Opini

Jangan Lelah untuk Mencintai Indonesia

3 Mins read

Alhamdulillah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini sudah berusia 80 tahun. Nama atau terminologi “Indonesia” berasal dari  seorang etnolog Jerman bernama Adolf Bastian pada tahun 1884 dalam bukunya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels. Kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan penuh keringat, darah, nyawa, raga, harta dan tenaga dari pahlawan pergerakan, kemerdekaan, dan revolusi.

Apa motivasi tertinggi sehingga Indonesia dapat meraih kemerdekaannya? Jawabannya adalah cinta (love). Kecintaan terhadap tanah air, bangsa dan negara adalah kunci dari kemerdekaan yang kita raih. Kecintaan terhadap tanah air atau nasionalisme merupakan akar dari seluruh perjuangan rakyat Indonesia baik di masa pergerakan, kemerdekaan, dan revolusi.

Dalam hidup ini ada tiga cinta yang sejatinya harus kita tanamkan. Pertama cinta terhadap orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita (family), cinta terhadap guru kita yang telah mendidik secara formal (school) dan cinta terhadap tempat atau lingkungan kita dilahirkan dan dibesarkan (homeland). Dalam konteks bernegara (state), maka sebagai warga negara kita semua dilahirkan di tanah air Indonesia atau warga negara Indonesia. Mencintai tanah air atau secara singkatnya dimaknai sebagai sebuah patriotisme.

***

Mencintai Indonesia sebagai sebuah tanah kelahiran (homeland) adalah sebuah kewajiban (duty) bagi warga negaranya. Di tengah tengah dinamika situasi politik, sosial, budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan yang semakin dinamis, maka mencintai Indonesia harus terus ditumbuhkan di tengah tengah banyak kekecewaan terhadap realitas penegakan hukum yang belum optimal, korupsi yang masih menggurita dan menjajah mental beberapa kaum elit di jajaran pemerintahan dan birokrasi.

Mencintai Indonesia juga ditantang dengan kecemburuan terhadap disparitas atau gap yang masih menganga antara orang kaya (the have), konglomerat, elit dan pola hidup pamer (flexing) yang diekspose oleh beberapa public figure. Namun demikian, jangan lelah untuk terus mencintai Indonesia apa adanya dan terus menumbuhkan rasa cinta terhadap Indonesia.

Baca Juga  Belajar dari Nasionalisme Rakyat Amerika

Penulis begitu terinspirasi dengan sebuah perkataan (qoul) yang mengatakan bahwa mencintai tanah air sebagian dari iman. Betapa mencintai negara merupakan sebuah bukti keimanan warga negara terhadap tanah airnya.

Patologi Sosial: Nasionalisme dan Patriotisme

Sebagai sebuah unit kesatuan masyarakat terbesar (the biggest community), maka Indonesia hadir dan eksis dengan dinamika gejolak sosial, historis, demografis dan tentu saja politis. Dalam perspektif yang lebih sempit, kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan strategi pergerakan (movement/organization), perang (war) dan diplomasi.

Kemerdekaan Indonesia yang sudah dinikmati selama 80 tahun tentu saja belum dirasakan memuaskan dan memenuhi harapan masyarakat sesuai dengan cita-cita atau tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Mencintai Indonesia oleh rakyat Indonesia bukannya tanpa tantangan yang berat. Dalam prosesnya, maka tentu akan ditemui penyakit (patologi) yang akan mereduksi atau menggerogoti kepercayaan (trust) dan cinta (love) warga negara terhadap negaranya.

Menurut Ficek (2021) patriotisme rakyat di sebuah negara sangat penting. Hal tersebut dikarenakan nilai (value) jiwa patriotisme untuk warga negara yang saat ini hidup dan berwarga negara dan juga untuk warga negara atau generasi masa yang akan datang. Rasa cinta terhadap bangsa dan negara akan membentuk identitas negara yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap sejauh mana warga negara atau rakyat mau berkorban dan memiliki solidaritas dalam membangun bangsa dan menegakkan hukum.

Mengapa kita saat ini begitu menghargai dan memberikan rasa hormat (respect) terhadap para pahlawan yang telah gugur di medan perang dan perjuangan. Para pahlwan rela, tulus dan tanpa pamrih mengorbankan seluruh jiwa dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia.

***

Sebagai warga negara yang saat ini menikmati udara kebebasan dan kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain, maka tentu saat ini kita harus juga mewariskan semangat cinta tanah air kepada generasi masa yang akan datang. Hal tersebut bahkan sudah disepakati secara regulasi dan tujuan pemerintah beberapa periode dengan tagline Generasi Indonesia Emas 2024.

Baca Juga  Kartini Bukan Tentang Kebaya, Tapi Tentang Cara Kita Berpikir

Kondisi sosial politik saat ini akan sangat berpengaruh terhadap “pewaris” kemerdekaan di masa mendatang. Maka pemerintah sebagai pengelola (manager) pembuat kebijakan (policy maker) dituntut serius untuk merealisasikan cita cita atau tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Pemerintah harus konsisten dalam hal melayani dan memenuhi janji janji atau programnya sewaktu kampanye, mengedepankan kepentingan bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, menciptakan ekonomi yang berkeadilan sosial serta memberikan rasa aman bagi warga negaranya.

Apabila hal tersebut diwujudkan, maka tentunya cinta tanah air akan seiring sejalan dengan kehendak masyarakat sehingga mereka akan setia (loyal) kepada negaranya. Sehingga klaim “right or wrong is my country” sebagaimana dipopulerkan oleh PM Inggris Winston Churcill (1874-1965). Warga negara Indonesia tetap akan loyal apapun yang terjadi dengan negaranya selama pemerintah dapat melaksnakan tugasnya melayani warga negaranya dengan optimal dan mengayomi secara egaliter dan tidak diskriminatif.

Dengan izin dan takdir Allah SWT, tentunya kita harus bersyukur dengan nikmat kemerdekaan yang kita hirup dan rasakan saat ini. Maka kewajiban kita semua untuk mengisi kemerdekaan dengan melakukan hal atau karya positif yang konstruktif untuk membangun Indonesia dan sekuat tenaga sesuai dengan latar belakang dan peran sosial yang dimiliki untuk bersama sama mewujdukan cita cita atau tujuan nasional bangsa Indonesia.

Editor: Soleh

7 posts

About author
Rudi Haryono adalah seorang akademisi dan dosen di STKIP Muhammadiyah Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta program studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris. Adapun peminatan kajiannya adalah Ilmu Pragmatik (Pragmatics), Pragmatik Lintas Budaya (Intercultural Pragmatics), Bahasa dan Politik (Language and Politics), dan Isu terkait Kepemudaan (Youth Issues). Saat ini juga penulis aktif sebagai Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bogor serta merintis dan mengembangkan SMK Muhammadiyah 9 Nanggung (Muhammadiyah Boarding School/MBS) di Kabupaten Bogor.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *