Tafsir

Jihad itu Bukan Demi Bidadari

4 Mins read

Jihad dan iming-iming bidadari memang memiliki legitimasi tekstual keagamaan. Dan iming-iming tersebut, didasarkan kepada kitab suci Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Keduanya adalah sumber teologis yang paling otoritatif di dalam Islam.

Muslim yang tewas dalam medan tempur karena jihad, sejatinya segera hidup kembali dalam keabadian di akhirat. QS. Ali Imran: 169 menyatakan bahwa, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”

Dan mereka, diganjar tujuh puluh lebih bidadari yang siap melayani selamanya di surga. Rasulullah Saw. bersabda, “Orang-orang yang syahid, akan mendapat tujuh bagian dari sisi Allah: pertama, diampuni dosa-dosanya saat pertama kali kematiannya; kedua, terhindar dari azab kubur; ketiga, aman dari guncangan yang paling besar; keempat, dipasangkan di atas kepalanya mahkota kehormatan yang satu berliannya saja lebih baik dari dunia dan seisinya; kelima, dinikahkan dengan 72 bidadari; dan keenam, diberi syafa’at untuk 70 keluarganya.” (Merujuk ke Kitab Shahih al-Jami’ al-Shagir, 2257; Sunan al-Tirmidzi 1712; Sunan Ibn Majah 2799).

Pertanyaannya, mengapa harus ada iming-iming? Tidakkah mungkin Muslim yang benar-benar tulus memperjuangkan agama, bertarung dalam peperangan tanpa alasan apapun? Atau sekurang-kurangnya, hal itu dianggap baik karena memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan?

***

Apakah jika benar-benar tulus berjihad tanpa mengharapkan balas budi, lantas dianggap menghina kitab suci dan teladan kenabian? Apakah dianggap meremehkan pemberian Tuhan? Atau, apakah layak dituduh mengabaikan seruan “perdagangan dengan Tuhan?” Misalnya dalam QS. Al-Taubah 111 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.”

Sama sekali tidak. Ketulusan yang bersemayam di dalam batin, adalah hal yang jauh lebih fundamental ketimbang aksi jihad itu sendiri. Kata Nabi, “Tiap-tiap aksi, tergantung kepada niatnya.” Apakah masuk akal, jika jihad yang dilakukan berlandaskan kepada “pikiran kotor, amarah yang meluap, kebencian yang berurat akar dan bahkan kepentingan birahi?”

Baca Juga  Ketentraman dalam Al-Qur’an Menurut Tafsir Al-Azhar

Sudah barang tentu, jihad yang serba pamrih tidak akan diganjar pahala. Demikian pula dengan ritual peribadatan. Seperti shalat misalnya, jika dilakukan demi memenuhi dorongan yang negatif (sombong dan pamer kesalehan), maka justru akan menjadi batu sandungan (dosa).

Namun, sebenarnya, jika manusia memang memiliki sifat-sifat yang buruk, apakah iming-iming bidadari merupakan bentuk toleransi? Atau, itu adalah strategi komunikasi kepada manusia yang “sulit mengerti” (bebal) agar mau melakukan perbuatan yang baik? Jadi, semacam cara yang mengafirmasi pragmatisme dalam diri manusia, sehingga mereka mau bergerak oleh karena dorongan keuntungan yang berlipat ganda yang akan diraih kemudian sebagai bayarannya.

Jihad Perang

Jihad yang dijanjikan mendapatkan banyak bonus ini adalah perang. Artinya, mengangkat senjata dalam rangka membunuh musuh. Sementara itu, musuh yang dimaksud adalah orang-orang yang mengingkari segala petunjuk, perintah dan larangan Allah.

Masalahnya adalah, jihad ini bersifat defensif. Mengangkat senjata diperkenankan atau bahkan diwajibkan tatkala teritori Muslim “diganggu” oleh pasukan militer musuh. Tujuan jihad yang defensif ini, tidak lain adalah untuk melindungi warga negara teritori Muslim dan memastikan keselamatan mereka. Di samping itu, dalam konteks politik dan hukum, jihad merupakan upaya yang penting sekali untuk mempertahankan kekuasaan tetap berada di tangan pemimpin Muslim dan hukum yang ditegakkan adalah tetap hukum Islam.

Bagaimana jika jihad yang dimaksud bersifat ofensif? Nabi tidak pernah menyerukan hal yang demikian. Tidak pula terdapat keterangan di dalam kitab suci. Artinya, jika jihad ofensif terdapat di dalam sejarah Islam sepeninggal Nabi, hal itu bukanlah teladan yang harus diikuti. Maka, kita bisa berpikir bahwa, ekspansi militer dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan Muslim didasarkan kepada motif-motif yang bersifat pragmatis dan rasional.

