Nama kecilnya Mashudul Haq (pembela kebenaran). Ia dilahirkan dan tumbuh dari serpihan surga yang turun ke bumi, tepatnya Bukit Tinggi. Di Bukit Tinggi terdapat Ngarai Sinaok, daerah yang memiliki lembah yang sangat indah dengan sebutan Grand Canon of Indonesia. Lahir pada 8 Oktober 1884.
Ia tumbuh pada masa penjajahan Belanda. Berkat kedudukan orangtuanya kelak ia mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam menempuh pendidikan. Salim lahir dari keturunan keluarga pegawai pada masa pemerintahan Belanda.
Ayahnya, Sutan Muhammad Salim adalah seorang jaksa Kepala di Riau. Ibunya seorang keturunan keluarga terpandang. Mashudul Haq diasuh oleh orang Jawa Timur. Panggilan kesayangannya adalah “Gus”. Salim adalah nama belakang ayahnya. Pada waktu itu, teman-temannya ikut-ikutan memanggil “Gus”, lalu berubah “agus”. Di sekolah pertamanya ia tercatat “August Salim” (Basri, Faisal, 2019).
Pendidikan Agus Salim
Agus Salim menapaki bangku pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar paling mentereng di masa kolonial. Ia sangat menyukai bahasa asing. Ia memanfaatkan waktu dengan sangat baik.
Di pagi harinya ia sekolah, di malam harinya ia mengaji di surau bersama teman sekampungnya. Salim kecil sangat rajin membaca buku, ia menyadari betul bahwa pengetahuannya di sekolah belumlah seberapa.
Setelah lulus dari ELS, di tahun 1898 ia meneruskan studi di Hogere Burger School (HBS) di Batavia. Ia menempuh pendidikan di HBS selama lima tahun. Di HBS, ia menyelesaikan di usia 19 tahun dengan nilai yang sangat memuaskan. Ia semula mengajukan beasiswa ke Belanda namun ditolak. Kartini waktu itu ikut serta mengusahakan beasiswa untuknya, namun ia terlanjur kecewa terhadap penolakan oleh pemerintah kolonial pada waktu itu. Ia pun sejak itu memutuskan untuk bekerja.
Menempa diri
Selepas HBS, ia memutuskan untuk bekerja dan menata hidupnya. Dari sinilah panggung kehidupan Salim dimulai. Ia bekerja pertama kali sebagai penerjemah di Jakarta, tidak lama setelah itu, ia membantu ayahnya di Riau sebagai pembantu notaris. Di tempat kerjanya itu pun, Salim tidak puas dan berpindah ke Indragiri sebagai asisten notaris pada perusahaan batu bara sampai 1906.
Setelah itu, pada tahun 1906, ia dirundung duka mendalam karena ibunya wafat. Ia sangat berduka karena konon kematian ibunya akibat memikirkan Salim nasib anaknya. Kepergian sang Ibu meninggalkan luka cukup dalam di hati Salim. Ia lalu ia melanglang ke Jeddah menjadi konsulat Belanda, yang semula ia tolak.
Mukayat (1985) dalam karyanya Haji Agus Salim, Karya dan Pengabdiannya menggambarkan bagaimana kehidupan Salim di negeri Arab itu.
“Lima tahun di Negeri Arab, Agus Salim berusaha memperoleh pengalaman dan pengetahuan sebanyak mungkin. Keistimewaannya dalam mempelajari bahasa, menyebabkan ia dalam waktu singkat menguasai bahasa Arab. Ini kemudian menjadi sarana tidak ternilai untuk memperdalam pengetahuan agama. Salim ke Arab tidak semata mencari uang, ia juga memperdalam ilmu agama.”
Pada saat di Arab ini sebenarnya ia hendak membina keluarga dengan orang Arab. Ia pun akhirnya bercerai karena Salim memilih untuk pulang ke Indonesia.
Jatuh Hati pada Tjokro Aminoto
Sepulang dari Arab, ia mendapat pekerjaan di Jawatan Pekerjaan Umum dari 1911-1912. Lepas itu, ia mendirikan sekolah HIS (Holland Inlandse School) untuk anak-anak bumi putera. Sembari merawat sekolah yang didirikannya, ia kemudian menikah dengan Zaenatun Nahar 12 Agustus 1912.
Untuk memperluas sekolahnya, ia mengikuti ujian tes calon guru. Namun karena faktor sentimen colonial, ia gagal di Bahasa Belanda walau Bahasa Belanda Salim tidak diragukan lagi.
Salim kemudian mengajak istrinya ke Bogor, lalu Jakarta. Di tahun 1915, dirinya tercatat sebagai redaktur II di Neraca bersama Abdul Muis. Neraca waktu itu diawasi oleh Datuk Tumenggung yang diharapkan bisa mengendalikan pers pada waktu itu agar tidak begitu membahayakan kepentingan kolonial.
Di Bawah Abdul Muis, Neraca turut serta menyuarakan pers yang tidak memihak kolonial dan mengangkat Central Sarekat Islam. Muis pun mengundurkan diri. Agus Salim menggantikan Abdul Muis dan meneruskan perjuangan rekannya di Neraca. Salim pun akhirnya diberhentikan di tahun 1920.
MC Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008:373), mencatat Agus Salim menghadiri rapat Sarekat Islam sebagai mata-mata polisi Belanda pada 1915. Kala itu Perang Dunia I sedang berkecamuk, Belanda tentu khawatir akan bahaya jika Jerman benar-benar “bermain” dengan Sarekat Islam.
