Kiai Ahmad Dahlan—dikenal dengan julukan M. Ketib Amin—memang seorang ulama dan tokoh pergerakan, tetapi jauh sebelum memimpin Persyarikatan Muhammadiyah, beliau adalah seorang guru. Hampir tidak banyak yang tahu bagaimana metode Kiai Ahmad Dahlan mendidik murid-muridnya. Tapi secuil berita yang dimuat di surat kabar berbahasa Jawa, Bromartani (edisi 15 September 1915), memberikan informasi penting soal ini. Ternyata, selain mengajar di ruang kelas, Kiai Ahmad Dahlan juga menerapkan metode belajar di luar ruangan lewat study tour atau piknik. Ke mana? Ke Taman Sriwedari di Solo!
Kabar Bromartani
Surat kabar Bromartani edisi 15 September 1915 menurunkan berita singkat bahwa M. Ketin Amin Djokja (Yogyakarta) mengajak murid-muridnya, laki-laki dan perempuan, tamasya ke Taman Sriwedari di Solo. Diberitakan bahwa tiga orang copet membuntuti murid-murid perempuan kemudian menjambret kalung mereka. Tapi aksi penjambretan itu berhasil digagalkan.
Sejarawan Kuntowijoyo (1993) menemukan dokumen surat kabar ini, menganalisis, dan mendapatkan informasi penting tentang bagaimana cara Kiai Ahmad Dahlan mendidik murid-muridnya, laki-laki dan perempuan. Analisis yang sangat kaya perspektif dan informasi dari Kuntowijoyo ini sebagaimana dimuat dalam salah satu tulisannya, “Arah Pengembangan Organisasi Wanita Islam Indonesia: Kemungkinan-kemungkinannya”yang dihimpun beserta tulisan-tulisan dari para penulis lainnya dalam buku yang berjudul, Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual (editor: Lies Marcoes dan Johan Hendrik, Jakarta: Seri INIS XIII, 1993, hlm. 129).
Walaupun dalam kabar singkat di Bromartani edisi 15 September 1915 tidak disebutkan secara eksplisit nama Kiai Ahmad Dahlan, tapi menggunakan julukan M. Ketib Amin Djokja, siapa lagi kalau bukan President Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah. Sebab, pada tahun 1915, jabatan Khatib Amin di Masjid Agung Yogyakarta memang dipegang oleh Kiai Ahmad Dahlan. Sedangkan murid-murid Kiai Ahmad Dahlan tidak hanya dari kalangan laki-laki saja, tetapi bercampur dengan murid-murid perempuan.
Kiai Dahlan Piknik
Analisis dari kacamata jurnalistik, nilai berita dari peristiwa yang dipublis di surat kabar Bromartani ini memang berupa tindak kriminal: penjambretan (berita kriminal). Sepintas, berita ini juga tampak biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial. Itu karena tindak kriminal memang bisa terjadi di mana-mana, tidak hanya di Taman Sriwedari saja. Tindak kriminal juga bisa menimpa siapa saja.
Namun di mata seorang sejarawan yang menguasai instrumen-instrumen penelitian sejarah, maka secuil berita tersebut menjadi berharga karena mengandung banyak informasi dan penafsiran penting. Berita tersebut jelas mengandung narasi yang luput dari pembacaan media massa, bahwa Kiai Ahmad Dahlan ternyata juga mengajar murid-murid perempuan, tidak hanya laki-laki. Dari berita tersebut bahkan diketahui bahwa tradisi mengajar yang tidak umum pada masanya telah dipraktikkan oleh Kiai Dahlan, yaitu bertamasya atau piknik. Kiai Dahlan membawa murid-muridnya ke Taman Sriwedari seakan-akan sedang membangun persepsi bahwa belajar itu adalah kegiatan yang menyenangkan, bukan membosankan.
Nah, itulah salah satu metode Kiai Ahmad Dahlan dalam mengajar murid-muridnya. Murid laki-laki dan perempuan tidak dipisah, tapi digabung. Menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil berdasarkan jenis kelamin dalam hal mengakses pendidikan di Muhammadiyah. Metode belajar juga tidak hanya ceramah di ruang kelas yang kadang bikin murid-murid sepaneng. Tapi Kiai Ahmad Dahlan kerap mengajak murid-muridnya piknik, belajar di luar ruangan.
Editor: Yahya FR