Di tengah gempuran zaman dan perubahan sosial yang kian cepat, agama tetap menjadi entitas penting yang tidak dapat begitu saja disingkirkan dari ruang publik. Namun, yang memprihatinkan adalah kecenderungan hadirnya faham agama simbol. Yakni agama yang hanya tampak dalam bentuk formal dan visual belaka—tanpa diiringi oleh kehadiran pehamanan bahwa agama adalah nilai yang seharusnya menjadi kompas moral dan ruh spiritual kehidupan bersama. Fenomena ini mencerminkan bagaimana agama justru kerap ditampilkan dalam bentuk paling banal: simbol-simbol kosong yang kehilangan makna transformatifnya.
Fenomena semacam ini sungguh merupakan pereduksian nilai-nilai agama dan spiritual hingga derajat paling rendah. Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), misalnya, yang mendarah daging sekaligus ditunjukkan secara terang-terangan oleh sebagian masyarakat kita, mengindikasikan adanya proses pembanalan doktrin agama menjadi sekadar ornamen-ornamen artifisial yang tidak bermakna.
Desakralisasi Agama dan Krisis Etika Sosial
Dari kacamata sosiologi agama, hal ini merupakan bentuk desakralisasi atau sekuritisasi agama, yakni ketika nilai transenden agama diperalat untuk kepentingan politik, kekuasaan, atau pencitraan. Dalam bahasa Peter Berger, ini adalah gejala secularization from within, di mana religiositas masih tampak secara simbolis, tetapi kehilangan daya etis dan spiritualnya.
Transparency International Indonesia (TII) baru saja merilis laporan Corruption Perception Index (CPI) tahun 2024 pada 11 Februari 2025, yang menyebutkan bahwa skor CPI Indonesia naik dari 34 menjadi 37, dan peringkat Indonesia naik dari 115 ke 99 dari total 180 negara. Namun, angka ini tetap menempatkan Indonesia dalam kategori negara dengan tingkat korupsi yang serius.
Fakta ini ironis. Di satu sisi, masyarakat dan elite politik kita sangat religius secara simbolis. Namun, di sisi lain, perilaku koruptif masih berlangsung secara sistemik dan terang-terangan. Ini memperkuat kritik bahwa yang berkembang di ruang publik kita bukan keberagamaan substantif, melainkan keberagamaan kosmetik—agama sebagai jubah, bukan sebagai jalan hidup.
Belum lagi, kita disuguhi kasus jual beli jabatan perangkat desa yang melibatkan seorang kepala desa (kades). Kasus jual beli jabatan di instansi pemerintahan, dan tidak menutup kemungkinan instansi non-pemerintahan lainnya, hanyalah fenomena puncak gunung es. Kasus tersebut hanya bersifat permukaan, masih banyak kasus yang tidak terekspos di ruang publik kita.
Tentu, kita patut curiga, misalnya, bahwa praktik korupsi, jual beli jabatan, dan sejenisnya tidak mungkin dilakukan secara individu, paling tidak melibatkan pimpinannya. Hal ini sangat rasional mengingat banyaknya kasus di negeri ini serta kebijakan publik kita yang tidak berbasis pada prinsip tata kelola yang baik dan benar.
Relasi Feodalistik dalam Demokrasi yang Rapuh
Bahkan, sebagian besar kebijakan publik kita, menurut Masdar Hilmy, masih bersifat sporadis, ad hoc, dan “minimalis” dalam hal standar mutu. Lebih memprihatinkan, lanjut Hilmy, ada sejumlah kebijakan publik yang hanya didasari oleh logika perolehan rente (rent-seeking) sembari mengabaikan aspek profesionalitas, manajemen, dan mitigasi risiko.
Dalam terminologi sosiologi politik, pola relasi kuasa (antara atasan dan bawahan) disebut patrimonialisme atau clientelism, yakni pola relasi yang tidak seimbang antara sang patron dan klien. Dalam relasi ini, kekuasaan politik tidak dibangun atas dasar meritokrasi dan kepercayaan publik, melainkan melalui hubungan timbal balik antara patron (elit) dan klien (pendukung) yang saling menguntungkan secara pragmatis. Pola relasi semacam ini hanya tumbuh subur di lingkungan birokrasi serta masyarakat hierarkis dan feodalistik.
Dalam hal ini, kepentingan menjadi “mantra” sakti untuk menciptakan—untuk tidak mengatakan mengikat—hubungan patrimonialistik antara atasan dan bawahan. Pola relasi keduanya diikat dalam bingkai sistem ganjaran dan hukuman (stick and carrot) yang telah disepakati secara tak tertulis.
Membumikan Nilai Agama sebagai Tanggung Jawab Bersama
Inilah pekerjaan rumah bagi kita. Masifnya pola relasi klientelistik di negeri ini telah membentuk mata rantai jejaring kepentingan yang saling tersambung satu sama lain. Diperlukan political will dari segenap elemen bangsa untuk mengikis habis pola relasi tersebut. Tentu, dalam hal ini, membumikan nilai-nilai luhur agama menjadi niscaya.
Selama ini, agama yang berkembang di Indonesia menunjukkan perkembangan yang positif. Namun, harus diakui, hal itu tidak berbanding lurus dengan perilaku umat beragama. Mayoritas elit yang menduduki Senayan adalah kalangan beragama, dengan Muslim sebagai mayoritas sebagai buktinya. Namun, kasus korupsi dan sejenisnya juga disumbang sebagian besar dari kalangan mereka.
Ini menunjukkan bahwa indikator etika politik dan integritas wakil rakyat kita justru tidak mencerminkan nilai-nilai keagamaan mereka. Ini membuka dua kemungkinan: pertama, terjadi pemisahan antara agama sebagai identitas simbolis dan agama sebagai laku etis; kedua, agama telah menjadi bagian dari kapital simbolik politik yang dikomodifikasi untuk meraih kuasa, bukan untuk membimbingnya. Konsekuensinya adalah terjadinya fenomena yang dalam istilah Max Weber disebut sebagai disenchantment dalam politik, yakni hilangnya ruh etik dari praktik kekuasaan meskipun secara simbolis tampak agamis.
Agama Bukan Lewat Simbol, Tapi Nilai
Di sinilah letak urgensi kehadiran nilai-nilai agama di ruang publik. Upaya menghadirkan Tuhan ke ruang publik harus dilihat sebagai kenyataan empiris-historis yang dalam perspektif demokrasi tidak dapat dimatikan. Namun, yang ditekankan bukanlah penguatan agama formal (seperti dominasi aturan-aturan agama di ranah negara), melainkan agama dalam bentuk nilai-nilai etis dan spiritual yang mampu menjawab krisis integritas, moral publik, dan keadilan sosial.
Yang harus digarisbawahi di sini adalah bahwa agama dapat diterima di ruang publik sepanjang yang dihadirkan adalah dimensi spiritual-etik dan moral yang membantu kehidupan bangsa dalam menangani berbagai persoalan kemanusiaan. Bukan dimensi legal-formal yang selama ini menjadi pangkal perdebatan.
Karenanya, kehadiran Tuhan dalam ruang publik akan lebih berbobot jika dilakukan dalam tataran substantif, bukan simbolis. Jadi, yang lebih dikedepankan di sini adalah aspek nilai agama (religious values), bukan simbol agama (religious symbol). Perlu dicatat, masyarakat kita semakin kritis untuk membedakan mana yang bersifat simbolis (baca: memanfaatkan isu-isu keagamaan) semata. Di mana yang benar-benar substantif, dalam arti membawa misi profetik-transformatif.
Menghadirkan Tuhan di ruang publik bukan berarti mengerek simbol agama di mana-mana, tetapi bagaimana nilai ketuhanan—kejujuran, keadilan, dan kepedulian. Diwujudkan dalam kebijakan publik dan perilaku elite. Jika skor CPI Indonesia masih menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang dipersepsikan korup, maka agama masih memiliki pekerjaan rumah besar: bukan untuk tampil simbolis lebih sering, tetapi untuk hadir lebih dalam.
Editor: Assalimi