Menjelang awal Ramadan 1446/2025, perbincangan tentang Kalender Islam Global Turki 1437/2016 atau Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) memperoleh perhatian masyarakat luas, khususnya para tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Pada hari Rabu 20 Syakban 1446/19 Februari 2025, Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LFPBNU) menyelenggarakan Webinar dengan tema “Mengapa Nahdlatul Ulama tidak menerapkan Kalender Hijriah Global”. Pada pertemuan ini menghadirkan dua narasumber yaitu Abd. Salam Nawawi dan Khafid. Abd. Salam menyampaikan catatan dari segi fikih dan Khafid menyampaikan catatan perspektif sains.
Untuk merespons catatan KHGT dari Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tersebut, penulis menggunakan tipologi pemikiran yang dikembangkan Abdullah Saeed, yaitu tekstual, semi-tekstual, dan kontekstual.
Menurut Abdullah Saeed, pemikiran tekstual lebih mengutamakan aspek bahasa dan kurang memerhatikan aspek historis. Baginya, makna Al-Qur’an bersifat tetap dan harus diterapkan secara universal tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau historis. Sementara itu, semi-tekstual berusaha mempertahankan makna literal Al-Qur’an dengan menggunakan istilah-istilah modern dan argumen rasional. Selanjutnya, kelompok kontekstual mendorong pemahaman Al-Qur’an dengan mempertimbangkan konteks politik, sosial, sejarah, budaya, dan ekonomi saat Al-Qur’an diturunkan, dipahami, dan diterapkan. Dengan kata lain “nas mengikuti realitas”. Klasifikasi ini membantu dalam memahami berbagai pendekatan dalam penafsiran nas baik al-Qur’an maupun as-Sunah dan penerapan ajaran Islam dalam konteks modern.
***
Sebagaimana diketahui, catatan LFPBNU yang dibacakan oleh Khafid memberi catatan tentang KHGT sebanyak 33 poin. Secara akademik, catatan ini perlu diapresisasi karena secara tidak langsung ikut memikirkan KHGT agar lebih baik dan bisa diterima semua pihak. Contoh konkretnya adalah catatan LFNU nomor 14 tentang konsep benua Amerika. Catatan ini penting dan sudah sering didiskusikan di internal pengguna KHGT karena akan memengaruhi dalam penentuan awal bulan kamariah, seperti kasus awal Ramadan 1447 H yang akan datang.
Tentu saja perbedaan pandangan adalah hal yang wajar tergantung pendekatan yang digunakan untuk menilai KHGT. Sepanjang pembacaan terhadap 33 catatan yang dikemukakan, intinya sama dengan argumentasi yang berkembang selama ini di lingkungan Nahdlatul Ulama, bahwa “rukyat” empirik termasuk kategori Thawabit (sesuatu yang tidak dapat diubah).
Dalam perjalanannya memang terjadi dinamika di internal Nahdlatul Ulama sebagaimana dikemukakan oleh Abd. Salam Nawawi. Awalnya hasil rukyat selalu diterima yang penting pihak pelapor siap disumpah. Akibatnya banyak laporan hasil rukyatul hilal dianggap tidak sesuai dengan perkembangan astronomi Islam, seperti kasus Cakung Jakarta Timur dan Nambangan Surabaya. Situasi ini menjadi bahan renungan dan kajian di internal Nahdlatul Ulama sehingga memunculkan konsep “imkanur rukyat” untuk menerima dan menolak hasil rukyat.
***
Penolakan LFPBNU terhadap KHGT bisa dimaklumi karena pola pikir yang dikembangkan masih bersifat “semi-tekstual”. Apapun konsep kalender Islam yang diusulkan jika tidak ada unsur rukyat empirik tidak akan diterima (Lihat Catatan LFNU Nomor 16, 21, 22, 23, 24, dan 28). Hal ini didasarkan hasil keputusan Munas Ulama Situbondo dan dimuat dalam Ahkamul Fuqaha nomor 342 yang menyatakan “Penetapan Pemerintah tentang awal Ramadan dan awal Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut Jumhurus Salaf bahwa tsubut awal Ramadan dan awal Syawal itu hanya birru’yah au itmamil tslatsina yauman”. Keputusan ini hingga saat ini masih berlaku sehingga secara organisatoris sulit adanya transformasi dalam memahami makna rukyat tekstual menuju rukyat kontekstual. Apalagi sudah menjadi keyakinan dan habitus di internal Nahdlatul Ulama.
