Perspektif

New Normal: Mengurai Skenario Tatanan Baru Pasca-Pandemi

5 Mins read

Beberapa pekan ke belakang, tepatnya pada hari Sabtu, 16 Mei kita sedikit dikejutkan sekaligus dilegakan atas kabar bergulirnya kembali kompetisi sepak bola nomor wahid di negara Jerman. Bundesliga musim 2019-2020 kembali dilanjutkan dengan protokol New Normal usai diliburkan beberapa bulan sebelumnya akibat pandemi COVID-19.

Kompetisi tersebut resmi bergulir kembali, diawali oleh pertandingan antara Borussia Dortmund melawan Schalke 04 yang berlangsung dikandang Dortmund Signal Iduna Park.

New Normal

Terlepas dari langkah yang diambil operator liga jerman (DFL) memang memunculkan banyak perdebatan, tentu saja kabar tersebut menimbulkan kelegaan dan patut dirayakan seluruh dunia. Merayakan kembalinya sepak bola ke tengah situasi dunia yang penuh kesedihan.

Pasalnya, sudah berbulan-bulan lamanya kita disuguhi beragam informasi negatif mengenai permasalahan  COVID-19. Sebaliknya, informasi positif mengenai keadaan dunia yang mulai membaik, seakan disembunyikan begitu saja.

Habis Gelap Terbitlah Terang“–judul buku yang ditransliterasikan oleh Abendanon untuk mengkodifikasikan surat-surat R.A Kartini–seolah menjadi perumpamaan yang pas bagi kembalinya Bundesliga. Laksana oase di tengah gurun yang tandus, kembalinya Bundesliga telah menjadi pelepas dahaga atas ‘gersangnya’ kabar baik semasa pandemi.

Dimulai dari berita hoax yang bertebaran di grup-grup Whatsapp, lemahnya pemerintah dalam penanganan pandemi, lalu diperparah dengan bebalnya masyarakat +62, salah satunya kasus prank Youtuber tak berakhlak yang mengusik rasa kemanusiaan kita. Selain itu juga, kembalinya Bundesliga ini diartikan banyak pihak sebagai pertanda bahwa dunia memang tengah bergerak ke arah tren yang lebih baik dengan kata lain berangsur perlahan kembali menuju normal.

Di balik fakta di atas, perlu disoroti dan dianalisis keberlangsungan kembali kompetisi-kompetisi olahraga di tengah pandemi. Jawabannya tak lain, karna penanganan yang tepat dan mutakhir oleh Pemerintah Jerman terhadap kondisi pandemi di negaranya–yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negara kita. Operator Bundesliga pun telah menerapkan sejumlah protokol keamanan yang super ketat dan terukur agar kompetisi bisa terus berjalan sambil menangani pandemi tetap menjadi prioritas utama.

Di antara protokol yang diterapkan adalah, seluruh pertandingan hanya bisa dilangsungkan setelah semua pemain dan staf klub menjalani serangkaian tes COVID-19, pertandingan dimainkan dalam kondisi stadion yang kosong alias tanpa suporter, aturan physical distancing yang mesti diindahkan oleh seluruh pemain, staf klub, dan perangkat pertandingan hingga aturan-aturan lainnya dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus.

Baca Juga  Fikih Peradaban: Membawa Lokalitas Islam Nusantara ke Dunia Global

Meskipun aturan ini dibuat demi kebaikan bersama, tetapi entah mengapa tetap saja mata kita masih belum terbiasa dengan kondisi stadion yang kosong dalam sebuah pertandingan yang kompetitif. Apalagi saat melihat selebrasi aneh yang dilakukan Erling Braut Halland setelah mencetak gol dengan tetap menerapkan aturan Phisycal Distancing bersama rekan setim.

Paradigma The New Normal

Bergulirnya kembali Bundesliga diiringi dengan penerapan sejumlah protokol khusus inilah yang kemudian bisa kita maknai sebagai sebuah penerimaan akan hadirnya The New Normal ke tengah-tengah kehidupan sosial kita. Istilah ini muncul akibat kita mesti dihadapkan pada kondisi ekonomi harus terus berjalan sebagaimana mestinya. Sedang di sisi lain tidak boleh menomorduakan penanganan pandemi dalam konteks kesehatan.

Sebenarnya dua hal inilah–ekonomi dan kesehatan–yang sejak awal menjadi alasan kenapa pemerintah kita terkesan gagap dan tidak tegas dalam penerapan kebijakan penanganan pandemi COVID-19. Kebingungan antara memilih yang mesti jadi prioritas utama apakah ekonomi atau kesehatan.

Fokus yang terbagi mengakibatkan banyaknya kebijakan yang dinilai plin-plan seolah menempatkan dua hal tersebut sebagai dua hal yang terpisah. Padahal keduanya merupakan sebuah kesatuan yang utuh yang mesti berbarengan dicarikan solusinya.

Kegagapan pemerintah ini pula yang seakan ‘digenapkan’ oleh perilaku minus masyarakatnya yang bebal terhadap segala anjuran dan aturan yang diberlakukan. Misal, berkumpulnya warga di penutupan McD Sarinah. Belum lagi dibukanya kembali pusat perbelanjaan dibarengi dengan ‘bar-barnya’ pengunjung untuk berebut masuk dan seterusnya.

Kejadian di atas adalah bukti nyata bahwa negara kita belum benar-benar siap dalam meng-embrace paradigma The New Normal ke tengah-tengah masyarakat.

Berdamai dengan COVID-19

Ajakan Presiden Jokowi agar hidup berdamai dengan virus agaknya memang rentan mengundang masyarakat untuk misuh-misuh dan mengkritik habis-habisan pernyataan tersebut. Bagaimana tidak, pada kesempatan sebelumnya Presiden Jokowi malah sempat mengeluarkan pernyataan untuk berperang secara puputan melawan si virus.

Seakan saling bertolak belakang di antara kedua pernyataan tersebut–sebagai warga negara yang bijak–sudah sepatutnya kita meninjau ulang dan menganalisis pernyatan tersebut. Tentunya agar tersibak apa maksud di balik tersebut.

Tanpa bermaksud membela pernyataan Presiden Jokowi, penulis mesti mengakui, sedikit bisa menerima redaksi ‘berdamai’ ini. Tentu dengan catatan hanya jika dikontekstualisasikan dengan skenario The New Normal. Kenapa? Karna ada fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita tidak akan siap secara lahir batin jika diberlakukan total lockdown.

Aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang belakangan diterapkan secara terbatas di pelbagai daerah pun banyak menuai masalah di lapangan. Dari sektor kesehatan, penerapan PSBB dinilai sudah cukup tepat. Namun, di saat bersamaan sektor-sektor lain, utamanya ekonomi, akan menjadi tumbal dari penerapan aturan tersebut.

Baca Juga  Problem Penghinaan Nabi Muhammad di Prancis

Berkaca dari data yang dirilis Lokadata.id “…jumlah pekerja sektor informal per tahun 2019 masih mendominasi di angka 57,27 persen, dibanding jumlah pekerja formal, 42,73 persen” (lokadata.id: Agustus 2019). Banyaknya masyarakat kita yang menggantungkan penghasilannya di sektor pekerjaan informal yang membuat dilema berkepanjangan jika lockdown diterapkan. Hal ini diperparah dengan ketidaksiapan Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam menjamin kesejahteraan warganya secara penuh.

Alih-alih menerapkan total lockdown, banyak pemerintah negara lain di penjuru dunia termasuk pemerintah kita memilih untuk menerapkan aturan-aturan yang tidak terlalu ketat jika berkaitan dengan sektor ekonomi. Hal ini guna meminimalisasi terjadinya chaos di lapisan grassroot masyarakat yang bisa terjadi kapan saja akibat krisis yang menghantui banyak negara. Utamanya negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Hal inilah yang menurut penulis, melandasi pernyataan kontroversial Presiden Jokowi tentang ‘berdamai dengan virus’. Sudah jadi rahasia umum jika pemerintah saat ini dinilai banyak pihak, terasa miskin dalam pemilihan diksi di banyak siaran resminya untuk masyarakat.

Ada baiknya jika pernyataan tersebut lebih dimaksudkan ke arah penerapan The New Normal seperti yang dilakukan Pemerintah Jerman. Redaksi seperti ini seyogyanya akan lebih mudah dipahami masyarakat dibandingkan ‘berdamai dengan virus’.

Bukan tanpa persiapan, belakangan skenario The New Normal sudah mulai digaungkan pemerintah. Hal ini terungkap dalam Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pada akhir pekan lalu. Dalam surat itu, ada sejumlah tahapan untuk membuka kembali operasi perusahaan milik negara, yang juga bisa dijadikan acuan oleh pengusaha. Berikut tahapannya:

25 Mei

Penerbitan protokol The New Normal, karyawan berusia di bawah 45 tahun kembali masuk kantor. Pengoperasian terbatas bagi sektor industri dan jasa melalui pengaturan jam masuk dan pengurangan jumlah karyawan.

1 Juni

Sektor jasa retail, seperti mal, toko, dan restoran, kembali beroperasi dengan batasan jumlah pengunjung dan jam buka. Masyarakat boleh kembali berkumpul di luar ruangan dengan batas jarak dua  meter dan kapasitas maksimum 20 orang.

Baca Juga  Merawat Kemuliaan Guru, Menjaga Marwah Lembaga Pendidikan Islam

8 Juni

Tempat wisata sudah dapat dibuka dengan tiket online dan pembatasan kontak fisik. Perguruan Tinggi dan pusat layanan pun akan kembali dibuka.

29 Juni

Seluruh kegiatan ekonomi mulai dibuka dengan protokol kesehatan superketat. Tempat ibadah juga akan kembali dibuka. Area outdoor dapat dimanfaatkan untuk berkumpul. Perjalanan dinas pun akan diterapkan kembali sesuai dengan prioritas dan urgensi.

13 dan 20 Juli

Evaluasi pembukaan kegiatan seluruh sektor menuju skala normal.

New Normal artinya menyerah?

Skenario The New Normal seperti ini memang adalah keniscayaan yang tidak terhindarkan. Terlebih karena banyak pelaku usaha yang kian terhimpit dan dituntut mesti membayar pelbagai tagihan. Meskipun begitu, skenario The New Normal membutuhkan masa transisi atau penyesuaian bagi pelaku usaha, pekerja, dan masyarakat.

Protokol yang direncanakan tidak menjamin akan berjalan efektif sesuai harapan di lapangan. Inilah sejatinya alasan dibalik mulai ramainya pusat perbelanjaan dan sebagainya dan sebagainya.

Semoga pemerintah bisa belajar dari Pemerintah Jerman dan operator Bundesliga yang sudah lebih dulu mantap menerapkan The New Normal. Harapannya, pemerintah kita bisa lebih tanggap dan adaptif terhadap dinamika penanganan pandemi COVID-19 ke depan.

Ada kesan pemerintah merasa pede di awal, mengumbar The New normal, namun sayangnya tidak diiringi dengan solusi mumpuni dalam menangani pandemi. Jangan sampai, skenario The New Normal yang disusun sedemikian rupa dimaknai manyarakat sebagai ekspresi ‘menyerah’ dari pemerintah akibat kepayahan menangani pandemi COVID-19.

Sikap terbaik yang bisa kita lakukan saat ini dalam menyambur The New Normal adalah dengan senantiasa disiplin menerapkan kebiasaan-kebiasaan baik selama ini. Mulai dari rajin mencuci tangan, memakai masker, physical distancing, dan pola hidup bersih dan sehat lainnya. Hal ini perlu pembiasaan agar pada tiba saatnya The New Normal tersebut efektif menemani keseharian, kita tak lagi gelagapan dan sulit mengimbangi.

Selain itu perlu juga untuk senantiasa merawat nalar dan akal sehat dengan terus mengawal segala kebijakan yang keluar dari corong pemerintah. Tentu agar fungsi check and balance bisa berfungsi optimal.

Tetaplah kritis meskipun kondisi krisis. Walikulli wijhatun huwa muwalliha, fastabiqul khairat.

Editor: Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Penulis merupakan kader muda Muhammadiyah Jawa Barat yang berdomisili di Kota Bandung dan juga salah satu Co.Founder dari sebuah start up alternative creative media “Kolektif Kolegial”.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *