Tanggal 9 April, setahun yang lalu, saya menyumbangkan satu suara saya untuk memilih Pak Jokowi sebagai Presiden RI. Tepat di tanggal ini juga, setahun yang lalu, saya bercengkrama dengan keluarga di kampung halaman. Namun tahun ini, di tanggal yang sama saya memilih mengunci diri di sebuah kamar kos di pinggiran Ibukota.
Pak Jokowi dan Keputusannya
Sebagai orang yang setahun lalu memilih Bapak, saya amat menyesalkan perihal celoteh para pejabat publik yang memberi sinyal canda tawa terhadap corona. Entah soal ungkapan menkes, menhub, wapres, bahkan Pak Jokowi yang pada mulanya merespon corona dengan memberikan diskon penerbangan domestik.
Saya masih belum mengerti mengapa sebuah virus direspon dengan diskon penerbangan. Apakah ini dimaksudkan untuk memicu pasar supaya tetap berjalan di tengah persebaran virus? Ya ampun, negara-negara lain berusaha menghentikan persebaran virus dengan membatasi mobilitas masyarakatnya, di saat yang sama negeri ini justru menjalankan aktifitas sebagaimana dalam kondisi normal (pada mulanya).
Bahkan India yang tidak lebih kaya dari negara ini mengambil langkah karantina wilayah sebagai respon terhadap corona. Sialnya, malah demo besar-besaran masyarakat pada pemerintah. Kok bisa begitu? Kita bisa belajar dari India yang melakukan karantina wilayah namun tidak memberikan ‘bekal’ yang bisa dimakan untuk masyarakat.
Tentu saja, masyarakat menengah bawah ibarat saya sebagai anak kos yang bila diminta diam namun tidak diberikan makan. Tidak aneh bila yang datang adalah protes dari masyarakat.
Saya menduga Bapak tidak mengambil opsi karantina wilayah karena takut terjadi demo besar terhadap pemerintah seperti yang terjadi di India. Sebab adalah logis secara kalkulasi ekonomi Indonesia untuk tidak melakukan karantina wilayah agar tidak menghentikan pendapatan negara. Toh nyaris 83% pendapatan negara kita disumbang oleh pendapatan pajak, yang mana bila pasar barang melesu akan bergerak ke kiri lantas membuat output dan pendapatan menjadi menurun.
Kalau uang untuk tahun ini dipakai untuk biaya karantina wilayah, bagaimana tahun depan menjalankan roda pemerintahan. Begitu kan ya, Pak? Akan tetapi, di tengah pandemik yang menjangkiti 209 negara ini, perekonomian global juga mengalami resesi.
Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi negara lain juga akan stagnan (jika tidak negatif). Maka bukan aib bila Indonesia juga begitu, toh konsekuensi dalam liberalisasi keuangan memang begitu.
Jika Karantina Wilayah Terjadi
Lagipula, Pak Jokowi, apa yang lebih penting tinimbang nyawa manusia? Rasanya tidak ada, bahkan angka statistik pertumbuhan ekonomi sekalipun. Bila memang dengan karantina wilayah Bapak bingung memberi makan warga negara karena tidak punya uang, bukankah ada orang super kaya di negeri ini yang mana 1,25% rekening menguasai 85% total uang di negeri ini? (Perbanas, dalam Zulkifli Hasan).
Ini saatnya untuk melakukan distribusi pendapatan sebagaimana dalam al-Hasyr:7 agar harta tidak berputar di kalangan orang kaya saja. Orang Indonesia baik-baik kok, Pak, mereka akan bantu sebab gotong royong adalah saripati semangat berbangsa dan bernegara di negeri ini. Bapak secara langsung ambil posisi itu sebagai solidarity maker di tengah kecemasan masyarakat kelas menengah bawah, karena hanya kelas itu yang perlu dibela. Masyarakat bangga pada Bapak, setidaknya saya. Ah tapi siapa saya.
Selain itu, bapak pasti sudah tahu kalau negeri ini juga dikaruniai duapertiga lautan, sedang sepertiganya adalah daratan. Panjang luas wilayah kita dari barat ke timur, Sabang hingga Merauke bahkan sama dengan jarak dari Greenwich, London hingga Baghdad, Iraq. Dari utara ke selatan, dari Kepulauan Talaut sampai Pulau Rote sama dengan dari Jerman hingga Aljazair.
Di laut, kita bisa ambil ikan semau kita daripada ikan itu dicuri oleh kapal asing. Tidak akan habis bahkan bila ikannya terus ditangkap sampai hari raya kelak. Juga, daratan kita adalah tanah yang subur, tongkat bisa jadi tanaman.
Kita bisa tanam kangkung, bayam, kecambah, daun bawang, selada, bit, sawi hijau, arugula, okra, serta kacang polong yang dalam hitungan minggu bisa kita panen. Lantas didistrubusikan ke seluruh pelosok melalui manajemen yang rapi. Negeri ini tidak akan kelaparan, jika karantina wilayah sekalipun.
Kebutuhan, Bukan Pemberontakan
Uang tersedia, barang juga tersedia berarti pasar barang dan pasar uang terus berjalan kan, Pak? Masyarakat senang, Bapak pun senang. Bapak tidak perlu khawatir ada demo besar seperti di India. Tidak akan ada masalah horizontal yang terjadi, jangankan ada masalah horizontal, ada corona ini saja sudah sangat merusak keseimbangan aktifitas kita.
Distrust terhadap pemerintah terjadi diawali oleh bisikan perut yang tak kunjung diisi. Pendekatan distribusi finansial dan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat lebih logis dan manusiawi tinimbang pendekatan darurat sipil.
Sebab yang sedang Bapak hadapi adalah kebutuhan mendasar masyarakat, bukan pemberontakan masyarakat terhadap pemerintah. Aih, tapi itu hanya pikiran liar seorang anak kos di pinggiran Jakarta, dan mungkin terlalu sederhana dalam melihat kondisi negeri.
Last but not least, menyikapi corona dengan karantina wilayah ataupun tidak karantina wilayah. Ekonomi pasti merosot, ekspor dan impor pasti terdampak, foreign direct invesment pasti terhantam, neraca transaksi berjalan pasti terseok-seok.
Oleh sebab itu, fokus utamanya bukan pada ekonomi, melainkan pada nyawa manusia. Sebagai orang yang memilih Bapak, setahun yang lalu, saya akan bangga karena bapak berfokus pada nyawa manusia, di saat yang sama melakukan distribusi pendapatan dan pemanfaatan sumberdaya yang kita miliki.
Tapi ya siapa lah saya, hanya penyumbang satu suara.
Editor: Nabhan