Tajdida

Jangan Setengah-Setengah Melihat Muhammadiyah

3 Mins read

Pagi tadi dalam perjalanan menuju Kota Hujan, saya mencoba melihat konten di media sosial. Ada beberapa hal menarik baik dari video rewind Indonesia 2020 hingga konten lucu yang dibuat dubber-dubber di Indonesia.

Ada satu konten yang menjadi perhatian saya. Yaitu, konten berupa gambar dua orang yang sedang bertengkar akibat  perbedaan pandangan. Salah seorang dari mereka menyebut yang di lihat adalah angka 9, sedangkan sisi lain melihat objek tersebut angka 6.

Di Indonesia, tidak jarang terjadi keributan dan perbedaan pandangan akibat malas mencari tahu kebenaran serta malas membaca sesuatu hal secara utuh. Bahasa kerennya, hanya terbiasa baca judul artikel tanpa membaca isinya.

Sebetulnya kunci dari permasalahan ini hanya satu, yaitu jangan fakir literasi. Dengan demikian perbedaan pandangan bisa diatasi dengan toleransi dan saling paham karena masing-masing individu memilih keputusan selalu ada alasan yang melandasi keputusan tersebut.

Nyinyiran untuk Muhammadiyah

Perbedaan pandangan akibat “malas baca” juga terjadi pasca pengumuman “squad” kabinet Captain Joko Widodo di periode kedua ini. Tidak sedikit kalangan yang meributkan pergantian pemain tersebut bersama beberapa wakil menterinya.

Muhammadiyah, sebetulnya mendapatkan “jatah” kursi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun karena kerendahan hati Prof. Abdul Mu’ti, akhirnya Muhammadiyah melepaskan tawaran tersebut.

Atas keputusan tersebut, ternyata banyak respons dari berbagai kalangan termasuk Bapak-bapak Facebook yang sebagian suka hanya baca judulnya. Sehingga kita tau apa yang terjadi. Tentu, banyak orang yang gagal paham karena membaca judul artikel saja tanpa isinya.

Tuduhan-tuduhan menyeramkan dilontarkan ke Muhammmadiyah, dari Muhammadiyah pantas direndahkan, Muhammadiyah cuma gertak, Muhammadiyah payah dalam berpolitik praktis, dan masih banyak nyinyiran netizen jaman now via media sosial ataupun media resmi.

Baca Juga  Bandingkan Mall dan Konser Kok dengan Masjid dan Salat Id?

Saya tidak mengerti, mengapa orang-orang harus mengirimkan sedikit tuduhan tersebut. Padahal ini bukan terjadi yang pertama kali. Banyak pimpinan Muhammadiyah yang sering menolak jabatan untuk bergabung ke dalam pemerintahan.

Contohnya saja Pak AR Fachruddin. Beliau semasa menjabat di Muhammadiyah sering ditawari jabatan-jabatan yang menggiurkan seperti Anggota DPR, Anggota MPR bahkan Menteri di Era Pemerintahan Presiden Soeharto.

Di Muhammadiyah, para pimpinan memiliki tradisi di mana mereka yang ditawari jabatan harus dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan pimpinan yang lain. Jikalau keputusan musyawarah siap menerima tapi keputusan inti tetap ada di pribadi, siap atau tidak.

Saya dulu diajarkan, di Muhammadiyah jangan meminta jabatan. Jikalau diamanahkan, silahkan terima dengan catatan sanggup menjalankan amanah tersebut dengan baik. Apabila saya sanggup maka ambil, namun jika tidak sanggup lebih baik berikan kepada orang yang lebih sanggup agar tidak menjadi beban.

Hingga saat ini, Muhammadiyah tidak pernah meminta-minta atau bahkan menargetkan harus menduduki jabatan pemerintahan. Apalagi hingga marah-marah di media sosial karena hanya tidak diberikan jabatan menteri.

Muhammadiyah akan menunjukkan taringnya bukan karena meminta jabatan menteri, tetapi jika penguasa membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat serta melenceng dari Undang-undang Dasar 1945.

Itulah ciri khas Muhammadiyah. Tentu belum banyak orang yang tahu sehingga masih banyak yang nyinyir terhadap keputusan Prof. Abdul Mu’ti untuk tidak menerima jabatan wakil menteri. Ya itulah Muhammadiyah, tidak gila jabatan dan memaksakan jika tidak mampu.

Ngopi Bareng Muhammadiyah

Selanjutnya, dari keputusan Prof. Mu’ti merambat kepada anggapan Muhammadiyah tidak moderat, membela Islam ekstremis dan bahkan lebih buruknya Muhammadiyah dianggap tidak toleran terhadap suatu hal.

Oh no, no, no. Aneh juga mereka yang berbicara seperti itu. Padahal Muhammadiyah di berbagai tingkat pendidikan, ada saja peserta didik yang bukan beragama Islam. Dan itu disebut intoleran dan tidak moderat? What The Fun!

Bisa dibuktikan, tidak usah datang ke institusi Muhammadiyah yang bersangkutan, cukup cari saja di goggle dan ketik “Mahasiswa agama lain yang kuliah di Muhammadiyah”. Akan banyak jawabannya di situ. Masih belum percaya? Makanya ngopi di Muhammadiyah.

Baca Juga  Membendung Infiltrasi Gerakan Islam Transnasional dalam Muhammadiyah

Masih banyak bukti lain bahwa Muhammadiyah moderat. Contoh di Rumah Sakit Muhammadiyah yang menerima pasien non muslim dan apa yang mereka katakan? Muhammadiyah memang organisasi yang toleran dan tidak membedakan fasilitas kepada siapapun.

Contoh berikutnya, dalam setiap program kebencanaan termasuk mengatasi Covid-19, Muhammadiyah tidak pernah pandang bulu dalam memberikan pertolongan. Sekalipun banyak para korban bukan seorang muslim.

Lalu apakah ini yang disebut intoleran dan tidak moderat? Oh, mungkin saya harus berprasangka baik, dan mengatakan “mungkin mereka belum kenal jauh dengan Muhammadiyah. Masih kurang lama ikut ngopi di Muhammadiyah”.

Contoh lainnya, Muhammadiyah tetap bersikap moderat kepada anggotanya. Keputusan Muhammadiyah membebaskan anggotanya untuk memilih partai apapun dalam berpolitik merupakan contoh kebebasan dalam Muhammadiyah.

Mau masuk partai A, memilih si B, mereka semua dibebaskan. Muhammadiyah hanya menentukan kriteria calon yang harus dipilih. Ini tentu sesuai dengan Khittah Muhammadiyah yang menyebutkan Muhammadiyah harus menjaga jarak yang sama dengan partai politik apapun.

Selain itu, Muhammadiyah tidak pernah pandang bulu untuk mengkritik dan memberikan apresiasi kepada pemimpin pemerintahan siapa pun itu. Muhammadiyah akan memberikan apresiasi jika pemerintah membuat sebuah prestasi untuk masyarakat. Dan mengkritik jika Pemerintah membuat keputusan yang merugikan masyarakat. Siapa pun pemerintahnya termasuk jika yang memimpin kader Muhammadiyah itu sendiri.

Pertanyaannya, Muhammadiyah kurang moderat sebelah mana? Kalau mau otoriter, Muhammadiyah tinggal membuat surat instruksi untuk memilih dan memenangkan calon A dari Partai B. Pasti semua warga Muhammadiyah akan mengikuti surat instruksi tersebut. Tapi karena Muhammadiyah tidak otoriter, hal di atas hampir tidak pernah kita temukan.

Nah, saran saya bagi orang-orang yang sudah nyinyir terhadap Muhammadiyah. Yuk kenalan lebih jauh, sering-sering ngopi, sering-sering baca, sehingga lihat Muhammadiyah tidak setengah-setengah dan menuduh yang tidak-tidak,

Baca Juga  Muhammadiyah dan Industri 4.0: Menyiapkan Peradaban Islam Progresif (Bagian 1)

Salam Damai

Editor: Yusuf

17 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds