Belum lama saya dan anak muda Muhamamdiyah dibuat geram gara-gara pernyataan komedian Pandji Pragiwaksono yang menyebut Muhammadiyah dan NU jauh dari masyarakat. Kini, saya dan anak muda Muhamadiyah tentunya dibuat geram atas adanya tuduhan bahwa Pak Din Radikal.
Bagai hujan di siang bolong, serentak tokoh Muhamadiyah dan tokoh moderat lain ramai-ramai bersuara atas dilaporkannya Pak Din ke KASN dan BKN. Abdul Mu’ti sekretaris PP Muhamadiyah menyebut bahwa tuduhan Pak Din radikal itu salah alamat seperti yang dilansir di situs IBTimes.ID.
Saya tidak tahu apa sebenarnya motif OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang menyebut Gerakan Anti Radikalisme (GAR) yang merupakan perkumpulan Alumni ITB melaporkan Pak Din Syamsudin.
Selama ini Pak Din dikenal sebagai tokoh moderasi di tingkat nasional bahkan dunia. Terang-terangan bahkan beliau bersedia membantu Jokowi dalam memberangus radikalisme dan mengkampanyekan Islam moderat ke seluruh dunia. Pak Din, sebagai juru damai ini bersedia dengan tidak digaji. Komitmen Pak Din bahkan telah membawa Indonesia dalam forum dunia yang mengusung Islam moderat.
Radikal Boleh, Radikalisme Jangan
Saya rasa setiap orang perlu menjadi radikal. Radikal sendiri diartikan mengakar, menghujam, dan mengetahui pokok persoalan. Islam radikal adalah Islam yang tidak hanya tahu setengah-setengah, tahu permukaan saja. Nah, kalau Pak Din dituduh sebagai seorang yang radikal, boleh saja. Tapi kalau Pak Din dilaporkan sebagai seorang yang mendukung radikalisme itu perlu dipertanyakan lebih jauh.
Hampir semua bapak-bapak Muhamadiyah tidak pernah terlibat dan bersi dari wacana dan gerkan radikalisme. Terlebih yang berada di pucuk pimpinan Muhamadiyah. Pak Din adalah orang yang lair dari rahim Muhamadiyah semenjak di Pemuda Muhamadiyah.
GAR saya kira perlu lebih jauh mengkaji dalam-dalam laporannya, sebelum malu-maluin nama besar kampus ITB. Pak Din sendiri adalah guru besar yang kredibel sampai sekarang tidak lupa kepada kewajiban kepada almamaternya. Terlebih sebagai ASN asisten negara yang teguh, nasionalisme dan komitmennya pada kode etik pegawai negeri tetap dipatuhinya.
Tuduhan radikalisme itu jadi terkesan lucu. Sebab Pak Din sendiri belum pernah berhubungan, memiliki jaringan apalagi sampai berbuat mendorong dan mendukung radikalisme. Rasa-rasanya para aktifis GAR ITB perlu belajar lagi deh apa itu radikal dan radikalisme sebelum melangkah lebih jauh.
Tuduhan GAR kepada Pak Din
Para aktifis GAR itu menuduh Din Syamsudin dengan enam tuduhan yang tak masuk akal. Pertama, Din dituduh sebagai tokoh yang konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya. Kedua, Din juga dituduh mendiskreditkan pemerintah dan menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah yang beresiko terjadinya proses disintegrasi negara. Ketiga, Din dinilai melakukan framing yang menyesatkan dan menciderai kredibilitas pemerintah. Keempat, Din dinilai menjadi pimpinan kelompok yang beroposisi terhadap pemerintah. Kelima, Din dinilai menyebarkan hoax serta mengagitasi publik melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Keenam, Din dinilai mengajarkan fitnah dan mengeksploitasi sentimen agama.
Hampir semua tuduhan yang ditujukan kepada Pak Din mental. Kebebasan berpendapat sendiri diatur dan dilindungi oleh undang-undang. Sebagai ASN tentu saja Din sadar, ia tidak pernah menyuarakan kritiknya mewakili ITB selaku institusi yang ia ada di dalamnya. Sebagai tokoh publik dan intelektual publik, justru Pak Din dituntut untuk bersuara saat bangsa ini sedang berbelok ke arah yang tidak benar.
Apa yang dilakukan Pak Din selama ini hanyalah suara kritik yang meluruskan apa-apa yang dilakukan pemerintah yang membuat rakyat geram. Kritik ini tidak boleh ditanggapi sebagai ancaman dan juga konfrontasi.
Kalau kritik di dalam pemerintah dianggap sebagai konfrontasi dan perlawanan, tentu saja tidak ada negara demokrasi, tetapi pemerintahan otoriter. GAR saya kira perlu bangun dari tidurnya, ini bukan eranya Soeharto lagi, bahwa ASN hanyalah diam dan diam melulu. Ini era reformasi, Bung! Dan selama batas-batas itu ditaati, saya rasa sah saja bersuara di alam demokrasi.
Gak ada Loe Gak Rame
Di alam demokrasi, oposisi dan juga pro pemeritah adalah wajar. Di alam demokrasi tumbuhnya kritik menandakan demokrasi itu subur, dan sehat. Tetapi sebaliknya bila tidak ada kritik dan pemerintahan ugal-ugalan, ini justru membahayakan.
Kritik Din saya kira masi dalam koridor yang wajar. Dan biasanya kalau tidak dikritik, pemerintah cenderung gubras-gabrus atau seenaknya sendiri menerobos batas-batas. Disahkannya Omnibus Law dan kritik yang tidak didengar membuktikan pemerintah seperti menutup mata.
Seperti ungkapan yang sudah populer itu “gak ada loe gak rame”, demokrasi pun demikian halnya. Itulah mengapa Jokowi pun mengatakan bahwa pemerintah merasa kurang mendapatkan kritikan dari rakyat. Pemerintah pun memerlukan kritikan dari rakyat.
Kita berharap apa yang disampaikan Jokowi adalah pesan dari hati. Jangan sampai seperti yang dikatakan Rocky Gerung bahwa pemerintah menjamin kebebasan bersuara, tapi tidak menjamin kebebasan setelah bersuara dengan jerat UU ITE dan lain sebagainya.
Terakhir, ada baiknya saya berpesan kepada GAR dan ribuan alumni ITB yang baik hati itu. Sudah saatnya kita bekerja bersama melawan Covid-19. Bukan saatnya kita membuat gaduh dan riuh dengan hal-hal yang tidak substantif seperti ini.
Biarlah Muhamadiyah bekerja sepenuh hati dan untuk negeri. Jangan palingkan muka kami hanya untuk isu yang tidak sehat seperti ini. Bila Jokowi saja santuy, mengapa anda sewot dengan Pak Din, wahai GAR ITB?. Salam damai, dan sehat selalu.
Editor: Yahya FR