyai kurikulum yang sudah cukup baik, dengan buku ajar yang kuat, serta pendidikan bahasa yang terstruktur menjadikan Pesantren Gontor mempunyai “distingsi” tersendiri.
Keempat, Pesantren Hidayatullah. Pesantren Hidayatullah bermula dari sebuah Pesantren di Balik Papan Kalimantan Timur, kini berkembang sangat pesat. Bermula dari sekolahan saja, kini Hidayatullah menjadi Organisasi kemasyarakatan yang kini telah mengembangkan usahanya dalam berbagai bidang. Pada awal berdirinya pesantren Hidayatullah ingin mencetak Da’i yang siap untuk berdakwah ke berbagai wilayah Indonesia.
Barangkali mungkin Hidayatullah salah satu pesantren yang memberikan beasiswa dengan system ikatan dinas. Santri Hidayatullah diberikan beasiswa dengan ikatan menjadi da’i selama 3 tahun setelah lulus. Untuk membekali kemampuan da’I lulusan Hidayatullah, santri diberi bekal wirausaha agar mereka bisa berkembang di tempat dakwahnya kelak nanti.
Kelima, Pesantren Independent, Pesantren Independen adalah pesantren yang tidak berafiliasi ke dalam 4 kategori di atas (NU, Muhammadiyah, Gontor dan Hidayatullah). Termasuk dalam kategori Pesantren independen ini adalah pesantren yang berkembang hanya di daerah tertentu saja, misalnya pesantren Nahwatul Wathan yang berkembang di wilayah Lombok, pesantren Al-Khairat di Sulawesi Tengah, atau pesantren DDI di Sulawesi Selatan dan pesantren pesantren lainnya.
“Pesantren independen ini sangat beragam dan mempunyai corak dan system yang sangat beragam pula”, jelas Jamhari.
Pesantren dan Perubahan Sosial
Namun demikian, kelima kategori ini, yang dibuat pada awal 2000an menurut Jamhari nampaknya perlu direvisi. Mengingat perkembangan pesantren yang sangat massif memberikan warna baru dalam dunia pendidikan Islam.
Munculnya pesantren yang mengembangkan “manhaj Salafi” meramaikan perkembangan dunia pesantren di Indonesia. Dengan mengutip penelitian disertasi Din Wahid, Jamhari menyatakan bahwa keberadaan Pesantren Salafi mempengaruhi diskusi tentang keislaman di Indonesia. Keterlibatan beberapa pimpinan pesantren salafi dan juga alumni dalam pemahaman keagamaan yang membolehkan penggunaan kekerasan dalam berdakwah membuat kekhawatiran banyak fihak. “Walaupun tidak semua pesantren salafi membolehkan penggunaan kekerasan dalam berdakwahnya”, tandas Jamhari.
Model model pesantren sangat beragam dan terus mengalami perkembangan yang cepat. Hal itu karena tuntutan sosial dan politik yang menciptakan model pesantren yang cocok. Model pesantren yang seperti apa yang cocok di masa depan, haruslah melihat kebutuhan apa yang diperlukan di masa depan.
“Dengan demikian perlu memahami kontek sosial politik 20 tahun kedepan jika ingin mengembangkan pesantren agar kita tidak terbawa oleh trend model pesantren karena latah terhadap apa yang berkembang sesaat”, tutup Jamhari.