Sebelum membahas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), kita perlu mengulas terlebih dahulu soal kemunculan Muhammadiyah. Pada awal kemunculannya Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Akibat dari pembaruan itulah Muhammadiyah mampu melahirkan berbagai macam amal dakwah; mulai dari sekolah, panti asuhan, rumah sakit dan lain sebagainya yang merupakan produk pembaruan pemikiran Islamnya.
Seiring dengan waktu, mayoritas warga Muhammadiyah, termasuk juga sebagian elitnya justru terjebak pada rutinitas birokrasi amal usaha, tergoda politik praktis dan melupakan untuk terus menghidupkan semangat pembaruan Islam (tajdid) yang selama ini menjadi icon gerakan. Beberapa hal itulah yang kemudian oleh beberapa kalangan dikatakan menjadi sebab stagnasi pemikiran atau kejumudan dalam tubuh Muhammadiyah.
Di tengah-tengah kejumudan itulah muncul berbagai macam kritikan, baik dari dalam maupun luar Muhammadiyah. Wacana kritisisme stagnasi pembaruan ini telah disadari sejak kepemimpinan Amien Rais (1995-1998), yang kemudian dilanjutkan lebih massif perbincangan ini pada kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif (1998-2000 dan 2000-2005). Artikel ini merupakan rangkuman dari pembahasan oleh Mohammad Mudzakkir (2005) dan artikel berjudul Menyalakan Pelita di Tengah Kutukan Kegelapan: Refleksi 17 Tahun JIMM oleh Pradana Boy ZTF (10/3/2020).
JIMM, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Pada masa Syafii Maarif inilah keran kebebasan berpikir, berpendapat serta kritik warga Muhammadiyah, khususnya golongan mudanya diberi ruang seluas-luasnya. Maka, sangatlah wajar apabila dalam periode kepemimpinannya dinamika pembaruan pemikiran di Muhammadiyah kembali bangkit. Hal ini bisa kita lihat dari geliat anak-anak mudanya yang mulai mengorganisir diri untuk melakukan kajian-kajian intensif atau bahkan kritik terhadap pemikiran Muhammadiyah yang selama ini dinilai stagnan.
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) adalah salah satu kelompok anak muda Muhammadiyah yang muncul sebagai respon-kritis terhadap stagnasi pembaruan dalam gerakan Muhammadiyah. Dengan tiga pilar gerakannya hermeneutika, ilmu sosial, dan new social movement, JIMM rnencoba mengimajinasikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam kritis yang responsif terhadap persoalan Islam kontemporer.
Persoalan-persoalan kontemporer, yang harus direspon tersebut misalnya; pluralisme agama, globalisasi dengan berbagai dampaknya bagi umat Islam, agama dan politik dan lain sebagainya. Kemunculan JIMM dalam Muhammadiyah bukanlah suatu hal tanpa masalah. Disamping kemunculannya disambut dengan hangat karena dinilai sebagai penerus pembaruan Muhammadiyah, tapi juga ada sebagian yang curiga dengan pemikiran-pemikiran yang dipandang terkesan “ke”liberal-liberalan” atau “antek Barat”. Di sinilah pentingnya kajian ini, yaitu untuk melihat secara jernih persoalan tersebut secara sosiologis.
Ada beberapa hal yang menjadi latarbelakang berdirinya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (khususnya di Yogyakarta). Pertama, kegelisahan anak-anak muda Muhammadiyah atas dominasi golongan literal-konservatif, struktural-birokratis, politis-pragmatis dalam tubuh gerakan Muhammadiyah. Ketiga kelompok inilah dalam kacamata anak anak muda ini menjadi sebab terjadinya stagnasi pembaruan Muhammadiyah.
Kedua, semakin berkembangnya kajian-kajian Islam kontemporer di lingkungan ilmuwan Islamic Studies yang mempengaruhi kelompok muda ini (baca; JIMM); kebetulan mereka mayoritas berasal dari lingkungan IAIN atau UIN dan secara spesifik menekuni kajian Islamic Studies.
Ketiga, interaksi yang luas dengan berbagai macam kelompok generasi muda, kelompok pemikiran, dari berbagai macam agama, LSM dan lain sebagainya, sedikit banyak berpengaruh bagi anak anak muda ini untuk mengimajinasikan sebuah gerakan yang diidealkannya, yaitu membangun new social movement. Dari ketiga latarbelakang inilah JIMM lahir di tengah-tengah gerakan Muhammadiyah.
JIMM yang Dibenci
Dengan tiga pilar gerakannya, hermeneutika, ilmu sosial, dan new social movement, JIMM menghasilkan beberapa pemikiran; misalnya pluralisme agama, respon terhadap globalisasi, politik dan lain sebagainya. Dari pemikiran-pemikiran itulah oleh sebagian orang di kalangan Muhammadiyah, JIMM dikatakan sudah keluar dari Muhammadiyah. Tuduhan-tuduhan mulai dari menyalahi aturan organisasi, menjadi antek “Barat”, hingga penyebar virus liberal dalam gerakan Muhammadiyah pun menjadi makanan sehari-hari.
Perbedaan pemahaman ini tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi sosial di mana JIMM maupun pengritiknya berada. Oleh sebab itu, tudingan-tudingan terhadap JIMM, meskipun tidak mengenakkan, wajar terjadi. Terlebih lagi JIMM terasa bagaikan “anak yang tak diharapkan” bagi kalangan-kalangan penentangnya.
Mengapa JIMM Juga DIcintai?
Tapi di sisi lain, dengan kemunculan JIMM, sebagian kalangan Muhammadiyah justru menyambut apresiatif, optimis dan menaruh harapan kepada kelompok muda ini dapat menjadi penerus pembaruan dalam tubuh Muhammadiyah yang akhir-akhir ini mengalami stagnasi. Singkatnya, posisi JIMM dalam Muhammadiyah dipandang dua perpsektif berbeda sesuai dengan kecenderungan pemikiran kelompok yang menilai.
Di tengah pertarungan dan perebutan pengaruh dua kubu dalam Muhammadiyah, yaitu antara golongan literal dan liberal, secara pemikiran JIMM lebih dekat dengan golongan liberal yang lebih menitikberatkan pada aspek dinamisasi pemikiran. Karena ada persamaan pemikiran itulah, JIMM cenderung mengutub ke kubu liberal. Sebagai konsekuensi, secara politik pemikiran pun akhirnya JIMM berlindap-hadapan dengan golongan literal. Inilah realitas yang terjadi di lapangan, bahwa terjadi pengelompokan sosial di Muhammadiyah akibat adanya pengelompokan pemikiran.
Demikian pula, pada saat tantangan dunia digital juga dihadapi Muhammadiyah, dan sinyalemen ketertinggalan Muhammadiyah dalam bidang dakwah digital menggaung di mana-mana, sekelompok aktivis JIMM dengan inisiatif Muarif dan Azaki Khoirudin segera mendirikan sebuah portal yang terbukti mampu menjadi saluran alternatif bagi kreativitas kader muda Muhammadiyah yakni ibtimes.id.
Demikian pula di Malang, sejumlah aktivis JIMM menggagas saluran dakwah digital yang menawarkan Islam yang bercorak terbuka, rasional dan toleran (channel YouTube “islamaktual”). Bahkan mereka mendirikan gazebo sebagai pusat pembelajaran bagi kalangan masyarakat terpinggirkan dan dakwah komunitas. Meskipun suara sinis kerap ditujukan kepada mereka (misalnya, kaum intelektual kok ngajar ngaji dan ngurus TPA), tetapi pilihan itu tetap dijalankan.
Sekali lagi, inilah orientasi baru gerakan JIMM, yakni menggabungkan intelektualisme dan aktivisme, atau intelektualisme berkaki (meminjam istilah Hajriyanto). Karena JIMM bersifat notorious (terkenal karena hal yang kurang baik), maka apapun yang lahir dari JIMM tidak pernah sepi kritik. Namun, sama-sama menuai kritik, dikritik karena berbuat sesuatu jauh lebih mulia, ketimbang dikritik karena tidak melakukan apa-apa.
Menyikapi Perbedaan Pendapat
Kepada pimpinan dan warga Muhammadiyah diharapkan tidak menghakimi begitu saja pemikiran yang dimiliki oleh JIMM, khususnya dengan stereotip negatif, misalnya “antek Barat”. Atau sebaliknya menerima taken for granted apa saja yang dibawa oleh JIMM. Yang harus dilakukan adalah mencoba membangun komunikasi diantara kedua belah pihak (pimpinan/warga Muhammadiyah dengan JIMM) secara dialogis emansipatoris. serta kemaslahatan umat. mengedepankan nilai-nilai kebenaran dan
Sementara itu, kepada JIMM, diharapkan tetap terus melakukan artikulasi-artikulasi intelektualnya, baik dalam bentuk tulisan di berbagai media massa ataupun aksi-aksi konkret di lapangan. Yang intinya adalah menerjemahkan imajinasi intelektual organik yang selama ini dicita-citakan. Dalam mengkampayekan ide-ide pembaruan keagamaan diharapkan JIMM mampu membangun dialog yang komunikatif-emansiporis lagi santun. Dengan kelompok-kelompok yang tidak sepakat dengan ide, gagasan atau pemikirannya, JIMM diharapkan mampu bersikap arif, toleran, terbuka dan tetap berusaha keras membangun dialog, sebagai usaha untuk terus mencari kebenaran dan kemaslahatan bagi semua pihak.
Editor: Yahya