Namun, Ricklefs menyebut isu Sarekat Islam yang didekati Jerman ternyata hanya isapan jempol, dan pemberontakan yang dicurigai akan dilakukan Sarekat Islam pun nyatanya tak pernah terjadi (Tirto, 10 November 2020).
Agus Salim justru tertarik lebih jauh kepada Tjokroaminoto yang kehadirannya dielu-elukan banyak orang. Ia pun bersedia membantu Sarekat Islam sejak itu, dan untuk menghidupi keluarganya, ia bekerja di Neraca di tahu1915.
Ketika Sarekat Islam menghadapi perpecahan di tubuh organisasinya, Agus Salim kelak yang menguatkan berjuang bersama Tjokroaminoto. Pada kongres pengurus SI tanggal 6-10 Oktober 1921, terjadilah pertentangan sengit dua kubu SI Merah dan SI putih. Agus Salim memilih SI Putih bersama Tjokroaminoto.
Agus Salim dan Muhammadiyah
Selama di Arab, ia bertemu dengan pamannya Ahmad Khatib yang lebih dulu di sana. Ahmad Khatib sangat erat hubungannya dengan Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Hubungan Agus Salim dengan Ahmad Khatib membuatnya mempelajari pemikiran para pemikir Islam modern seperti Jamaluddin Al Afghani dan juga Mohamad Abduh (Mukayat, 1985).
Pemikiran modern Agus Salim membawanya lebih dekat dengan gerakan Islam seperti Muhammadiyah. Pada Kongres Al-Islam II di Kota Garut, Sarekat Islam bekerjasama dengan Muhammadiyah.
Ia dibantu dengan pengurus besar Muhammadiyah memimpin Kongres. Pada kesempatan itu, ia menguraikan tentang fungsinya agama dengan ilmu pengetahuan, hubungan Islam dengan sosialisme.
Hubungan Agus Salim dan Muhammadiyah agak merenggang saat Agus Salim pulang dari Mekkah. Ia mendapatkan ide untuk mendirikan Majelis Ulama. Anggotanya adalah para ahli agama, tugasnya mengadili persoalan yang timbul di kalangan agama Islam.
Pada tanggal 26-30 Januari 1928 di Yogyakarta terjadi Konggres Khusus Sarekat Islam yang di dalamnya membahas Majelis Ulama. Pada pertemuan itu terjadilah pertentangan antara kooperasi dengan pemerintah atau tidak.
***
Muhammadiyah berpendapat bahwa kooperasi dengan pemerintah perlu karena uang pemerintah juga uang rakyat. Waktu itu, Muhamadiyah tidak menolak subsidi dari pemerintah Belanda.
Dahlan dan Agus Salim memiliki kesamaan dalam menampilkan Islam. Keduanya menjadi anggota Muhamadiyah dan Sarekat Islam. Dahlan resmi menjadi anggota Sarekat Islam sejak berdiri di tahun 1910 dan Salim lima tahun kemudian.
Belakangan, Agus Salim menjadi orang nomor dua setelah HOS Tjokroaminoto. Ketika Dahlan mendirikan Muhamadiyah 1912, tidak lama kemudian Agus Salim pun bergabung. Keduanya terpisah ketika Salim memimpin disiplin organisasi dalam Sarekat Islam. Salim memilih di Sarekat Islam dan Dahlan di Muhamadiyah (Majalah Tempo, 18/8/2013).
Menurut KH Suprapto, 1921, waktu itu tahun 1918 sempat ada debat antara Kiai Dahlan dengan Agus Salim yang sama-sama Muhamadiyah. Dengan retorikanya yang bagus, Agus Salim hampir mempengaruhi peserta sidang. Kiai Dahlan menunjukkan ketidaksetujuannya. Sampai-sampai beliau menggebrak meja. Kiai Dahlan menjawab seluruh argumen Agus Salim dengan jawaban retoris, “Apakah Muhamadiyah itu? Apakah gerakan Islam itu? Apakah yang kita lakukan ini, untuk apa dan mengapa?” (Haedar Nasir, 6 januari 2021).
Hubungan Agus Salim dengan Kiai Dahlan (Muhammadiyah), berakhir saat Agus Salim memilih di Sarekat Islam, dan Kiai Dahlan di Muhamadiyah di tahun 1921 pada kongres ke-51. Meski demikian, Agus Salim dan Ahmad Dahlan tetap berjuang dalam wilayah masing-masing hingga Indonesia merdeka dan akhir hayat masing-masing.
Akhir Perjuangan
Ia meninggal di usia 70 tahun. Tanggal 4 November 1954, ia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum Jakarta. Karir politiknya dimulai sejak duduk di Volksraad atau Dewan Rakyat (1921-1924). Agus salim juga merupakan anggota panitia sembilan dan BPUPKI. Agus Salim adalah tokoh yang modern yang mengusulkan dihapusnya tujuh kata dalam sila pertama.
Setelah kemerdekaan ia menjadi Menteri Muda Luar Negeri di masa Kabinet Syahrir II 1946 dan III pada 1947. Agus salim juga seorang diplomat yang membuka hubungan negara-negara Arab pada awal kemerdekaan, terutama Mesir 1947.
Di tahun 1947 dan 1948, ia masih menjabat sebagai menteri luar negeri di kabinet Amir Sjarifudin dan juga Kabinet Hatta. Tahun 1953, ia undur diri dari kegiatan politik dan banyak menelorkan buku tentang Islam.
Meski berbeda wadah gerak, namun Agus Salim dan Kiai Dahlan sama-sama berjuang untuk kemerdekaan dan kejayaan bangsa Indonesia.
Editor: Yahya FR