Masa kepemimpinan Usman bin Affan paling lama dibanding dengan kepemimpinan Khulafaurrasyidin sebelumnya. Usman memerintah sejak tahun 644-655 M. Kurang lebih sekitar 15 tahun Usman bin Affan memimpin umat Islam.
Riwayat Hidup Singkat
Namanya Usman bin Affan bin Abi al-Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi al-Manaf. Silsilah keluarga Usman bin Affan masih sangat dekat dengan silsilah Nabi SAW. Dapat dikatakan, Usman adalah kerabat Nabi SAW. Nenek moyang Usman dan Nabi SAW bertemu pada silsilah Abdul Manaf putra Qusay.
Dari Abdul Manaf menurunkan keluarga Naufal, Abdu Syams, dan Hasyimi. Dari silsilah keluarga Naufal itulah menurunkan keluarga Umayyah. Ibu Usman bernama Urwa binti al-Baidha’ binti Abdil Muthalib bin Hasyim bin Abdil Manaf. Dengan demikian, dari silsilah ibu, Usman termasuk keturunan keluarga Hasyimi. Nabi SAW sendiri berasal dari silsilah keluarga Hasyimi (Sou’yb: 323).
Usman adalah salah satu di antara beberapa tokoh Quraisy yang masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ketika gerakan dakwah di Makkah masih secara sembunyi-sembunyi. Sahabat Usman adalah pemuda yang turut hijrah ke Abessinia, baik yang pertama (615 M) maupun yang kedua (616 M), bersama istrinya, Ruqayyah binti Muhammad SAW. Ketika Ruqayyah wafat di Madinah, Usman dinikahkan oleh Nabi SAW dengan salah seorang putrinya, ialah Ummu Kaltsum. Atas dasar inilah, Usman bin Affan mendapat julukan Dzu Nuraini (orang yang memiliki dua cahaya).
Kepribadian
Setelah kemangkatan Umar, sebagai penggantinya adalah Usman bin Affan. Pasca tragedi pembunuhan Umar ibn Khattab, umat Islam secara aklamasi mengangkat sosok dermawan muslim ini. Dia termasuk salah satu di antara para sahabat yang masuk kategori as-sabiquna al-awwalun.
Dalam tampuk pemerintahan Usman, beberapa pejabat yang menduduki posisi strategis telah dicopot untuk kemudian diganti dengan orang-orang Umayyah. Perubahan secara besar-besaran dalam struktur ini semakin kental dengan nuansa nepotisme. Beberapa pejabat pemerintahan telah didominasi oleh keturunan Umayyah.
Sejarawan Marshall G.S. Hodgson (2002: 307) menilai bahwa sosok Usman sebenarnya seorang yang saleh dan dermawan. Apalagi, dia menantu Nabi SAW. Usman berusaha meneruskan kebijakan-kebijakan Umar yang revolusioner, tetapi dengan kemampuan yang kurang. Di bawah kepemimpinan Usman telah muncul kekuasaan Bani Umayyah. Pada masa kepemimpinan Umar, suku-tentara yang ditempatkan di kota-kota garnisun masih tetap hidup secara terpisah sebagai penduduk non-Arab. Tetapi, pada masa kepemimpinan Usman, mereka telah dimanfaatkan oleh para saudagar Quraisy dan sekutu-sekutunya dari Thaif untuk melawan tribalisme.
Keadaan terus berubah semakin parah ketika sentimen Arab sejati merambah kepada para serdadu dan gubernur. Dalam hal ini, Usman tidak mampu mencegah para keluarga Makkah dari suku Quraisy, khususnya klan Umayyah, untuk mengintervensi propinsi-propinsi kaya yang sangat menguntungkan secara ekonomis. Akhirnya, motif ekonomi dari para keluarga pedagang Quraisy telah mencampuri urusan politik di beberapa propinsi.
Kepemimpinan
Sejarawan Joesoef Sou’yb juga memberikan analisis bahwa sosok Usman tidak kuasa menahan ambisi para keluarga Umayyah di sekelilingnya. Dalam pemerintahan, tradisi penunjukan jabatan berdasarkan ikatan kekeluargaan telah menjadi bibit konflik berkepanjangan. Tradisi inilah yang menjadi cikal-bakal model kepemimpinan keluarga (dinasti) yang tumbuh belakangan. Lahirnya kepemimpinan Dinasti Umayyah pasca Khulafaurrasyidin menjadi bukti bahwa kepemimpinan Usman telah meletakkan dasar-dasar dinasti dalam Islam.
Sejarawan M. Abdul Karim mencoba membantah tuduhan-tuduhan miring tersebut, khususnya yang dilayangkan oleh para penulis Barat kepada Usman bin Affan. Menurutnya, alasan pergantian beberapa kepala daerah, seperti kasus pengangkatan Mu’awiyah sebagai gubernur di Syam, pengangkatan Abdullah bin Amir sebagai kepala di Bashrah, dan pengangkatan Walid bin Uqbah di Kufah, merupakan kebijakan atas dasar kompetensi yang dimiliki masing-masing tokoh tersebut.
Sekalipun Mu’awiyah, Abdullah bin Amir, dan Walid bin Uqbah adalah kerabat Usman bin Affan (bani Umayyah), tetapi pengangkatan mereka sebagai kepala daerah atas dasar pertimbangan yang logis. Mu’awiyah, misalnya, dinilai sangat cakap dan berhasil ketika menghadapi peperangan melawan Bizantium. Abdullah bin Amir diangkat sebagai pemimpin di Bashrah karena Abu Musa al-Asy’ari memang tidak disukai oleh rakyatnya. Sedangkan Walid bin Uqbah diangkat sebagai gubernur di Kufah menggantikan Sa’ad bin Waqas adalah kebijakan dari Umar bin Khattab yang baru terlaksana pada masa kepemimpinan Usman. Sa’ad diberhentikan karena telah menyalahgunakan kekuasaan.
Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang kepemimpinan Usman, tetapi satu fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah munculnya gelombang protes karena umat Islam tidak puas atas kebijakan-kebijakan sang khalifah. Reformasi yang dilakukan oleh Usman bukannya menambah optimis bagi umat Islam, tetapi malah sebaliknya. Beberapa kalangan merasa tidak puas dengan kebijakan Amir al-Mu’minin.
Gelombang Protes Memicu Tragedi
Sebagian umat Islam merasa tidak puas dengan pencopotan beberapa pejabat tinggi. Sedikit demi sedikit sikap umat Islam semakin menampakkan ketidakpuasaan terhadap rezim Usman bin Affan. Semangat kebencian semakin tertanam dalam-dalam di kalangan umat Islam. Di sinilah kemudian beberapa tokoh Islam yang tidak puas atas kebijakan-kebijakan pemerintah, mereka mengambil langkah-langkah perlawanan. Di antara tokoh-tokoh yang tidak puas terhadap kebijakan Usman adalah Muhammad bin Abi Bakar. Putra Abu Bakar ini terlibat dalam kudeta terhadap kepemimpinan Usman bin Affan.
Dalam situasi yang sangat menegangkan, seorang yang tadinya rahib Yahudi namun masuk Islam pada zaman Nabi SAW, yakni Abdullah bin Sabba’, justrumemanfaatkan dua kubu yang telah berselisih dengan jalan menyebar provokasi perpecahan. Suasana semakin memuncak sehingga sebagian tokoh Islam menuntut pelepasan jabatan Usman bin Affan sebagai khalifah. Umat Islam kemudian menuntut dengan tegas setelah tuduhan-tuduhan terhadap Usman memojokkan kekuasaannya. Tragedi besar menimpa khalifah Usman bin Affan. Pengepungan besar-besaran dalam waktu tiga hari menuntut ketegasan sikap dari Usman. Namun, ia tetap pada garis kebijakan yang dibuatnya sendiri. Usman bin Affan akhirnya terbunuh di dalam rumahnya sendiri akibat gejolak umat yang tidak percaya lagi dengan Amir al-Mu’minin.
Pada waktu Subuh, hari Jum’at, tepatnya tanggal 8 Dzulhujah tahun 35 Hijriyyah atau bertepatan dengan tahun 656 Masehi, Usman bin Affan menghembuskan nafas terakhirnya seraya memeluk mushaf al-Qur’an (Mushaf Ustmani). Kemangkatan Usman bin Affan yang tidak wajar menjadi titik tolak perpecahan umat. Pasca kepemimpinan Usman bin Affan, estafet kepemimpinan Khulafaurasyidin dipercayakan kepada Ali bin Abi Thalib. Namun, dengan terpilihnya Ali bukan berarti persoalan umat Islam menjadi reda. Justru, polemik umat Islam semakin meruncing. Fitnah besar (al-Fitnah al-Qubra) yang menimpa umat Islam justru bermula dari tragedi pembunuhan Usman bin Affan.
Pemikiran
Keberhasilan dalam kepemimpinan Usman bisa kita lihat melalui penaklukan Iskandariyah (Mesir), Tripoli, Cyprus dan sebagainya. Banyak daerah taklukan umat Islam pada saat itu. Suatu kesuksesan besar bagi kekhalifahan Usman bin Affan adalah selesainya proyek kodifikasi ayat-ayat al-Quran yang kemudian menjadi cikal-bakal mushaf al-Quran seperti yang kita lihat saat ini.
Kita kembali teringat di masa kekhalifahan Abu Bakar di mana saat itu tiap-tiap ekspansi menelan banyak korban para Khafiz. Di sinilah inisiatif Umar untuk mengumpulkan tulisan-tulisan ayat yang berserakan itu. Juga dengan pertimbangan kekhawatiran akan hilangnya hafalan-hafalan al-Quran. Jadi, ide pengkodifikasian al-Quran datang dari Umar atas pertimbangan keberlanjutan eksisitensi al-Quran di masa yang akan datang. Sebelumnya, ide itu sempat ditolak karena Rasulullah SAW sendiri sama sekali tidak melakukan hal itu. Hanya saja kemampuan berargumentasi dari Umar mampu meyakinkan Abu Bakar yang saat itu memangku jabatan sebagai Amir al-Mu’minin.
Proyek besar itu pun dimulai dari khalifah pertama itu dan selesai pada masa Khalifah Usman bin Affan. Terpilih sebagai ketua tim pengumpulan dan sekaligus penulisan ayat-ayat tersebut adalah Zaid bin Tsabit, seorang sahabat sekaligus juru tulis Nabi SAW. Awalnya, pembukuan al-Quran baru terbentuk satu buah.
Dalam perkembangan berikutnya terjadi perbedaan bacaan di kalangan para sahabat. Saat itu, pemerintah bermaksud mencetak ulang mushaf yang telah terjilid dengan rapih tersebut. Zaid bin Tsabit terpilih kembali sebagai ketua tim pengadaan mushaf. Pencetakan ulang pun terwujud dalam empat mushaf. Keempat mushaf itu kemudian dikirim ke Basrahdan Kuffah, sementara yang tersisa diserahkan kepada Aisyah (istri Nabi SAW) dan Usman bin Affan. Untuk mushaf yang dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan kemudian terkenal dengan sebutan “Mushaf Usmani” yang saat ini berlaku umum bagi dunia Islam.
Editor: Yahya FR