Falsafah

Konsep Being Menurut Jean Paul Sartre dan Muhammad Iqbal

3 Mins read

Jean Paul Sartre adalah seorang filsuf kontemporer dan seorang penulis yang berkebangsaan Peransi. Pada masa kecilnya, ia mempercayai akan keberadaan Tuhan. Namun kepercayaan itu sirna ketika ibunya menikah lagi. Hal ini membuatnya sangat terpukul dan beberapa saat kemudian ia secara terang-terangan menolak tentang keberadaan Tuhan.

Konsep L’ etre pour soi atau being for itself  Jean Paul Sartre muncul pada filsafat eksistensialisnya yang dilatari oleh masa-masa kegetirannya selama Perang Dunia II di Perancis pada tahun 1939. Kepahitan itu malah membuatnya menjadi pribadi eksistensialis ulung dan pemikirannya menjadi pencerah bagi masyarakat Eropa modern kala itu.

Konsep Being Menurut Jean Paul Sartre

Di mana, ia memperkenalkan konsep kebebasannya yang menegasikan Tuhan sebagai struktur fondasional pemikiran. Menurutnya, eksistensi Tuhan hanya akan menjadi penghalang bagi eksistensi dirinya dan kebebasan dirinya.

Bahkan, ia memproklamirkan, bagi siapa saja yang masih percaya kepada Tuhan, maka ia tidak akan pernah menjadi manusia yang otentik.

Menurut Jean Paul Sartre, sepanjang manusia masih memiliki hasrat dan kehendak, ia adalah agen aktif yang mampu membangun kehidupan yang lebih bermakna. Dan sepanjang ia mengartikan kebebasannya sebagai modalitas utama, dengan tujuan mendamba satu kemungkinan dari seribu ketidakpastian, maka ia adalah makhluk khas yang berjalan tertatih. Namun pasti menuju ke pusat eksistensinya sebagai manusia yang otentik.

Konsep Being Menurut Muhammad Iqbal

Sementara dalam dunia Islam, ada Sir Muhammad Iqbal yang juga datang dari abad 20. Ia adalah seorang penyair, politisi, dan sekaligus filsuf besar abad 20 yang juga seorang eksistensialis.

Ia juga dikenal dengan Allama Iqbal dan dianggap sebagai tokoh paling penting dalam sastra Urdu. Berikut salah satu syair matsnawi-nya yang tak jauh berbeda dengan nalar eksistensialisnya Sartre.

Baca Juga  Akidah Rusak Karena Belajar Filsafat, Masa?

“Segala sesuatu berupaya mengungkapkan diri. Setiap zarrah mati demi keagungan demi keagungan. Tanpa mengungkapkan diri hidup ini bukan hidup. Dengan pribadi sempurnanya insan seolah Tuhan. Dengan kekuatan pribadinya jerami berubah jadi gunung. Bila gunung lemah ia akan kembali jadi tumpukan jerami. Pribadi sajalah yang hakiki di jagad raya. Yang lain hanya khayalan semata”.

Dalam syair tersebut, Iqbal menggambarkan tentang perkembangn dan kesempurnaan being yang akan terus mengalami tingkatan selama ia terus berusaha untuk mencapainya di alam semesta ini. Caranya adalah dengan melakukan serangkaian tindakan yang meliputi aspirasi, gagasan, maupun kepercayaan sebagai upaya untuk mewujudkan kesempurnaan being.

Iqbal menyebut ini sebagai khudi. Yang secara etimologi, berarti pribadi, ego, atau individualitas yang merupakan suatu kesatuan yang riil. Menurutnya, khudi adalah pusat dan merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional dan menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk. Melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur.

Dua Cara Memandang Khudi

Kata Iqbal, khudi dapat dipandang melalui dua cara, yakni secara metafisis; dan secara etis. Secara metafisis, kata khudi dipakai dalam arti perasaan tentang “Aku” yang tidak dapat dilukiskan dan merupakan dasar keunikan tiap individu. Sedangkan secara etis, kata khudi berarti mengandalkan diri sendiri, harga diri, percaya diri sendiri, mempertahankan diri, bahkan menonjolkan diri.

Tampaknya, nalar kreatif eksistensialisnya Sartre masuk kedalam khudi yang kedua ini.  Sebab proyek utamanya adalah lebenswelt, yakni dunia kehidupan yang tampak (anti idealis). Di samping itu, khudi yang pertama atau yang metafisis adalah produknya idealis. Jadi sudah barang tentu akan ditolak oleh Sartre; seperti cogitonya Cartesian.

Pandangan Jean Paul Sartre yang Harus Ditolak oleh Islam

Selain apa yang telah disebutkan tadi, yang juga perlu ditentang dalam filsafatnya Sartre bagi umat Islam adalah konsep L’ etre en soi (being in itself). Sartre mengartikan ini sebagai sesuatu yang tidak mempunyai sejarah masa silam. Tidak mempunyai kemungkinan masa depan, sekaligus tidak memiliki tujuan.

Baca Juga  Genealogi Sekuler Menurut Talal Asad

Jadi adanya itu (benda) ya ada begitu saja, tanpa dasar, dan tanpa diciptakan. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi umat Islam, andai mempercayainya.

Hampir senada dengan apa yang ditentang oleh Al-Ghazali bagi pendukung qadim-nya alam yang merupakan para filsuf muslim sebelumnya.

Dalam Tahafut Al-Falasifah-nya, Al-Ghazali mengatakan bahwa apabila alam dikatakan qadim (tidak bermula; tanpa diciptakan), adalah mustahil karena bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an, bahwa Allah lah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).

Dalam hal ini, dapat menjadi suatu asumsi bahwa qadim-nya alam atau yang menurut Sartre alam ini ada begitu saja adalah suatu yang bertentangan dengan akal. Sehingga, tidak ada kerasionalan di dalamnya. Sebab, hanya Allah lah yang satu-satunya memiliki sifat qadim (ada sejak dulu).

Lalu tentang tujuan adanya alam dan segala isisnya itu, Golshani telah menunjukkannya di dalam Al-Qur’an yakni tentang asal-usul dan evolusi dunia (QS. Al-Ankabut: 20), adanya tata tertib (keteraturan) & harmoni di alam semesta (QS. Al-Furqon: 2), dan adanya tujuan dibalik penciptaan alam semesta (QS. Al-Anbiya: 16).

Dengan demikian, terdapat benang merah antara nalar Sartre dan Iqbal yang sama-sama concern dalam mengangkat derajat ke ”diri” an menuju kesempurnaan yang khas serta otentik.

Bedanya terletak pada pendasaran pemikiran akan kepercayaan kepada Tuhan sebagai pondasi berpikirnya. Sementara yang lain dari pada itu, Al-Ghazali dan Gholshani telah memantabkan kepercayaan yang menjadikan rasionalitas Islam sebagai pijakan kefilsafatannya.

Wallahu A’lam Bisshshawab.

Editor: Rozy

Muhammad Habibullah
18 posts

About author
Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds