Murtad dan Mualaf I Seseorang yang memutuskan untuk berpindah agama sering kali disambut gegap gempita oleh umat agamanya yang baru. Ungkapan seperti “Syukurlah, dia mendapatkan hidayah…” dan sejenisnya sering kali dilontarkan ketika seseorang berpindah agama terutama para pesohor.
Di samping itu, umat agamanya yang lama belum tentu langsung legowo menerima perpindahan salah satu umat mereka. Dalam Islam misalnya, orang yang keluar dari Islam akan mendapatkan label murtad, yang dalam kehidupan keberislaman di Indonesia, masih memiliki konotasi terkesan negatif.
Keyakinan bahwa hanya dengan masuk Islam seseorang bisa selamat di hari akhir, menjadikan orang yang keluar dari Islam dianggap tidak akan selamat. Mungkin anggapan serupa juga ada pada umat agama lain meski dengan istilah-istilah berbeda. Di negara ini, agama menjadi persoalan yang bersifat personal sekaligus komunal dan sering kali sensasional.
Fenomena semacam ini membuat penulis selaku orang yang beragama Islam menjadi bertanya-tanya. Apakah misi utama Nabi Muhammad selaku Nabi terakhir dan penutup para Rasul adalah mengubah identitas seluruh umat manusia di muka bumi ini menjadi orang Islam?
Asal-usul Islam Menurut Ashgar Ali
Bagi penulis, jawaban yang bijak terhadap pertanyaan tersebut salah satunya adalah pemaparan dari cendekiawan muslim bernama Ashgar Ali Engineer tentang asal-usul Islam.
Menurut Ashgar Ali Engineer, Nabi Muhammad membawa Islam yang bukan hanya berisikan ajaran untuk menyembah Tuhan yang Maha Esa (tauhid), tetapi juga ajaran yang membawa pada perubahan sosial-ekonomi yang sangat mendalam.
Dalam setting Mekkah kala itu, di mana para kaum hartawan sibuk menumpuk harta menjadi kekayaan pribadi, tidaklah merasa risau ketika diajak untuk menyembah Tuhan yang Maha Esa. Namun, mereka sangat merasa terancam dengan implikasi sosial-ekonomi dari ajaran Nabi Muhammad terutama ajaran salat dan zakat yang mewajibkan distribusi kekayaan oleh si kaya kepada mereka yang lemah (mustadh’afin).
Oleh sebab itu, bagi Ashgar, orang kafir dalam arti sebenarnya adalah orang yang menumpuk kekayaan dan menghidupkan ketidakadilan serta menghalangi upaya-upaya penegakan keadilan dalam masyarakat.
Sedangkan orang mukmin adalah orang yang berjuang menegakkan keadilan dan melawan segala bentuk kezaliman dan penindasan, tidak mengaku percaya kepada Tuhan.
Ashgar memandang Islam lebih sebagai kualitas ketimbang identitas. Identitas keislaman seseorang tidak akan berarti apa-apa jika kualitas ucapan dan perilakunya jauh dari nilai-nilai yang diamanatkan oleh Islam itu sendiri.
Mualaf dan Murtad, Bagaimana Sikap Kita?
Penjelasan Ashgar di atas, penting digunakan untuk menyikapi perpindahan agama, baik “ke” atau “dari” Islam yang seringkali terjadi.
Jika seseorang berpindah agama dari non Islam ke Islam, sepantasnya kita mengharapkan, mendoakan, dan mendukungnya supaya menerapkan perilaku yang diamanatkan oleh Islam yang belum bisa dia laksanakan di agamanya sebelumnya, meskipun secara esensial hal tersebut juga diamanatkan oleh agama yang sebelumnya.
Dengan begitu, kita tidak perlu menikmati euforia yang berlebihan ketika seseorang memutuskan untuk berpindah agama ke dalam Islam. Dalam beberapa kasus, ada mualaf menjelek-jelekkan agama sebelumnya secara normatif-subjektif, padahal itu sangat bertentangan dengan ajaran yang diamanatkan oleh Islam.
Begitupun jika ada seseorang yang berpindah agama dari Islam ke agama lain (murtad) non Islam, alih-alih sibuk melabelinya murtad dengan konotasi negatif, alangkah baiknya kita mendoakan, dan mendukung agar bisa menerapkan prilaku yang diamanatkan oleh Islam. Kemungkinan besar secara esensial juga tidak bertentangan dengan ajaran agama barunya tersebut.
Penulis merasa ajaran untuk berjuang menegakkan keadilan dan melawan segala bentuk kezaliman dan penindasan tentu diajarkan semua agama tanpa terkecuali.
Islamisasi Kualitas, Berkaca pada Muhammadiyah
Di Indonesia, keberagaman dijunjung tinggi oleh konstitusi, selayaknya kita selaku umat Islam Indonesia tidak terhenti pada “Islamisasi identitas”. Secara kuantitas, jumlah umat Islam di negeri ini sangat banyak dan mungkin akan terus bertambah. Alangkah lebih baiknya jika kita di era sekarang, fokus pada “Islamisasi kualitas”.
Hal ini telah dicontohkan oleh Muhammadiyah dengan mendirikan kampus Muhammadiyah di Kupang, Nusa Tenggara Timur, di mana mayoritas mahasiswanya beragama Kristen.
Jika Muhammadiyah berfokus pada “Islamisasi identitas”, tentu para calon mahasiswa di sana diharuskan masuk Islam, sebagai persyaratan untuk menjadi mahasiswa. Namun, dengan kesadaran bahwa pendidikan adalah hak setiap manusia apapun identitasnya (hifz al-aql), Muhammadiyah tidak mempermasalahkan identitas calon mahasiswa.
Ada yang lebih penting, yaitu orang-orang yang menempuh pendidikan di Muhammadiyah bisa memperjuangkan nilai-nilai keislaman. Soal identitas agama mereka, diserahkan kepada diri masing-masing. Singkatnya, Islamisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah pemberantasan buta huruf, bukan pemberantasan identitas non Islam menjadi Islam.
Tidak berhenti di Muhammadiyah saja, istilah “Islamisasi kualitas” ini bisa dan perlu diperjuangkan dalam sektor-sektor kehidupan yang lainnya, baik sosial, bisnis, administrasi, politik, dan seterusnya oleh ormas dan lembaga pemerintah yang lain.
Dalam kacamata “Islamisasi kualitas”, seorang pejabat atau pemimpin beragama non Islam yang berlaku adil dan bijaksana jauh lebih baik daripada seorang pejabat atau pemimpin beragama Islam yang berlaku zalim dan egois.
Penutup
Sebagai masyarakat, kita juga tidak akan mudah dimainkan dengan politisasi agama yang kebanyakannya berorientasi pada identitas bukannya kualitas.
Perpindahan agama seseorang di Indonesia memang masih menjadi isu yang menarik minat banyak orang. Isu ini perlu disikapi secara bijak agar tidak mengorbankan keharmonisan hubungan antar agama plural di negeri ini, yang biasanya dimain-mainkan pada identitas semata.
Lebih dari itu, dengan memakai pandangan Islam sebagai kualitas, bukan identitas semata. Kita akan lebih cermat menghadapi berbagai hal di sektor kehidupan di negeri yang plural ini. Jika kita cermati, banyak hal yang meskipun belum “Islam” secara identitas, sudah “Islami” secara kualitas.
Namun, pada akhirnya, tetap saja pilihan untuk berjuang secara identitas atau kualitas ada di tangan kita masing-masing. Tabik!
Editor : Marjuki Al-Muzakir