Baca Juga  Perang Melawan Virus Corona, Siapakah Pemenangnya?

Mungkin hingga di abad ke 20, ekspansi militer yang bersifat ofensif berlaku bagi berbagai negara. Terutama adalah negara-negara kolonialis Eropa. Tetapi di abad ke 21, hal itu jelas bertentangan dengan hukum internasional yang memiliki tujuan luhur menjamin perdamaian dunia dan keamanan internasional. Jadi, mengangkat senjata secara ofensif dengan tujuan “menjajah” negara lain, di masa kini merupakan kejahatan.

Jadi, singkat kata, jihad bisa bermakna perang. Hanya saja, bukan perang yang ofensif, tetapi yang defensif. Dan tujuan perang defensif ini adalah demi mewujudkan kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan. Teritori Islam harus diperjuangkan jika terancam oleh serangan militer pihak lain.

Mungkin bagi Muslim yang gugur di medan perang akan benar-benar diganjar bidadari, tetapi niat berperang semestinya bukanlah untuk menjemput bidadari tersebut. Niat berperang, sekali lagi, adalah menjaga martabat dan kehormatan wilayah Muslim, kemerdekaan mereka dan keadilannya.

Jihad Selain Perang

Hal yang lebih besar dan berat ketimbang perang adalah menahan diri dari segala dorongan hawa nafsu. Hal ini dianggap jihad yang akbar, yang bahkan dalam konteks puasa Ramadan, disediakan door-prize pahala seribu bulan lamanya.

Kendati demikian, sama halnya dengan jihad perang, niat berjihad akbar kiranya kurang diperkenankan jika untuk meraih bonus-bonus eskapistik ekstra besar. Niat berpuasa, menahan diri, berpikir positif, menyucikan hati, bertutur dan berperilaku luhur, haruslah diniatkan semata-mata untuk meraih ridha Allah semata.

Bahkan terdapat peringatan dari teladan kenabian bahwa, Muslim yang melaksanakan puasa, sementara memiliki pamrih yang buruk, mereka sebenarnya hanya akan mendapatkan haus dan dahaga. Sama halnya dengan bersedekah. Walaupun memberikan sesuatu kepada orang lain diperkenankan secara terang-terangan, namun membiarkan tangan kanan bekerja dan tangan kiri tetap tersembunyi dianggap lebih terjaga. Artinya, bersedekah tanpa menunjukkan identitas diri, memproteksi diri dari sikap ujub dan riya’.

Baca Juga  Konsep Penciptaan Perempuan Menurut Para Mufassir

Jihad yang Destruktif

Lantas bagaimana dengan jihad yang dilakukan tanpa kalkulasi rasional mempertahankan diri, bahkan hanya menggunakan “upaya defensif” sebagai klaim semata? Tentu tidak ada bedanya antara jihad yang demikian dengan upaya perampokan, pemberontakan dan bahkan subversi  (bughat).

***

Jihad perang yang dilakukan bukan didadasarkan pada landasan teologis yang kuat dan masuk akal, tidak lebih dari sekedar aksi kejahatan yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri (keselamatan).

Terlebih jika hal itu dilakukan secara berencana, massif dan sangat kejam, maka sama halnya dengan melakukan dehumanisasi dan destruktifikasi secara brutal. Melenyapkan nyawa orang-orang yang tidak berdosa, atau menyakiti dan menyebarkan teror serta ketakutan, misalnya, tidak bisa disebut sebagai aksi jihad. 

Kejahatan yang dilakukan mereka yang ada di lingkungan Al-Qaedah, Jamaah Islamiyyah, Jamaah Anshorut Tauhid, ISIS (Daesh) dan Jamaah Anshorut Daulah, sama sekali tidak bisa disebut sebagai aksi jihad. Apa yang mereka lakukan berlandaskan kepada kebencian teologis dan argumentasi-argumentasi yang bertentangan dengan fikih, syariah dan bahkan akidah.

Jika memang jihad dimotivasi “bidadari-bidadari surga”, jelas hal itu sulit diterima akal sehat. Karena berjalan di jalan Allah tidak boleh mengumbar pamrih dan semestinya didirikan di atas landasan keagamaan yang kokoh. Jihad perang hanya bisa dilakukan secara defensif bukan ofensif, membabi-buta dan brutal.

Sebagai ikhtitam dari tulisan ini, meskipun jihad mengangkat senjata dianggap mulia (jika dilandaskan niat tulus dan bukan pamrih), namun derajatnya hanyalah jihad kecil (asghar). Sementara jihad melawan hawa nafsu diri (jika pula dibangun melalui hati yang bersih dan murni), derajatnya lebih tinggi (jihad al-akbar) dan juga lebih mulia.

Editor: Yahya FR
Desainer: Galih QM
89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds