Abu Nuwas, politisi abad pertengahan, mencari barang hilang di luar. Alasannya karena di dalam gelap. Jika ingin tahu praktik politik tinggi, berkhidmatlah di Muhammadiyah, bukan di partai politik. Jika ingin dapatkan kekuasaan, jangan cari di Muhammadiyah, pasti tiada.
Pelajaran
Dari kisah itu, kita belajar: kalau Anda kehilangan sesuatu barang di dalam ruangan, maka jangan mencari barang hilang itu di luar ruangan, hanya karena alas an di dalam itu gelap. Dijamin pasti gak bakalan ketemu!
Di Persyarikatan ini, semua perangkat politik yang dipersyaratkan oleh Dr Affan Gafar dan Prof Magnis Suseno tersedia ada (pressure, agregasi, advokasi, artikulasi, fakta, kultur politik, dan lain-lain), bergantung masing-masing kita mengeksplorasinya. Mungkin hanya satu yang tiada: kekuasaan dan kursi —dan itu low politics.
Muhammadiyah itu contoh real model gerakan high politik—gak ada yang lain! Jadi, kalau Antum mau cari model high politics jangan di PAN, PKS, PBB, PKB, apalagi PDIP, dijamin gak bakalan ketemu! Mereka semua low politics, mencari kekuasaan atau kursi. Bahkan, HTI dan FPI pun juga mengincar kekuasaan—tapi tidak bagi Muhammadiyah, bahkan terpikir saja tidak.
Menurut Dr Affan Gafar, pada mulanya, high politics membicarakan keberlangsungan hidup sebuah negara, termasuk tata kelola peradaban, perdamaian dunia, Pendidikan, dan kesejahteraan. Adapun low politics berkisah tentang hal-hal yang terkait dengan kekuasaan, distribusi wewenang, jabatan dan struktur kekuasaan, pressure dan akomodasi aspirasi. Termasuk cara memperoleh dan mendapatkan kekuasaan.
Politik Muhammadiyah
Muhammadiyah itu ‘berpolitik,’ bahkan lebih dari sekedar partai politik—yang membedakan adalah bahwa kepolitikan Muhammadiyah tidak berebut kekuasaan, tidak berburu jabatan, apalagi saling melempar kursi. Dan tidak menggunakan uang sebagai alat transaksi berpolitik. Tapi ketulusan dan keikhlasan karena politik tinggi juga dimaknai teologis.
Hampir semua pekerjaan politik dilakukan Muhammadiyah dengan optimal. Watak dasar politik Muhammadiyah adalah mensejahterakan, mencerdaskan, mencerahkan, dan memuliakan. Inilah politik tinggi. Gerakan politik tinggi tidak bergantung siapa rezim berkuasa, terus bekerja keras dan memberi—gerakan filantropi yang selalu hadir dan aspiratif.
Inilah kekecualian politik tinggi Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah, berpolitik tinggi juga bermakna jihad, yang memiliki dimensi dunia sekaligus akhirat. Pertanggungjawaban politik bukan hanya pada sidang paripurna, tapi juga persidangan di Yaum al-Ba’ats. Sebuah pemaknaan transenden agar politik menjadi tinggi. Maka apapun yang dilakukan adalah berpolitik dalam makna yang luas dan substantif.
Buat Apa Amal Usaha Politik?
Membangun masjid adalah jihad melawan bid’ah. Membangun universitas adalah jihad melawan kebodohan. Membangun rumah sakit adalah jihad melawan kemusyrikan akibat perdukunan. Membangun LAZISMU adalah jihad melawan kemiskinan. Dan untuk membangun itu semua, Muhammadiyah tak perlu bitingan kampanye berebut suara, tapi urunan, mobilisasi massa berbasis kepercayaan. Inilah politik tinggi, bukan low politics.
Jadi, apa masih kepikiran membuat amal usaha politik? Seperti mencari barang hilang di luar ruangan karena di dalam gelap, kata politisi Abu Nawas sambil ngakak. Mungkin kita sedang ada masalah atau juga sedang pura-pura tak tahu bahwa para aktivis Muhammadiyah sesungguhnya aktivis politik yang lebih cerdas, lebih sejati, lebih bening, dan lebih tinggi ketimbang aktivis parpol pemburu kekuasaan dan kursi—tanpa kata tapi.
Editor: Arif