Fikih

Apakah Mahar Sandal Jepit dan Segelas Air Minum Diperbolehkan?

3 Mins read

Belum lama ini media masa di hebohkan dengan berita sepasang pengantin dengan mahar sepasang sandal jepit dan segelas air minum. Hal ini sontak menuai opini publik. Ada yang memberikan cibiran menganggap hanya mencari sensasi, namun ada juga yang memberikan dukungan. 

Berita mengenai pemberian maskawin yang sederhana ini mungkin tak sekali menjadi viral. Namun kerap kali menjadi bahan perbicangan publik. Sebenernya apakah mahar sandal jepit dan segelas air minum diperbolehkan menurut hukum Islam?

Mahar Sandal Jepit

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Sedangkan secara terminologi berarti pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati untuk menimbulkan rasa cinta kasih. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.

Kata ini berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar. Yakni mahram atau kata kerja yakni fi’il dari ”mahara-yamaharu-maharan”. Lalu dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr. Kemudian kata ini diadopsi dalam Bahasa Indonesia dengan kata yang sama.

Lalu, apakah mahar berupa sandal jepit dan segelas air minum diperbolehkan?

Syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Pertama, harga berharga. Meski tidak ada ketentuan banyak atau sedikit, namun mahar dianggap tidak sah jika dibayarkan dengan harta tak berharga.

Kedua, barang suci dan bisa diambil manfaatnya.

Ketiga, bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizin pemilik, namun tidak untuk niatan dimiliki. Karena pelaku berniat untuk mengembalikannya kelak.

Keempat, bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah apabila maskawin berupa barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan jenisnya.

Baca Juga  Hukum Melaksanakan Shalat Idul Fitri di Rumah

Bentuk Maskawin

Semua ulama sepakat bahawasanya membayar maskawin itu hukumnya wajib. Sedangkan macam-macamnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

Mahar Musamma

Adalah maskawin yang telah jelas dan ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shigat akad. Jenis ini dibedakan menjadi dua yaitu:

Pertama, Musamma Mu’ajjal yakni yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya.

Kedua, Musamma Ghair Mu’ajjal, yakni yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya akan tetapi ditangguhkan pembayarannya.

Berkenaan dengan pembayaran maskawin, maka wajib hukumnya apabila telah terjadi dukhul. Ulama sepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib apabila telah berkhalwat (berdua-duan) dan juga telah dukhul.

Mahar Mitsil

Adalah mahar dimana jumlah dan bentuknya menurut yang biasa diterima keluarga pihak istri karena tidak ditentukan sebelumnya dalam akad nikah.

Imam Malik menjelaskan bahwa seorang laki-laki boleh memilih salah satu dari ketiga kemungkinan ada. Kemungkinan pertama, seorang suami tidak perlu membayar maskawin kepada istrinya. Kemungkinan kedua, suami membayar mahar mitsilnya. Kemungkinan ketiga, memilih membayar mahar mitsilnya sesuai dengan kemampuan.

Dalam Konsep Hukum

Maskawin adalah harta yang berhak didapatkan oleh seorang istri yang harus diberikan oleh sang suami, baik karena akad maupun persetubuhan hakiki. Menurut Imam Maliki, mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan denganya.

Menurut Imam Syafi’i adalah sesuatu yang diwajibkan. Sebab pernikahan atau persetubuhan atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi. Menurut Imam Hambali adalah pengganti dalam akad pernikahan baik itu ditentukan di dalam akad atau ditetapkan setelahnya dengan keridhoan kedua belah pihak atau hakim. (Wahbah Az-Zuhaili, 2007)

Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat Pasal 1 yakni “Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam”.

Sedangkan di Pasal 30 Bab V menyebutkan “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak ”.

Selanjutnya di Pasal 36 Bab V “Apabila maskawin hilang sebelum desrahkan, itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang yang hilang”.

RUU Hukum Materiil Pengadilan Agama

Pada Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Pengadilan Agama disebutkan bahwa maskawin adalah kewajiban seorang mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Dan untuk menentukan bentuk ataupun nominal, maka kedua mempelai harus berdasarkan kesepakatan dan antara keduanya. Maskawin tersebut menjadi milik mempelai perempuan.

Baca Juga  Bolehkah Dana Qurban Dialihkan Untuk Penanganan Covid-19?

Hal tersebut sesuai dengan RUU HMPA Bab V tentang Mahar yang dijelaskan pada Pasal 27 ayat 1-3 yakni:

(1) Mempelai laki-laki berkewajiban memberi mahar kepada mempelai perempuan.
(2) Bentuk, jenis, dan jumlah mahar didasarkan atas asas kesederhanaan dan kepatutan yang disepakati kedua belah pihak.
(3) Mahar menjadi hak milik pribadi mempelai perempuan

Hikmah

Pertama, menunjukan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.

Kedua, mengangkat derajat perempuan dan memberikan hak kepemilikannya.

Ketiga, menunjukan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, karena mahar itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan) bukan pembayaran sebagai pembayar harga wanita.

Keempat, menunjukan kesungguhan diri karena menikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.

Kelima, menunjukan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah karena laki-laki adalah pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya.

Jadi Islam tidak menetapkan jumlah maksimum dari mahar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.

Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keislaman kita semua, terutama setelah berita yang viral tentang pernikahan dengan mahar sandal jepit dan segelas air minum.

Semoga dengan mengimplementasikan nilai-nilai tengah  Islam hidup kita menjadi lebih baik dan maju. Aamiin.

Wallahua’lam bisshawwab

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
12 posts

About author
Mahasiswa IAIN Surakarta Hukum Keluarga Islam
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *