Tabligh Akbar, Istigoshah, Qunut Nazilah berjamaah, Sholat Jumat, juga Kebaktian, Upacara keagamaan apapun, atau bukan keagamaan, dengan berkumpul dan kontak berdekatan dengan orang yang terkena (meskipun tanpa gejala), tetap saja bisa menyebarkan wabah penyakit ini.
Jangan ikuti ustadz, ulama, pendeta, biksu, atau pemimpin agama yang menggunakan dalil agama seolah-olah penyakit bisa terhindar hanya dengan do’a dan kebaktian. Bagi manusia yang beriman, do’a bukan pengganti usaha/ikhtiar. Do’a melengkapi dan memperkuat ikhtiar. Ikhtiar memperkuat do’a.
Misalnya, seorang petani padi, tidak boleh hanya berdo’a, ia harus menanam bibit padi, memberikan irigasi yang cukup, membersihkan dari parasit, menjaganya dari hama, dan seterusnya. Jika ia hanya berdo’a, maka dia tidak akan ada panen padi. Salah satu imam As-Sadiq, “Orang yang berdoa tanpa berusaha bagaikan orang yang menembakkan panah tanpa busur’.
Orang yang sakit tanpa berobat dan menjaga kesehatan, dia tidak akan sembuh, meskipun terus berdo’a. Karena itu, ada obat, ada dokter, atau ilmu kedokteran dan kesehatan, dimana ilmuwan Muslim pun telah dan terus memberikan sumbangan besar bagi ilmu kesehatan dan peradaban dunia.
Penyakit, pencegahan, dan pengobatannya, adalah masalah ilmu pengetahuan yang setiap Muslim dan orang beragama diharuskan terus mencari. Agama selaras dengan Sains, jika Agama mendukung hukum alam. Dan banyak dalil agama yang selaras dengan sains. Dalam bahasa Islam, hukum alam adalah hukum Allah juga (Sunnatullah): hukum yang sama, dan tidak bertentangan.
***
Sunnatullah itu sebagiannya disebutkan Al-Qur’an. “Kalian tidak akan dapati perubahan dalam hukum Allah” (17:77; 48:23; 35:43). Sunnatullah adalah hukum yang bersifat universal, yang berlaku pada siapa saja, beriman atau tidak, dan dimana saja, di negeri barat, timur, utara, dan dan selatan. Hukum universal ini menyangkut manusia, masyarakat, hewan dan tanaman, dan apa yang kita sebut sebagai alam. Memahami hukum alam adalah bagian dari kewajiban agama, kewajiban manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Menjaga jiwa dan menjaga agama adalah dua dari maksud-maksud syariat Islam, disamping menjaga akal, keturunan, harta, dan lingkungan. Dalam keadaan darurat, menjaga jiwa lebih diutamakan daripada menjalankan tata cara ibadah ritual. Pandemik virus corona ini membahayakan fisik manusia bahkan jiwa manusia.
Janganlah Anda saling membunuh; Allah maha penyayang. (4:29). “Janganlah kalian sebabkan kerusakan oleh tangan kalian sendiri.” (2:195). Hadis-hadis juga cukup banyak, mengajarkan hindari penyakit. “Larilah Anda dari kusta seperti Anda lari dari singa!”, Nabi bersabda. “Jika Anda tahu ada wabah penyakit di sebuah negeri, jangan datangi negeri itu, dan jika wabah itu terjadi di negerimu, jangan tinggalkan, ” begitu pesan Nabi, seperti diriwayatkan Bukhari. Begitu juga para ulama mengingatkan, seperti Imam Malik dalam Kitab Al-Muwattha yang menyebut hadis Nabi, “Hindari bahaya dan jangan membahayakan orang lain.”
Berbagai fatwa yang dikeluarkan Lembaga-lembaga keislaman di berbagai dunia, di Eropa, Amerika, Afrika, Australia, Timur Tengah, Indonesia, dan sebagainya, tidak ada yang hanya membuat do’a sebagai satu-satunya seorang Muslim menghadapi wadah pandemik ini. Semuanya mengikuti ilmu kesehatan publik: jaga jarak dan jaga kesehatan (secara ekstra, tidak seperti dalam kondisi biasa).
Semua fatwa ini pun sepakat kondisi pandemik ini kondisi darurah dan karena itu berbagai akomodasi dan peringanan (rukhshah) dalam menjalankan ibadah ritual harus dilakukan, dan mengajak semua untuk mengikuti instruksi otoritas kesehatan yang memahami masalah pandemik dan bagaimana menghadapinya.