Fikih

Bunga Bank itu Belum Tentu Riba dan Haram

4 Mins read

Bunga Bank Riba | Seorang pengusaha, sebut saja namanya Mawar, dengan semangat bercerita dalam sebuah pertemuan keluarga bahwa ia kini telah menutup semua rekening bank konvensional yang ia miliki.

Alasannya, bank-bank umum, yang lazim dikenal dengan istilah bank konvensional itu, mengandung riba. Bunga bank adalah riba, begitu keyakinannya. Kandungan riba dalam bunga bank itulah yang menjadikan bank konvensional tidak syar’i.

“Kesadaran” tentang riba dalam diri pengusaha itu menggelora setelah ia mengikuti pengajian-pengajian yang berafiliasi kepada sebuah paham keagamaan berorientasi pemahaman literal.

Di lain waktu, kisah lain terjadi. Isteri saya dihubungi seseorang. Orang itu bercerita bahwa ia terjerat hutang. Sebenarnya hutang adalah hal biasa dalam ritme hidup semua orang. Hal yang menjadikan cerita hutang ini dramatis adalah, orang itu berhutang kepada pinjaman online (pinjol).

Entah bagaimana mulanya, hutangnya menyebar di berbagai jasa pinjol. Sementara tiap-tiap pinjol mematok pengembalian yang sangat tinggi dari jumlah pokok pinjaman. Karena itu, jumlah yang ia tanggung menjadi jauh melebihi jumlah uang yang dipinjam.

Singkat kata, ia kemudian bertanya kepada isteri saya barangkali ada dana zakat yang bisa menolongnya bebas dari jeratan hutang itu. Kebetulan Bait al-Hikmah Foundation Malang, lembaga yang saya kelola bersama isteri dan sejumlah aktivis belia, sering menerima titipan zakat. Maka, kami sumbangkan sedikit dana untuk penghutang tersebut di bawah asnaf gharim atau orang yang terlilit hutang.

Dua cerita di atas berbeda konteks, tetapi disatukan oleh satu isu, yaitu riba. Pada cerita pertama riba menghadirkan “gangguan” atau “masalah” pada level religiusitas dan spiritualitas.

Bahwa setelah memiliki pemahaman baru tentang riba, secara psikologis sang pengusaha merasa terganggu jika tetap mempertahankan uangnya di sistem yang ia yakini mengandung riba.

Sementara pada kasus kedua, riba telah menampakkan diri sebagai gangguan dalam arti fisik. Wujudnya adalah eksploitasi. Wanita yang berhutang itu merasakan eksploitasi bahkan intimidasi yang luar biasa akibat hutang-hutangnya.

Baca Juga  Bolehkah Bekerja di Tempat Orang Non-Muslim?

Maka dari kedua peristiwa itu, menarik status hukum riba secara lebih luas dalam konteks dunia yang terus berkembang menjadi sangat penting.

Pengharaman Riba

Ayat Al-Qur’an tentang keharaman riba memang tegas. Sejumlah ayat menyebutkannya secara eksplisit. Surah al-Baqarah ayat 278-280, Surah al-Hajj ayat 5, Surah an-Nahl ayat 92, Surah ar-Rum ayat 39, dan Surah Fusshilat ayat 39 adalah di antaranya.

Kita kutip salah satu terjemahan dari kelompok ayat di atas:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah: 278-280).

Tegas. Riba adalah haram. Akan tetapi, kejelasan status haram riba ini ternyata tidak paralel dengan pemahaman tentang apakah sesungguhnya yang disebut riba itu.

Jika dibawa ke dalam teori hukum Islam, pengharaman riba dalam Al-Qur’an bersifat mujmal. Sementara rumusan-rumusan tafshiliyah (rinci) bisa ditemukan dalam Al-Qur’an dan hasil ijtihad para ulama. Maka akan ditemukan bahwa makna dasar riba sebagai “tambahan,” “kenaikan,” “pembengkakan”, atau “kelebihan”; rasanya tidak banyak diperdebatkan.

Akan tetapi tentang bentuk-bentuk transaksi ekonomi apakah yang bisa disebut sebagai riba itu, para ahli berbeda pandangan. Terlebih dalam dunia yang dengan teknologi yang berkembang pesat seperti saat ini, perdebatan itu menjadi semakin kompleks.

Riba dalam Wacana Tafsir

Dalam Tafsir al-Manar, Muhammad Abduh menyebutkan apa yang disebut sebagai riba adalah aktivitas penyerahan sejumlah uang atau harta benda yang bisa dikonversi ke dalam jumlah uang tertentu sebagai hutang, dan pada saat pengembalian di waktu yang berbeda, ada kenaikan yang berlipat ganda. Pandangan yang sama dikemukakan oleh al-Thabari yang menilai bahwa riba dalam arti pelipatgandaan itulah yang diharamkan oleh Islam.

Baca Juga  Pacaran Boleh, Zina Jangan!

Dalam dunia modern, praktik yang dianggap dengan riba adalah bunga bank. Oleh karena, seorang nasabah menyimpan sejumlah uang dan kemudian pada jangka waktu tertentu menerima ziyadah (tambahan) dari simpanan pokoknya di bank tersebut.

Adanya unsur tambahan ini yang menjadikan Yusuf Qaradhawi memandang bunga bank adalah riba. Alasan yang diajukan oleh Qaradhawi adalah bahwa riba merupakan “semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta.”

Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa usaha susah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba, demikian pandangan Yusuf Qaradhawi. Barangkali pemahaman seperti inilah yang dianut oleh sang pengusaha di kisah pertama tadi.

Berbeda dengan Qaradhawi, Quraish Shihab memiliki klasifikasi tertentu dalam menentukan hukum bunga bank. Menurutnya, keharaman bunga bank terletak pada kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan atau penindasan, dan bukan semata-mata kelebihan atau penambahan jumlah utang, tanpa adanya situasi penjelas.

***

Dalam pandangan Quraish Shihab, illat atau kondisi yang menjadi dasar penetapan hukum riba adalah adanya penganiayaan atau penindasan. Maka, jika dalam bunga yang diterima tidak terdapat unsur aniaya, penindasan atau eksploitasi, maka tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai riba. Situasi seperti inilah yang dengan jelas bisa ditangkap dalam kisah ke dua.

Pandangan kontekstual Quraish Shihab tentang makna riba ini tidaklah unik. Abdullah Saeed, sarjana Muslim asal Maladewa yang berkarier di Australia, berpandangan sama. Ia memandang ayat pelarangan riba ini mesti dilihat dari sisi yang lebih fundamental, yaitu dengan membongkar sisi hikmah sebuah pelarangan.

Meskipun memiliki kesimpulan yang kurang lebih sama dengan Quraish Shihab, Saeed mengajukan pendekatan yang berbeda. Jika Shihab menggunakan pendekatan illat dalam memahami keharaman riba, Saeed mengajukan istilah hikmah untuk memahami makna dasar atau bahkan makna terdalam dari pelarangan riba.

Baca Juga  Hal-hal yang Dilarang Saat Seseorang Berqurban

Dalam pandangan Saeed, hikmah bisa diajukan sebagai alternatif atas fungsi atau makna illah. Ini karena menurutnya, hikmah adalah tujuan utama dari penciptaan sebuah hukum. Maka jika hikmah sebuah hukum tidak tercapai, tiada makna sama sekali hukum tersebut. Dalam kaitannya dengan bunga bank, Saeed memandangnya bukan sebagai riba, dan arena itu halal.

Kesimpulan Hukum tentang Bunga Bank

Kesimpulan tentang hukum bunga bank ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, bunga bank sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat modern saat ini, tidak bisa dianalogikan begitu saja dengan praktik riba di masa lalu, terlebih pada masa pra-Islam.

Kedua, pendekatan hikmah sebagai alternatif atas pendekatan illah yang diajukan Saeed telah membawanya kepada penekanan kepada makna paling mendasar riba yakni eksploitasi. Maka, jika tidak terdapat unsur eksploitasi dalam bunga bank, tidak ada alasan untuk menghukuminya haram.

Dalam kaitannya dengan teori hikmah inilah, Saeed justru menemukan bahwa dalam konteks masyarakat modern, alih-alih mengandung unsur eksploitasi, bunga bank bahkan memberikan manfaat kepada kelompok-kelompok tertentu. Barangkali inilah implementasi dari pendekatan hikmah yang diajukan oleh Saeed.

Di luar aneka perdebatan tentang keharaman riba sebagaimana disinggung secara singkat di atas, pemahaman-pemahaman kontekstual yang menggabungkan realitas kontemporer, metode yang tidak bertumpu pada satu sudut pandang, dan pendasaran pada teks-teks dasar Islam menjadi agenda mendesak untuk dilakukan. Karena justru di tangan usaha-usaha seperti inilah, hakikat al-Islam shalihun likulli zaman wa makan akan bisa ditegakkan.

Editor: Yahya FR

Avatar
37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *