Perbandingan Konsepsi Jiwa dalam Al-Qur’an dan Konsep Psikoanalisis Sigmund Freud
Pada poin ketigabelas sampai keenambelas di artikel sebelumnya, merupakan esensi dalam jiwa manusia menurut Al-Qur’an.
Karena begitu penting, sehingga Sigmund Freud yang mencetus paham psikoanalisis memetakan tiga bagian dalam jiwa manusia, yakni: id, ego, dan super ego.
Namun, ketiga konsep jiwa ala Sigmund Freud, tidak harus dijadikan kesimpulan final. Ataupun penjelasan-penjelasannya yang “animatif” harus dijadikan “referensi”. Maka, pemikiran Sigmund Freud cukup menjadi perbandingan antara dua konsep yang terasa sama namun sangat berbeda.
Menurut Muhammad Utsman Najati, perlu kita tunjukkan bahwa setelah 14 abad Al-Qur’an turun, Sigmund Freud, pendiri paham psikoanalisis, menemukan teori kepribadian yang membedakan tiga macam.
Dalam fungsi-fungsinya, terlihat beberapa segi kemiripan dengan konsepsi nafsu ammarah bis su’, nafsu lawwamah, nafsu muthmainnah yang ada dalam Al-Qur’an.
Hanya saja, pada kenyataannya, terdapat banyak perbedaan antara konsepsi tiga macam jiwa menurut Al-Qur’an dengan tiga bagian jiwa dalam teori Freud. Freud berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga bagian: id, ego, dan super ego (Najati, 2005: 375).
Konsep Jiwa dalam Al-Qur’an dan Karakter Mulia (Kesempurnaan Insaniah)
Menurut Muhammad Utsman Najati, kita dapat menggambarkan tiga konsep tentang jiwa nafsu ammarah bi su’, nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah. Sebagai keadaan yang merupakan sifat kepribadian manusia dalam taraf kesempurnaan insaniah yang berbeda. Yang akan dilewati jiwa saat mengalami internal aspek materi dan spiritual yang merupakan sifat penciptaannya.
Nafsu Ammarah bis Su’
Manakala kepribadian manusia berada pada tingkatan insaniah paling rendah ketika hawa nafsu, syahwat, dan berbagai kesenangan ragawi dan duniawi menguasainya, ia berada dalam kondisi yang sesuai dengan gambaran nafsu ammarah bis su’.
Nafsu Muthmainnah
Kepribadian berada dalam tingkatan kesempurnaan insaniah paling tinggi ketika ia berpegang pada ketakwaan dan ketaatan kepada Allah Swt, menguasai hawa nafsu dan syahwatnya, mewujudkan keseimbangan total antara tuntutan-tuntutan materiil dan spiritual. Ia berada dalam kondisi yang selaras dengan gambaran nafsu muthmainnah.
Nafsu Lawwamah
Antara dua tingkatan ini, terdapat tingkatan pertengahan. Dalam tingkatan ini, seseorang akan melakukan instrospeksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari perbuatan yang dapat mengundang murka Allah Swt. Dan juga menimbulkan perasaan menyesal dalam hati nuraninya. Tetapi, ia selalu gagal dalam usahanya itu. kadang-kadang, ia lemah dan terjerabab ke dalam kesalahan. Kepribadian dalam tingkatan ini disebut nafsu (jiwa) lawwamah (Najati, 2005: 375).
Karakter Minus
Karakter minus yang berbentuk nafsu ammarah bisu’, merupakan hegemoni hawa nafsu, syahwat dan emosi yang menjadikan manusia tersesat dari nilai-nilai kebaikan. Di kala ambisi, materi, kursi, gensi dan sensasi menjadi tujuan hidup, maka terjadilah kompetensi hidup yang tidak jujur.
“Sirkuit celaka” itulah yang menjadikan hegemoni bahimiah (kebinatangan); yang di atas menendang yang di bawah, yang kiri dan kanan saling sikut-sikutan, yang di bawah menarik yang di atas. Kata pepatahnya: ‘menggunting dalam lipatan’, ‘menohok kawan seiring’, dan ‘telunjuk lurus kelingking berkait’.
Begitu juga fase nafsu (jiwa) lawwamah. Pada karakter minus inilah, manusia berada dalam kondisi percobaan dan kesalahan hingga memunculkan penyesalan. Berulang kali melakukan percobaan akan berbuatan baik, namun khilaf, salah, dan terletor membawanya ke jurang dosa dan maksiat, akhirnya muncul penyesalan.
Karakter Plus
Pada posisi karakter plus lah manusia merasakan kebahagian hati dan ketentraman hati, yakni nafsu muthmainnah. Sifat Ketuhanan dengan esensi ke-qudus–an, kebenaran, kesucian, serta kehanifan.
Di sanalah manusia merasakan esensi kemanusiaaanya dalam “pelukan” Tuhan. Dimensi materiil akan mengikuti gaya grafitasinya ke tanah (bahkan bawah tanah). Sedangkan dimensi spiritualnya mengantarkan kalbu sang hamba mi’raj ke langit Ilahiah. Hingga “terlena” di Sidratulmuntaha, Mustawa dan Arasy-Nya.
Meraih predikat Karakter Mulia dengan kesempurnaan insaniah (insan kamil), bukanlah hal yang bisa dibentuk dan diusahakan dalam hitungan bulan saja. Meraih predikat karakter mulia (akhlakulkarimah) atau insan kamil, membutuhkan proses yang panjang dan komitmen yang kuat dengan kemampuan mensinergiskan antara aspek materiil dan spiritual. Serta mampu menempatkan posisi aspek materiil sebagai sarana dan pendukung, bukan tujuan hidup, di dalam meraih predikat insan kamil secara jasmaniah dan rohaniah.
Editor: Yahya FR