Begitu pula catatan LFNU nomor 24 yang mempersoalkan konsep imkanur rukyat yang digunakan oleh KHGT sebagai parameter dalam memulai awal bulan kamariah sejak Muharam hingga Zulhijah. Bagi LFNU, imkanur rukyat masih bersifat dhanni sehingga perlu dilakukan verifikasi di lapangan. Pandangan LFNU ini nampak sekali bersifat tekstualis dalam memaknai konsep imkanur rukyat. Kerangka berpikir ini secara metodologis dapat dimaklumi karena menggunakan pendekatan “fikih klasik (turats)” yang menganggap imkanur rukyat masih bersifat dhanni dan memerlukan verifikasi di Lapangan.
***
Sementara itu, di era modern imkanur rukyat atau visibilitas hilal adalah masuk kategori hisab hakiki di atas ufuk dan kriterianya terus diperbaiki sesuai perkembangan sains dan teknlogi. Hal ini tergambar dalam buku yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI berjudul “Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah” halaman 9. Adapun negara yang menjadikan imkanur rukyat sebagai bagian hisab adalah Singapore, Turki, komunitas muslim di Amerika, dan komunitas muslim di Eropa dalam membuat Kalender Islam.
Catatan LFNU nomor 4 yang menyatakan bahwa Konsep KHGT tidak memakai imkan dengan semestinya dan dianggap mengabaikan rukyah yang sebenarnya. Bahkan dianggap tidak sesuai dengan pesan Rasulullah Saw, yang menyatakan “Janganlah kalian shaum sehingga kalian melihat hilal. Dan jangan berbuka sehingga kalian melihatnya (hilal). Apabila mendung, maka tetapkanlah baginya (H.R. Bukhari, No. 1906). Pandangan ini terlalu berlebihan dan mengindikasikan para tokoh Nahdlatul Ulama yang berada di Struktural LFPBNU menjadikan rukyat sebagai sebuah keyakinan yang tidak bisa digantikan dengan hisab.
Sikap ini berbeda dengan pemikiran Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha (Ulama NU) yang menganggap hisab bisa menjadi pengganti rukyat dalam penentuan awal bulan kamariah. Menurutnya, ketelitian dan keakuratan hasil hisab tidak diragukan lagi. Realitas ini dibuktikan setiap terjadi fenomena gerhana matahari dan bulan. Baginya, tidak ada salahnya jika NU menggunakan hisab dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal.
***
Di sisi lain, Ulil Abshar Abdalla (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dalam diskusi Nurcholish Madjid Society (NCMS) dengan tema Islam dan Isu-Isu Terakhir Salafisme, Hilal, dan Pemilu menyinggung persoalan KHGT. Menurut Ulil Absar, spirit kalender Islam global adalah bagus untuk mempersatukan umat. Namun ia kurang sependapat dengan gagasan kalender Islam global tersebut karena semangatnya penyeragaman atau homoginisasi. Penyatuan umat Islam tidak harus dengan penyeragaman. Ukhuwah Islamiyah tidak berarti homoginisasi umat.
Pandangan dan penolakan Ulil Abshar tentang Kalender Islam Global atau KHGT dapat dimaklumi karena pola pikir yang dikembangkan adalah koeksistensi. Menurutnya, pula dalam sejarah politik Islam penentuan awal bulan di tangan pemerintah bukan masyarakat. Bahkan Ulil Abshar dengan tegas menyatakan penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal bersifat politis karena melibatkan negara. Baginya, pasca reformasi cara yang digunakan negara sudah bagus merawat tradisi rukyat dan memberi ruang berbeda bagi pengguna hisab. Secara normatif pandangan ini bagus karena terkesan ingin memberi ruang yang sama bagi pengguna hisab dan rukyat.
Namun perlu disadari, dalam praktiknya prinsip koeksistensi yang digagas oleh Ulil Abshar seringkali terabaikan dan lebih didominasi aspek politis. Pada era ini, anjuran untuk menaati ulil amri sangat kuat dengan merujuk Q.S. An-Nisa’ ayat 59. Anjuran ini dapat dipahami karena yang sedang berkuasa dari kelompoknya.
***
Berbeda pada era sebelumnya Q.S. An-Nisa’ ayat 59 di atas tidak pernah didengungkan dalam berbagai pertemuan karena yang berkuasa bukan dari kelompoknya. Salah seorang pengurus LFPBNU juga sering terlibat memberi komentar yang kurang asertif ketika terjadi perbedaan sehingga menimbulkan kekurangnyamanan dalam berkomunikasi. Sikap semacam ini perlu menjadi perhatian bersama agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
Dalam konteks Kalender Islam Global atau KHGT, Ulil Abshar tidak menyadari bahwa kebersamaan atau keseragaman tidak selamanya bernilai negatif. Begitu pula keragaman tidak selamanya bernilai positif. Keseragaman atau keberagaman harus ditempatkan secara proporsional dan profesional.
Kehadiran Kalender Islam Global bukan semata-mata untuk penyeragaman tetapi yang lebih substantif adalah menghadirkan kalender Islam yang mapan sebagai pertanda kemajuan peradaban Islam ke depan. Sekaligus panduan bagi umat Islam yang berada di belahan bumi manapun dalam memulai dan mengakhiri Ramadan.
Bagi muslim yang berada di daerah minoritas kehadiran kalender Islam yang mapan sangat diperlukan. Selama ini muslim yang menjadi minoritas, negara hanya memberi libur satu hari. Jika awal Idul Fitri terjadi perbedaan, maka dalam praktiknya menyulitkan. Hal ini dikemukakan perwakilan komunitas muslim Eropa pada “The Preparation Meeting for International Crescent Observation” di Istanbul Turki 1434/2013. Untuk itu kehadiran Kalender Islam Global sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama muslim yang mengalami kesulitan. Sekaligus implementasi ajaran Islam untuk memberi rahmat bagi alam semesta.
***
Berdasarkan uraian di atas, dengan menggunakan tipologi yang dikembangkan Abdullah Saeed menunjukkan bahwa penolakan LFPBNU terhadap KHGT karena pola pikir yang dikembangkan masih bersifat Semi-Tekstual dan didominasi pemahaman fikih klasik (turats). Bahkan faktor politis juga masih sangat memengaruhi. Penolakan konsep imkanur rukyat yang digunakan KHGT karena imkanur rukyat dipahami sebagai sesuatu yang bersifat mungkin belum pasti.
Namun dibalik penolakannya hingga hari ini, Nahdlatul Ulama yang sudah melakukan observasi hampir satu abad tidak mampu menghadirkan kriteria imkanur rukyat yang autentik. Tentu hal ini menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan rukyatul hilal di negeri ini. Pada catatan LFNU nomor 30 yang menyatakan “sangat disayangkan, bahwasannya sampai hari ini belum ada negara yang secara resmi memberlakukan KHGT”. Pernyataan ini kurang didukung data yang memadai karena Turki pasca pertemuan tahun 1437/2016 langsung mengadopsi dan mengimplementasikan Kalender Islam Global alias KHGT.
Akhirnya, diucapkan terima kasih kepada Tim Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang telah memberi catatan yang sangat berguna untuk bahan diskusi bersama di masa yang akan datang.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.
Editor: Soleh
Tipikal NU selalu merasa ingin tampil “beda”.
sy yakin suatu ketika akan ketemu, ini hanya soal waktu. namun hrs terus ada yg mendeclair, menseponsori, mengusahakan dan tanpa kenal lelah dan putus asa untuk menyatukan. tinggal butuh momentum dan keajaiban.
ketika blm berkuasa, berfatwa: keputusan pemerintah tdk wajib diikuti.
ketika berkuasa, berfatwa: wajib ikut ulil amri
ketika blm berkuasa, berfatwa: keputusan pemerintah tdk wajib diikuti.
ketika berkuasa, berfatwa: wajib ikut ulil amri
baik NU maupun muhammadiyah kelihatannya hampir sama.
Jaman dl, NU yg kadang beda dg pemerintah
skrg , muhammadiyah yg kadang beda dg pemerintah