Tak jarang kita mendapati, masih banyak dari orang tua yang begitu mengatur kehidupan anaknya, bahkan sampai urusan perjodohan. Hal tersebut terkadang menjadikan sang anak merasa terpaksa dalam memilih jodohnya, terutama bagi kaum wanita, saat jodohnya adalah jodoh wasiat.
Sesungguhnya yang paling berhak menentukan jodoh adalah sang anak itu sendiri, karena dia lah yang akan menjalani hubungannya, bukan orang tuanya. Parahnya, terkadang wasiat orang tua sampai menyentuh hal ini, sehingga membuat anak sungkan untuk tidak melakukannya. Oleh sebab itu, bagaimana sih sebenarnya hukum wasiat orang tua untuk menentukan jodoh wasiat dalam Islam? Dosa kah jika tidak ditunaikan?
Memahami Wasiat
Wasiat merupakan keinginan pribadi yang disampaikan secara sukarela, baik tertulis ataupun lisan dari seseorang kepada pihak lain. Pesan wasiat berlaku setelah orang tersebut wafat, baik keinginan itu berupa materi maupun sesuatu yang dianggap bermanfaat. Para fuqaha berpendapat bahwa dalam keadaan normal, hukum wasiat dalam Islam itu adalah sunnah (dianjurkan). Dan hukum melaksanakan isi wasiat dalam Islam hukum asalnya adalah wajib. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT al-Baqarah ayat 180,
“Diharuskan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak, dan karib kerabatnya secara ma’ruf”.
Ini adalah keharusan atas orang-orang yang bertakwa. Juga dari hadis sahih, Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah SWT berbaik kepadamu tatkala kamu akan menghadapi kematian untuk berwasiat sepertiga dari hartamu, sebagai tambahan terhadap amal kamu”. ( HR. Bukhari dan Muslim).
Ada beberapa ketentuan terkait wasiat dalam Islam. Ketentuan bagi pewasiat antara lain adalah pemberi wasiat harus cerdas dalam bertindak hukum. Wasiat harus dilakukan secara sadar dan sukarela. Dan jika menyangkut harta maka pewasiat tidak boleh mempunyai utang sebesar harta yang diwasiatkan.
Kemudian ketentuan bagi penerima wasiat, antara lain harus ada penerima dengan identitas yang jelas dan layak menerima. Penerima wasiat tidak bisa pembunuh orang yang berwasiat, dan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam). Sedangkan ketentuan yang terkait barang yang diwasiatkan, antara lain adalah harus berupa sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Ia juga harus merupakan hak pribadi orang yang berwasiat, dan harus untuk tujuan kebaikan. Dan jika berupa harta maka yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga harta pewasiat.
Jodoh Wasiat pada Zaman Nabi
Bagaimana kalau ada orang tua yang berwasiat agar putrinya menikah dengan seseorang yang diwasiatkan, sedang putrinya menolak jodoh wasiat tersebut? Jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila pernikahan itu dilaksanakan atas dasar paksaan salah satu pihak, akad pernikahannya rusak dan tidak sah. Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka tersalah, lupa atau dalam keadaan terpaksa” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Terkait masalah ini, ada pelajaran berharga dari kejadian zaman Nabi SAW. Dari Aisyah RA diceritakan bahwa seorang gadis menghadap beliau, “Ayah saya telah menikahkan saya dengan anak saudaranya untuk menutupi kejelekannya. Padahal saya tidak mencintainya”. Lalu Aisyah RA menjawab, “Duduklah, sambil menunggu Rasulullah datang”.
Setelah Rasululllah datang, Aisyah menceritakan masalah gadis tersebut kepada beliau. Maka Rasulullah mengutus seseorang untuk memanggil ayah gadis itu agar menghadap beliau. Kemudian Rasulllah SAW menyerahkan permasalah kepada gadis tersebut, apakah ia akan menolak atau menerima perkawinannya. Maka gadis itu berkata, “Ya Rasulullah, saya setuju saja dengan apa yang telah dilakukan ayah saya. Akan tetapi, saya ingin tahu apakah wanita berhak menunjukan keberatannya dalam masalah pernikahan yang diinginkan ayahnya.” (HR an-Nasa’i)
Dari riwayat tersebut dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW begitu bijak memberi ruang kemerdekaan memilih pada gadis yang mendapat tekanan ayahnya. Entah karena apa, tapi ternyata gadis tersebut akhirnya memilih menuruti kemauan ayahnya. Yang tersurat dari hadis ini bahwa gadis tersebut hanya ingin dihargai uneng-unegnya (isi hatinya).
Jodoh Wasiat dalam Islam
Dalam menentukan jodoh untuk anaknya, orang tua tidak boleh memaksakan kehendak, melalui wasiat, melainkan harus mengkomunikasikannya dengan anak secara baik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasullullah SAW bersabda. “Janda tidak boleh dinikahkan sebelum diminta persetujuannya. Para sahabat bertanya, ya Rasulullah, bagaimana persetujuannya? Beliau menjawab, diamnya.“ (HR. Bukhori dan Muslim).
Dari hadis ini dapat dipahami seseorang mempunyai hak untuk setuju atau tidak, anak sebagai individu menolak tawaran orang tua diperbolehkan. Ia tidak dianggap durhaka, tidak juga menyalahi ketentuan ‘birrul walidain‘ (berbakti kepada orang tua). Hal ini karena jodoh termasuk hak asasi anak yang tidak boleh diintervensi secara semena-mena oleh siapa pun, termasuk orang tua. Anak memiliki kemerdekaan berpendapat dan kebebasan memilih calon yang disukainya sesuai ketentuan syariat. Bahkan jika terpaksa, maka anak boleh menolak jodoh wasiat yang dipaksakan orang tuanya, dengan cara yang baik dan sopan.
Mengenai jodoh wasiat dalam perspektif fikih normal, wasiat dalam Islam tersebut tidak sah dan tidak berlaku. Ini karena objek yang diwasiatkan adalah manusia yang tidak bisa menjadi hak pewasiat. Objek wasiat mempunyai hak menentukan pilihannya yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, walau melalui wasiat sekalipun.
Boleh Menolak Jodoh Wasiat
Andai sudah ada kesepakatan antara pewasiat (orangtua) dengan objek wasiat (seorang pria) pun, jodoh wasiat tetap tidak berlaku sebagai wasiat. Penerima wasiat (putrinya) mempunyai hak pilih sendiri dengan siapa nanti akan menikah, sehingga dia bisa dan boleh menolak wasiat orangtuanya.
Tetapi, jika semua pihak (pewasiat, penerima wasiat, dan objek wasiat) sepakat dengan isi wasiat perjodohan tersebut, maka wasiat demikian diperbolehkan. Ia dapat dilaksanakan karana wasiat itu jenis muamalah dan prinsip muamalah adalah al-‘aqdu wal mashlahah (akad dan maslahah). Sedang inti akad adalah kesempatan (‘an taradhin/ saling rela).
Ada kaidah ushul fiqih yang menjadi naungan masalah muamalah yaitu al-Ashlu fil asy-ya’ al-ibahah hatta’ yadullad dalilu ‘alat tahrim (pada dasarnnya segala sesuatu itu diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya).
Wallaahu a’lam bi shawaab.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan