Perspektif

Kado Kemerdekaan Wujudkan Keadilan Sosial

4 Mins read

Rasa syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa senantiasa berada di depan ketika kita merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kita kenang jasa para pejuang dan pahlawan bangsa yang dengan susah payah dan tumpahan darah memberi hadiah terbesar bagi generasi bangsa, yakni kemerdekaan Indonesia. Seraya bertekad dan berikhtiar mewujudkan cita-cita yang sangat mahal itu.

Ketika Indonesia merayakan 75 tahun kemerdekaannya tahun ini, adakah cita-cita Indonesia merdeka itu sudah diwujudkan? Daripada terlalu banyak ritual dan mengedepankan simbol perayaan, lebih-lebih kala hidup di tengah pandemi COVID-19 sebagai musibah berat, lebih baik memusatkan diri memecahkan masalah-maslah krusial Indonesia secara sungguh-sungguh sebagai bentuk melanjutkan perjuangan para pahlawan dan pendiri Negara tercinta ini.

Di antara masalah bangsa setelah 75 tahun merdeka yang paling krusial ialah kesenjangan sosial-ekonomi. Masalah berat ini menunjukkan belum terwujudnya keadilan sosial di negeri ini. Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menurut Prof Syafii Maarif nasibnya paling terlantar saat ini. Prosesnya memang panjang dalam perjalanan bangsa Indonsia.

Derita Panjang

Ketika awal kemerdekaan, rakyat Indonesia mayoritas miskin dan menderita akibat penjajahan yang sangat lama. Lima tahun pertama dari kemerdekaan bangsa dan pemerintah Indonesia masih harus perang melawan Belanda dan Sekutu Inggris yang ingin bercokol kembali. Setelah itu pemerintahan parlementer sering jatuh bangun, terjadi konflik politik dan ideologi berkepanjangan, termasuk sejumlah pemberontakan di dalam negeri. Usaha memajukan kesejahteraan umum menjadi terbengkalai atau tidak memperoleh perhatian yang semestinya.

Tatkala Orde Lama jatuh, kondisi ekonomi Indonesia buruk, dengan inflasi tinggi, sehingga rakyat belum dapat menikmati kesejahteraan ekonomi sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Orde Baru berhasil meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang baik, tetapi meninggalkan bolong besar tidak adanya pemerataan, sehingga terjadi kesenjangan sosial-ekonomi cukup tinggi. Rakyat mayoritas bumiputra hidup tertinggal dan miskin, sementara sekelompok minoritas hidup berkecukupan dan berkelebihan. Tumbuhnya konglomerasi dan para taipan dimulai dari era ini.

Baca Juga  Peran Muhammadiyah dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Setelah reformasi, kesenjangan sosial-ekonomi masih tetap menjadi pekerjaan rumah yang serius pada setiap fase pemerintahan. Dalam rilis World Bank tahun 2014 dinyatakan bahwa satu prosen penduduk  menguasai 55,5 prosen kekayaan Indonesia. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dalam berbagai berita media massa mengeluarkan data lebih dramatis, bahwa 1 prosen penduduk menguasai 70 prosen aset negara. Kedua data tersebut menunjukkan bahwa keadilan sosial belum terwujud di Republik ini.

Pasca 20 tahun refomasi tidak terdapat kebijakan ekonomi yang betul-betul terobosan atau lompatan untuk mengatasi kesenjangan sosial ini, kecuali tambal-sulam berupa program UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang tidak memecahkan akar persoalan. Angka kemiskinan dan rasio gini memang menurun, tetapi ksenjangan ekonomi tetap menjadi masalah serius.

Akar utamanya ialah kelompok kecil masih menguasai mayoritas aset, akses, dan kekayaan Indonesia serta negara tidak betul-betul hadir dengan kebijakan ekonomi-politik yang berani, sehingga kesenjangan sosial-ekonomi tetap status-quo dan menjadi persoalan krusial di negeri ini. Sampai kapan mayoritas rakyat di negeri ini dapat hidup layak dalam suasana adil dan makmur.

Kebijakan Berani

Segenap penyelenggara negara melalui eksekutif, legislatif, yudikatif, dan semua institusi pemerintahan bertanggungjawab dan berkewajiban memotong akar kesenjangan sosial-ekonomi yang serius ini dengan kemauan politik tinggi memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jangan buta dan tuli terhadap kondisi hidup rakyat yang sulit naik kelas. Lebih-lebih dengan dampak pandemi COVID-19 yang sangat berat saat ini. Mereka yang sudah sejahtera dan maju tidak perlu khawatir nasibnya dan negara melindungi sejauh bertindak benar dan tidak merusak sistem kehidupan bersama. Tetapi wajib perhatian tehadap mayoritas rakyat yang miskin dan tidak beruntung hidupnya harus menjadi kewajiban utama negara.

Baca Juga  Pesan Haedar di Tanwir NA: Gunakan Bayani, Burhani, dan 'Irfani

Pemerintah berkewajiban mengendalikan dan mengatur sekelompok kecil yang menguasai ekonomi Indonesia selain dibatasi geraknya agar tidak leluasa mengkapitalisasi penguasaaannya seolah tanpa batas. Pada saat yang sama, wajib berbagi untuk bersama-sama mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi yang membuat mayoritas rakyat lemah dan tidak menjadi tuan di negeri sendiri.

Di sinilah pentingnya mewujudkan kebijakan ekonomi berbasis pasal 33 UUD 1945 secara nyata dan berani, yang oleh Bung Hatta disebut sebagai implementasi kebijakan “Ekonomi Terpimpin”. Ekonomi terpimpin itu maknanya negara harus hadir bagi kesejahteraan dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat, terutama mayoritas yang tidak beruntung hidupnya.

Indonesia jangan terlalu bangga dengan kesuksesan demokrasi, apalagi berhenti di demokrasi prosedural dan transaksional. Bangsa ini, termasuk dari kelompok dan organisasi sosial, jangan terlalu sibuk dengan urusan dan isu-isu politik partisan. Masalah kesenjangan sosial-ekonomi perlu menjadi perhatian serius.

Jangan biarkan ekonomi dan kekayaan Indonesia terkonsentrasi pada segelongan kecil kelompok. Kelompok kecil yang menguasai kue nasional perlu berbagi dan mengikat solidaritas sosial untuk mewujudkan kadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita percaya masih terdapat di antara mereka yang memiliki kepedulian dan kemauan untuk berbagi.

Indonesia Milik Seluruh Rakyat

Indonesia harus menjadi milik semua rakyat di seluruh tanah air, tidak menjadi milik segelintir orang atau kelompok tertentu, sebagaimana pesan Soekarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI tahun 1945 yang menyatakan, bahwa “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua.  Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”.

Ketika masih terdapat sekelompok kecil menguasai hajat hidup Indonesia, maka negeri ini belum menjadi milik seluruh rakyat sebagaimana sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam sila kelima Pancasila. Ini kewajiban luhur seluruh pejabat, elite, dan aparatur negara plus kekuatan-kekuatan nasional di seluruh Bumi Pertiwi Indonesia.

Baca Juga  Sketsa Singkat Gejolak Demokrasi dan Konstitusi Islam di Pakistan

Para elite politik di partai politik dan DPR, selain pemerintah, mesti menaruh perhatian utama dalam mewujudkan sila kelima Pancasila tersebut. Buktikan kekuasaan itu untuk rakyat, bukan untuk membangun kedigdayaan oligarki politik. Daripada memaksakan diri mengegolkan RUU HIP maupun BPIP yang dapat menimbulkan retak di tubuh bangsa, lebih baik berkonsentrasi bersama mewujudkan Pancasila khususnya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Para elite sosial pun tidak perlu mempolitisasi isu-isu krusial bangsa tanpa solusi untuk kebaikan negeri. Kenali dan bawa persoalan bangsa secara objektif dengan spirit kebersamaan dan perbaikan yang konstitusional. Para pejabat negara di seluruh lembaga pemerintahan harus memiliki komitmen dan moralitas tinggi dalam mewujudkan cita-cita nasional yang diletakkan para pendiri negara lebih dari sekadar tanggungjawab verbal. Cintailah dan berpihaklah kepada rakyat kecil dengan otentik, bukan lewat populisme semu.

***

Rakyat lelah dengan demokratisasi politik yang sukses tetapi tidak mengangkat hajat hidup dan kesejehteraan mereka secara signifikan. Sama lelahnya dengan politisasi dan pertarungan politik elite yang bersumbu pendek dan menciptakan kegaduhan politik tak berkesudahan.

Ketika tahun ini Indonesia merayakan kemerdekaannya, alih-alih bangga dengan logo ala milienial yang kontroversial dan hal-hal lain yang simbolik, yang mungkin enak dipandang publik tetapi tidak membawa efek bagi pemecahan masalah bangsa yang serba berat. Lebih baik menghadirkan negara untuk memotong mata rantai akar kesenjangan sosial-ekonomi guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam semangat Persatuan Indonesia jika pemerintah, semua lembaga negara, kekuatan politik, dan seluruh komponen bangsa dari pusat sampai daerah menyatukan tekad dan langkah bersama hasilnya akan dahsyat bagi masa depan Indonesia. Inilah yang semestinya menjadi kado istimewa perayaan 75 tahun kemerdekaan Indonesia!

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

This will close in 0 seconds