Oleh Mu’arif
Total War di Palagan Ambarawa yang membawa kemenangan bagi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Divisi V di bawah komando Kolonel Sudirman tidak hanya menunjukkan keunggulan strategi militer, tetapi juga keunggulan pribadi sang komandan.
Buya Hamka pernah bertanya, “mengapa sosok Soedirman yang dipilih sebagai Panglima Besar TKR?” Padahal, banyak tokoh di jajaran militer TKR yang berpangkat Mayor Jenderal, Kolonel, Letnan Kolonel, dan banyak pula yang berpendidikan tinggi. Namun setelah bertemu dengan Panglima Besar ini, Hamka langsung takjub dan terkesan. Ia menyimpulkan bahwa kekuatan Panglima Besar terletak pada jiwanya (A. Arify, 1959: 203). “Keluar dia merupakan serigala, jang galak, ke dalam dia merupakan Bapak jang pengasih,” ungkap Hamka.
Perang di Semarang, Ambarawa, dan Magelang berkecamuk perang sejak awal November 1945. TKR Divisi V sedang memukul mundur Pasukan Sekutu (CRA’s Brigade) di bawah Brigadier R.G. Bethell. Dalam situasi berkecamuk perang gerilya, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Kepala Staf TKR, menggelar rapat membahas strategi perang pada tanggal 12 November di Yogyakarta (Hotel Merdeka). Dalam rapat TKR inilah, Oerip menggagas perlunya mengisi Pimpinan Tertinggi TKR karena sosok Supriyadi, Pimpinan Tertinggi TKR pada waktu itu, tidak diketahui keberadaannya.
TKR yang dibentuk oleh pemerintah pusat pada 6 Oktober 1945 terdiri dari berbagai unsur meliputi KNI, BKR, BPRI (Barisan Pemberontakan Republik Indonesia), Hizbullah, Sabilillah, dan lain-lain. Supriyadi ditunjuk sebagai Pimpinan Tertinggi TKR. Demikian seperti ditulis Amrin Imran dalam bukunya, Jenderal Oerip Soemohardjo(1979: 68-69).
Cukup menarik di sini bahwa kisah pengangkatan Pimpinan Tertinggi TKR justru tidak dihadiri oleh Supriyadi sampai akhirnya diketahui bahwa tokoh yang satu ini terlibat memimpin pemberontakan sejak penjajahan Jepang pada 14 Februari 1945. Pemberontakan yang berhasil dilumpuhkan tantara Jepang ini berakhir tragis karena para penjuang mendapat hukuman berat, bahkan dieksekusi mati.
Termasuk pimpinan pemberontakan, Supriyadi, namanya tidak disebut-sebut dalam proses pengadilan karena diduga kuat ia telah dibunuh dalam proses interogasi oleh tantara Jepang (Amrin Imran, 1979: 71). Namun, informasi terbunuhnya Supriyadi tidak pernah sampai ke jajaran pimpinan TKR, sehingga namanya terlanjur mengisi posisi Pimpinan Tertinggi.
Dalam situasi perang melawan Pasukan Sekutu di Semarang, Ambarawa, Salatiga, Magelang, dan sekitarnya, TKR menggelar rapat membahas strategi perang pada tanggal 12 November di Yogyakarta. Dalam rapat TKR inilah, Jenderal Oerip menggagas perlunya pengisian Pimpinan Tertinggi TKR. Namun, hanya ada dua kandidat yang akan mengisi jabatan Panglima TKR, yaitu Oerip Soemohardjo dan Sudirman.
Oerip adalah eks KNIL yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Staf TKR. Sedangkan Sudirman adalah eks PETA yang saat itu menjabat sebagai Komandan Divisi V/Kedu. Namun, nama Sudirman saat itu sedang populer karena keterlibatannya memimpin perang melawan Pasukan Sekutu di Semarang, Ambarawa, dan Magelang.
Dalam proses pemilihan yang berlangsung sampai berkali-kali ini, TKR yang didominasi oleh faksi-faksi dari eks KNIL dan PETA, sempat terjadi perdebatan alot. Dalam pemaparan visi misinya, sosok Oerip ternyata memiliki kelemahan karena ia bukanlah seorang orator. Amrin Imran menyebut Jenderal Oerip lebih mewakili sosok pemikir atau aktor inteletual di balik struktur TKR. Dia tidak bisa berpidato secara sistematis dan agitatif.
Berbeda dengan Soedirman, ia seorang yang berwawasan luas dan orator agitatif sekalipun berbadan kurus. Hingga akhirnya, Jenderal Oerip legawa. Ia melobby pendukungnya (eks KNIL) untuk menjatuhkan pilihan kepada Sudirman. Maka pada rapat perdana TKR yang digelar di Yogyakarta tersebut, Soedirman dipilih dan ditetapkan sebagai Panglima Besar TKR.
“Saya telah berbuat kesalahan karena bersedia dicalonkan!” reaksi Sudirman spontan setelah dipilih dan ditetapkan sebagai Panglima Besar TKR. Bahkan, ia bersedia mundur jika ada di antara peserta rapat yang siap menempati posisinya. Namun, Oerip langsung menyalami Sudirman dengan jabat erat, pertanda bahwa tokoh senior eks KNIL itu mendukung sang komandan perang gerilya itu. Jenderal Oerip tetap dalam posisi sebagai Kepala Staf TKR (Amrin Imran, 1979: 75).
Amrin Imran mencatat bahwa pasca pemilihan Panglima Besar TKR, Sudirman tidak langsung dilantik. Terdapat jeda hampir sebulan sampai ia dilantik oleh Presiden Republik Indonesia. Berkaitan dengan jeda pelantikan Panglima Besar TKR, banyak versi sejarah yang berusaha menjelaskan fakta historis tersebut. Amrin Imran menjelaskan bahwa jeda karena situasi dan kondisi yang belum memungkinkan, sebab Sudirman sedang memimpin perang besar melawan Pasukan Sekutu di Semarang, Ambarawa, dan Magelang.
Ia dibutuhkan di lapangan pertempuran untuk memberi komando dan mengatur strategi perang sampai akhirnya Pasukan Sekutu dipukul mundur. Sedangkan sumber lain menurut H. Muhammad Mawardi—sebagaimana dituturkan H. Muchlas Abror—bahwa jeda pelantikan tersebut digunakan oleh Sudirman—sebagai kader Muhammadiyah—untuk berkonsultasi dengan Pengurus Besar (sekarang Pimpinan Pusat) Muhammadiyah.
Perang di Semarang, Ambarawa, dan Magelang berakhir pada 15 Desember 1945 dan tiga hari setelah itu, Sudirman dipanggil menghadap Presiden di Yogyakarta. “Inilah Panglima Besarmu,” kata Jenderal Oerip kepada Presiden sambil memapah Sudirman. Tanggal 18 Desember 1945, Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR. Sebelum pelantikan, pangkat Sudirman dinaikkan dari Kolonel menjadi Jenderal. Adapun Oerip Soemohardjo tetap dengan pangkat Letnan Jenderal menduduki posisi sebagai Kepala Staf TKR.