Kalam

Kalam Modern sebagai Penengah atas Persoalan Ketuhanan dan Kemanusiaan

4 Mins read

Dalam situasi saat ini, perkembangan ilmu keislaman yang jarang mendapat perhatian khusus dari para pelajar adalah Ilmu Kalam. Bisa dibilang ilmu ini adalah pusat dan sentral dari ilmu agama. Mayoritas dari pakar keilmuan Islam lebih banyak berbicara tentang sumber utama dari Al-Qur’an dan pokok-pokok di dalamnya. Meski kadang kala juga berbicara tentang aturan atau hukum-hukum dalam agama Islam. 

Masalah teologis sebenarnya merupakan hal penting dalam ruang lingkup akidah dan keyakinan yang sampai saat ini semakin pudar dari pelajar atau mahasiswa muslim. Realitas yang terjadi inilah yang memicu kebobrokan ilmu kalam saat ini, khususnya terhadap kajian ilmu-ilmu modern. Upaya meregenerasi ilmu kalam seringkali tidak mencapai titik pencerahan. Sedangkan di dalam keilmuan kalam sendiri terdapat kajian yang mendalam dari teologi dan teori ketuhanan. 

Kemunculan ilmu kalam masih mewarisi bentuk fanatisme kesukuan, atau yang disebut dengan “identitas Islam”. Perspektif-perspektif tentang pertikaian antara dua kubu yang menciptakan bentrok antara kelompok-kelompok yang lain, dan menghambat jalannya pola pikir umat Islam ke depannya. 

Kalam seperti inilah yang menuntun pada pemahaman yang begitu kaku. Seharusnya ilmu tentang teologi dan ketuhanan seperti ilmu kalam ini lebih bisa memandang jauh atas apa yang terjadi ketika dunia semakin maju mengikuti arus zaman (Muhammad In’am Esha, 2006, p. 66). Serta menjadi solusi atas persoalan-persoalan masa kini.

Sekilas tentang Ilmu Kalam Modern 

Ilmu kalam modern adalah ilmu yang identik dengan pembahasan ketauhidan dan ketuhanan, dengan cara menggunakan metode rasio sebagai alat pemikiran yang ada pada perkembangan zaman. Ilmu kalam modern juga merupakan hasil pemikiran dari jerih payah tokoh-tokoh terdahulu, yang berpandangan bahwa Islam harus lebih melek lagi tentang ilmu-ilmu modern yang terus berkembang pesat. Tapi juga tidak melupakan esensi dari ilmu kalam sendiri, karena ilmu pengetahuan modern juga memerlukan penafsiran ulang terhadap beberapa doktrin-doktrin dari agama tradisional.

Baca Juga  Rasionalitas Islam ala Al Maududi: Anti Mistis?

Tokoh-tokoh yang mengembangkan ilmu kalam modern ini tak lain adalah Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), dan Muhammad Iqbal (1877-1938). Muhammad Abduh adalah pemikir Muslim dari Mesir, sekaligus penggagas gerakan Modernisme Islam. Muhammad Rasyid Ridha adalah seorang ahli intelektual muslim yang mengembangkan gagasan Modernisme Islam, yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Sedangkan Muhammad Iqbal adalah seorang penyair, politikus, dan juga filsuf besar abad ke-20.

Ketiga tokoh ini yang membawa perubahan dan pengaruh besar pada corak pemikiran umat Muslim, yang sebelumnya lebih cenderung pada pemahaman kalam klasik tentang keyakinan atau doktrin-doktrin dalam agama Islam, dan menjadikan Islam sampai saat ini lebih terbuka oleh perkembangan ilmu-ilmu modern lainnya.  

Konsepsi Kalam yang Baru

Kalam yang menjadi ilmu paling mendasar dalam ruang lingkup agama Islam, seharusnya bisa menjadi terobosan jitu untuk membuka prinsip saling menyapa bidang-bidang ilmu lain. Karena bisa saja, selama ini pemahaman ilmu kalam mungkin dipengaruhi oleh beberapa hal yang membuatnya tidak berkembang. Seperti cara, tradisi, nalar, dan budayanya yang menjadikan kalam tidak berubah.

Pandangan dan perspektif kuno yang merupakan hal yang tidak masuk akal dianggap benar, sedangkan pada kebenaran masa kini yang merupakan suatu hasil nyata dan dapat dibuktikan secara ilmiah, dianggap salah. Karena mungkin saja toh umat Islam masih meragukan tentang “hal yang baru”, dan menyatakan dalil bahwa hal tersebut tidak mengikuti ajaran para nabi-nabi terdahulu. Hal tersebut yang membuat umat Islam semakin tertinggal dari realitas dunia yang semakin maju. 

Teologi yang menjadi landasan dari salah satu aspek kepercayaan umat Islam, sebaiknya juga bisa berpindah dari prinsip-prinsip yang tidak efektif menjadi aktif, dalam membuka diri terhadap persoalan dan pembahasan-pembahasan terkini. Sehingga mampu menghasilkan corak pemikiran dan “konsep kalam yang baru”. 

Baca Juga  Abu Mansur al-Maturidi: Syarat Mendapat Syafaat Rasul

Maksud dari “konsep kalam yang baru” ini bisa memberikan wawasan tentang tantangan dunia saat ini. Dari konsep kalam yang baru juga memerlukan pembuktian atau pengaktifan dari apa yang akan diimplementasikan untuk merespon kejadian-kejadian dan realitas yang baru. 

Karena bisa diteliti kembali, bahwa kalam sedari dulu sering dikaitkan dengan konflik-konflik dalam agama Islam. Sehingga di sisi lain, perlu adanya perubahan yang efektif. Nah, dari konsep kalam yang baru ini bisa menghasilkan sebuah alternatif ilmu kalam yang terbuka terhadap ilmu-ilmu sosial, kemanusiaan, teknologi, budaya, dan ilmu modern lainnya. 

Kalam yang seperti inilah yang menjadikan suatu pandangan terhadap dunia baru, dan bisa merubah citra Islam di mata dunia menjadi lebih menarik dan patut untuk dipelajari (Amin Abdullah, 1995, p. 79-80). Ketika ilmu pengetahuan modern berkembang, pada saat itulah kalam (teologi) harus terbuka dan aktif untuk menjadi bagian dari reformasi atau pembaruan Islam.

Prinsip Kalam yang Moderat

Peristiwa terkini tidak lepas dari konflik yang sarat dengan kepentingan individu dan kelompok, terutama kepentingan politik. Tujuan dari pengembangan kalam modern itu sendiri adalah untuk mengakhiri kesalahpahaman. Khususnya dalam ranah Islam yang saling menuduh, mengkafirkan, menyesatkan, dan membedakan satu sama lain. 

Banyak kelompok Islam bersuara lantang atas nama Tuhan tetapi malah bertindak kasar, seperti yang terjadi belakangan ini. Mereka menyebut diri mereka religius, tetapi di sisi lain tidak toleran satu sama lain. Bahkan ada juga kelompok-kelompok jihadis-Islamis yang membela agamanya melakukan kritik, perang, dan huru-hara sebagai bentuk perlawanan kepada siapa saja yang menzalimi agamanya.

Jika melihat dari tragedi kalam klasik yang telah membuat perpecahan antar umat beragama, serta memicu tindakan intoleran, maka mulai saat ini harus diakhiri (Muhammad al-Mustiry, 2014, p. 232). 

Baca Juga  Ilmu Mantik dan Era Keberlimpahan Informasi

Karena menurut Gus Dur, dalam bukunya yang berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela (Abdurrahman Wahid, 1999, p. 67); Tuhan itu kuat, Tuhan adalah segalanya, Tuhan tidak akan mengubah apapun yang manusia lakukan. Tuhan adalah representasi dari harmonisasi, rasa keadilan, rasa demokrasi, dan rasa toleransi kepada semua kalangan. 

Dari pernyataan tersebut yang bisa saya tangkap dan simpulkan bahwa sebagai manusia yang religius memang harus tunduk pada Tuhan. Tetapi juga sebagai makhluk religius, tidak semata-mata melupakan ciptaan-Nya begitu saja, yang lupa akan nilai sosial dan kemanusiaan. Prinsip-prinsip teologi seperti ini telah menghasilkan perkembangan ilmu kalam modern yang lebih moderat atau menjadi jalan perantara antara persoalan ketuhanan dan kemanusiaan.

Editor: Zahra

Rifaldo Musthofa
1 posts

About author
Mahasiswa S1 UIN Sunan Ampel Surabaya, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam.
Articles
Related posts
Kalam

Inilah Tujuh Doktrin Pokok Teologi Asy’ariyah

3 Mins read
Teologi Asy’ariyah dalam sejarah kalam merupakan sintesis antara teologi rasional, dalam hal ini adalah Mu’tazilah serta teologi Puritan yaitu Mazhab Ahl- Hadits….
Kalam

Lima Doktrin Pokok Teologi Mu’tazilah

4 Mins read
Mu’tazilah sebagai salah satu teologi Islam memiliki lima doktrin pokok (Al-Ushul al-Khamsah) yaitu; at-Tauhid (Pengesaan Tuhan), al-Adl (Keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa’id…
Kalam

Asal Usul Ahlussunnah Wal Jama'ah

2 Mins read
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan pemahaman tentang aqidah yang berpedoman pada Sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ahlussunnah Wal Jama’ah berasal dari tiga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds