Perspektif

Jangan Gunakan Agama Sebagai Alat Berdagang!

4 Mins read

“Agama sebagai Alat Berdagang, Bagaimana?”

Barusan saya membaca sebuah kabar yang saya peroleh dari media sosial Twitter. Isinya berupa ada seseorang yang menjual produknya dengan label “Air Wudhu” dan “Debu Limid Original 100%”. Spontan saya mengecek kebenaran kabar itu.

Ternyata betul, ada produk seperti yang diwartakan di sebuah toko online. Saya membaca ulasan per produk. Di sana tertulis “Air Wudhu” sangat berkhasiat untuk mencerahkan kulit, mencegah penuaan dini, membuat wajah bersinar, dan lain sebagainya. Sementara “Debu Limid Original 100%” bisa digunakan untuk tayamum, memancing bersin, dan dimainkan saat gabut.

Entah ini hanya spekulasi semata, atau sekedar niat bercanda, hal ini cukup meresahkan. Terlebih membawa istilah dalam agama Islam untuk diperjualbelikan.

Semua tahu bahwa air wudhu dan debu bisa digunakan untuk menyucikan diri. Air wudhu bisa berupa air yang mengalir, air yang menggenang, maupun air laut. Air yang menggenang syaratnya harus bersih dan tidak berbau. Sedangkan debu bisa difungsikan kalau di sepanjang mata memandang, tidak ditemui sumber air yang bersih.

Istilah lainnya yaitu “tayamum”. Semua itu bisa diperoleh secara gratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun. Namun, berbeda cerita jika memang tidak ditemui air sama sekali. Tetapi hanya berjumpa dengan pedagang air mineral yang memang untuk diminum, baru kita bisa membelinya untuk digunakan sebagai air wudhu.

Bolehkah Menggunakan Agama untuk Berdagang?

Tidak bisa kita menggunakan istilah dalam agama untuk kegiatan komersil. Apalagi dengan tujuan hanya untuk menarik minat calon pembeli.

Sebagai contoh tentang adanya label “halal”. Secara bahasa, halal diartikan sebagai barang yang diperbolehkan untuk dikonsumsi. Label halal ini awal mulanya digunakan untuk status makanan dan minuman.

Baca Juga  Mendalami Gaya Socrates Bertauhid

Namun, seiring perkembangan waktu, halal sudah merambat ke dunia lain, seperti fashion, kosmetik, alat-alat mandi dan dapur, dan produk lainnya. Jika label halal digunakan untuk makanan, maka diperbolehkan karena hal tersebut menyangkut kesehatan tubuh dan kenyamanan saat dikonsumsi.

Akan tetapi, sangat tidak cocok ketika sebuah brand fashion menggunakan kata halal ini. Seperti ketika beberapa waktu yang lalu ada iklan jilbab yang ditambahi dengan kata “halal” di belakangnya. Yang dimaksud jilbab halal itu seperti apa? Jika sudah cocok digunakan dan tidak menyalahi syariat untuk menutup aurat, tidak perlu embel-embel halal.

Konon, ketika turun ayat Al-Qur’an memerintahkan Nabi untuk disampaikan ke kaum wanita agar menutup aurat dari ujung rambut sampai dada; para wanita muslim di sana berebut kain untuk digunakan sebagai jilbab. Bahkan ada yang menggunakan gorden jendela.

Saya yakin waktu itu Nabi Muhammad SAW tidak langsung menyerukan. “Wahai muslimah, tutupilah auratmu dari ujung rambut sampai dada dengan kain yang halal!

Menyangkut Investasi Workshop Poligami

Belum lagi cerita soal iklan poligami. Masih di waktu dekat-dekat ini, beredar iklan atau selebaran poster tentang workshop “Mindset Sukses Poligami”. Dalam poster tersebut terdapat kalimat “20 tahun poligami, 4 Istri, 24 anak”.

Dalam benakku langsung berpikir bagaimana cara menghidupi 4 istri dan 24 anak? Ternyata jawabannya muncul di poster itu, yaitu dengan selalu menggelar workshop bertema poligami. Cukup dengan berbayar, eh investasi sebesar Rp. 4.749.000, sang Coach bisa menghidupi 4 istri dan 24 anak dengan bahagia.

Tindakan poligami sebenarnya diperbolehkan. Secara islaminya dihalalkan memiliki istri lebih dari 1. Memang poligami termasuk ranah ibadah, karena mengikuti sunnah Nabi. Namun, tak perlu juga digunakan sebagai bahan komersil untuk mengadakan pelatihan, workshop, seminar, dan lain-lain. Semua itu sudah dapat bimbingan dari KUA, gratis pula.

Baca Juga  Pendidikan Haruslah Menyadarkan

Ada lagi yang paling sering ditemui di masyarakat, yaitu pelabelan syariah di lembaga keuangan. Pelabelan syariah menuntut lembaga keuangan fungsinya untuk mengenalkan ke masyarakat bahwa lembaga keuangan tersebut menjalankan prinsip-prinsip ekonomi berbasis syariah.

Walaupun sebenarnya memang secara praktik sudah syariah, namun pelaksanaan di lapangan masih sama seperti lembaga keuangan konvensional. Alih-alih mengklaim jauh dari kesan riba, justru praktiknya bisa disalahartikan, bahkan terkesan mendekati riba.

Padahal, jika kita melihat contoh pada bank syariah, maka sebenarnya praktiknya masih sama seperti bank konvensional. Karena sama-sama menginduk bank sentral, yaitu Bank Indonesia. Jadi, segala peraturan perbankan harus mengikuti kebijakan bank sentral tersebut.

Entah mengapa kasus-kasus seperti di atas akhir-akhir ini sering muncul di media sosial maupun kabar lainnya. Sungguh tidak etis ketika agama dijadikan alat kapitalisme untuk memperkaya diri sendiri maupun sebagian kelompok.

Padahal, agama yang telah diperjuangkan oleh nabi dan penerusnya sampai berjaya saat ini, tidak menggunakan prinsip agama sebagai materi. Mereka berjuang menggunakan akhlak yang mulia, memberikan contoh tauladan yang baik bagi setiap orang yang melihatnya.

Cara Berdagang yang Diperbolehkan

Memang dalam hukum pemasaran diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang bisa menarik minat konsumen untuk memiliki produknya. Seperti kemasan yang dibuat menarik, tulisan-tulisan yang mudah diingat, dan bentuk produk yang kreatif. Semua itu harus terselimuti oleh etika dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, khususnya norma agama.

Apalagi melihat pasar di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Tentu saja kemasan-kemasan produk harus mengandung unsur keislaman seperti halal, suci, dan baik. Segala unsur-unsur seperti itu juga perlu dipertimbangkan lebih lanjut, atas dasar pengetahuan dan etika beragama. Karena jika salah dan tidak dipertimbangkan etika agama, maka yang terjadi adalah komodifikasi agama.

Baca Juga  ”Kristen Alus”: Embrio Gerakan Pembaruan Muhammadiyah

Komodifikasi agama, khususnya Islam, akan mengakibatkan pendangkalan makna Islam itu sendiri. Seperti contoh jika tidak menggunakan produk jilbab halal, maka kurang sempurna dalam menutup aurat. Atau jika kita menabung di bank atau lembaga keuangan konvensional, non syariah, maka uang hasil menabung dinilai mengandung unsur riba.

Hal tersebut akan sangat berbahaya jika terjadi komodifikasi agama. Karena pandangan seseorang terhadap orang lain dilihat dari bagaimana cara dia beragama. Yaitu dengan melihat atribut yang dikenakan. Tidak berdasarkan pada sikap dan perilaku setiap hari.

Akibatnya, banyak terjadi justifikasi terhadap sekelompok tertentu yang dinilai tidak sesuai dengan kelompoknya. Bahkan lebih parahnya, terbentuk kelompok baru yang kegiatannya sangat eksklusif, yaitu kelompok yang merasa paling benar sendiri.

Berdaganglah dengan Kreatif!

Mencari keuntungan dalam berdagang dengan berlabelkan agama sangatlah tidak etis. Apalagi dijadikan sebagai alat penarik perhatian konsumen. Begitu rendahnya moral jika memperdagangkan agama.

Padahal, masih banyak cara yang lebih kreatif dan lebih baik daripada menggunakan istilah-istilah keagamaan untuk kepentingan pribadi maupun suatu kelompok. Jika kita berdagang sesuai anjuran Nabi, yaitu jujur, bersih, sopan, dan murah senyum, insya Allah barang dagangan kita baik semua.

Jangan sampai masyarakat dibuat bingung untuk sekedar membeli barang apapun. Apalagi sampai termakan stigma iklan, “Nanti kalau ga pakai ini ga halal, ga syar’i”. Yang penting prinsip kehati-hatian, kejujuran, dan kebersihan harus selalu melekat dalam diri kita.

Semoga kegilaan akan labelisasi agama segera berakhir. Jangan sampai nanti muncul media sosial berbasis syariah maupun gadget Islami.

Editor: Zahra

Avatar
6 posts

About author
Karyawan Swasta, Esais dari Purwokerto
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds