Kalender Uhadi—Upaya penyatuan kalender Islam telah lama dilakukan baik tingkat nasional maupun internasional. Hampir setengah abad (1393-1441 H/1973-2020 M) dan tidak kurang 25 (dua puluh lima) pertemuan tingkat dunia diselenggarakan. Pertemuan Turki 1437 H/2016 M merupakan pertemuan bersejarah yang menghasilkan keputusan tentang penggunaan kalender Islam unifikatif (satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia).
Banyak pihak berharap keputusan Turki ini segera diimplementasikan untuk mengakhiri perdebatan seputar hisab dan rukyat. Namun hingga kini implementasi dan diskusi hasil keputusan tersebut masih kurang memperoleh perhatian kecuali Malaysia dan Indonesia, khususnya Muhammadiyah.
Malaysia menganggap konsep “Kalender Uhadi” (kalender Islam unifikatif) dapat diterima sebagai alternatif mewujudkan penyatuan kalender Islam. Hal ini tertuang dalam salah satu resolusi Muzakarah Falak Peringkat Kebangsaan Tahun 1441/2019 yang diselenggarakan pada tanggal 17-19 Muharam 1441 H/ 17-19 September 2019 bertempat di Hotel Tamu & Suites Kuala Lumpur.
Sementara itu Muhammadiyah sudah beberapa kali mengkaji bahkan mengundang berbagai ormas Islam dan astronom, seperti Nahdlatul Ulama, PERSIS, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan Institute Teknologi Bandung. Mayoritas yang hadir merespons positif akan kehadiran kalender Islam unifikatif. Hingga kini yang langsung mengimplementasikan hasil keputusan Turki 1437 H/2016 M dalam sistem kalender Islam yang mapan adalah Turki. Hal ini bisa dimaklumi disebabkan Turki memiliki sejarah panjang tentang penggunaan kalender Islam.
Pada era dinasti Usmaniyyah kalender Islam dijadikan kalender resmi negara untuk segala urusan baik persoalan administrasi maupun keagamaan. Dalam perjalanannya kriteria kalender Islam di Turki mengalami perkembangan dari masa ke masa dan terakhir yang digunakan adalah kriteria hasil keputusan Istanbul Turki 1437 H/2016 M.
Dalam konteks Indonesia berdasarkan hasil hisab mulai tahun 2022 Masehi akan muncul kembali perbedaan memulai dan mengakhiri Ramadan serta awal Zulhijah. Situasi ini tentu memerlukan solusi dan pemikiran yang mendalam agar semua pihak bisa berkomunikasi dan mencari jalan keluar terbaik demi kemaslahatan bersama.
Untuk itu ada beberapa tawaran yang diusulkan yaitu penggunaan Kalender Uhadi (Kalender Islam unifikatif) atau penggunaan Kalender Tawlifi (Kalender Islam Sintesa).
Kalender Uhadi: Model Ideal Penyatuan
Pada tanggal 21-23 Syakban 1437/28-30 Mei 2016 diselenggarakan Mu’tamar Tawhid at-Taqwim al-Hijry ad-Dawly oleh Diyanet Turki dan dihadiri sekitar 150 peserta berasal dari 60 negara. Pada pertemuan ini diputuskan penggunaan kalender Uhadi (Kalender Islam Unifikatif) melalui pemungutan suara yang diikuti oleh 127 peserta yang memiliki hak suara.
Opsi yang diajukan untuk dipilih adalah salah satu dari dua bentuk kalender Islam, yaitu kalender Islam tunggal dan kalender Islam bizonal. Hasilnya adalah 80 peserta memilih kalender Islam tunggal, 27 peserta memilih kalender Islam bizonal, 14 suara abstain, dan 6 suara rusak (Baharrudin Zainal dan Syamsul Anwar, 2016).
Dalam keputusan tersebut dirumuskan kaidah kalender Uhadi yang menyebutkan bahwa seluruh dunia dinyatakan memulai bulan baru apabila telah terjadi visibilitas hilal (imkanur rukyat) di belahan bumi manapun di muka bumi sebelum pukul 12:00 malam (pukul 00:00 GMT/07:00 WIB), dengan ketentuan (1) sudut elongasi setelah matahari terbenam minimal 8 derajat dan (2) ketinggian hilal di atas ufuk setelah matahari terbenam minimal 5 derajat.
Selanjutnya terdapat pengecualian, yaitu apabila visibilitas hilal pertama di muka bumi terjadi melewati pukul 12:00 malam (00:00 GMT/07:00 WIB) maka bulan baru tetap dimulai apabila terpenuhi dua syarat yaitu (1) visibilitas hilal memenuhi ketinggian hilal 5 derajat dan elongasi 8 derajat serta telah terjadi konjungsi sebelum waktu fajar di New Zealand dan (2) visibilitas hilal itu terjadi di Daratan Amerika bukan di Lautan (Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, 2019).
Bagi Indonesia penerimaan terhadap hasil Muktamar di atas merupakan langkah strategis dan jalan terbaik sekaligus kompromi tanpa memenangkan atau mengalahkan satu pihak dengan pihak yang lain. Semua pihak berdiri sama tinggi untuk melangkah dan berubah bersama demi terwujudnya penyatuan kalender Islam di Indonesia. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Kementerian Agama, PERSIS dan lain-lain siap melepaskan kriteria yang selama ini diyakini dan dipedomani menuju kriteria Istanbul Turki 1437/2016.
Penerimaan ini juga penting bagi Indonesia sebagai bangsa besar yang mayoritas penduduknya muslim bersama Malaysia menjadi pelopor dan mempromosikan bersama akan pentinnya kalender Islam unifikatif.
Kalender Tawlifi: Langkah Awal Menuju Penyatuan
Penerimaan kalender Islam unifikatif merupakan implementasi “Islam Universal” dan model ideal bagi umat Islam Indonesia. Namun jika model ini dirasa masih menyisakan persoalan, maka Kalender Tawlifi (Kalender Islam Sintesa) dapat menjadi pilihan sekaligus solusi awal.
Kalender Tawlifimerupakan sistem kalender Islam yang dibangun berdasarkan sistem kalender Muhammadiyah dan data hasil rukyat yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama. Sistem yang dimaksud adalah cara memberlakukan bulan-bulan kamariah sama sejak Muharam hingga Zulhijah sebagaimana diisyaratkan Q.S. At-Taubah ayat 36.
Sementara itu data hasil rukyatul hilal yang dimiliki NU digunakan untuk membangun kriteria yang dianggap sesuai pesan nabi saw. Hal ini dilakukan, selama ini yang “punya gawe” dalam persoalan rukyat adalah NU, sehingga wajar pengalaman di Lapangan diadopsi untuk dijadikan kriteria bersama.
Dengan kata lain untuk membangun kriteria “percayakan pada perukyat” (meminjam istilah Mahasena Putra). Dalam kasus ini negara menjadi fasilitator, bukan diposisikan sebagai otoritas tunggal (Thomas Djamaluddin, 2011) sehingga yang akan terbangun adalah “otoritas kolektif”. Kekuatan otoritas tunggal di Negara demokrasi seperti Indonesia bersifat “Minimal Hegemony” sehingga kurang efektif.
Persoalan kalender Islam sesungguhnya masuk ranah fikih yang melibatkan proses ijtihad. Masing-masing pihak memproduksi konsep yang diyakini dan dipedomani berdasarkan “kemampuan” olah pikir terhadap nas secara individual maupun kolegial, sehingga memungkinkan adanya perubahan sesuai tuntutan zaman yang mengitarinya.
Realitas ini dapat dirujuk dalam berbagai ayat al-Qur’an. Misalnya Q.S. Az-Zumar ayat 17-18 memberi inspirasi agar setiap individu muslim memiliki pengetahuan yang luas atau mendalam, cara pandang terbuka, dan mau menerima sesuatu yang lebih baik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil (Hanna E. Kassis, 1983 dan Dawam Rahardjo, 2002). Sikap ini oleh At-Tabari (w. 310 H/923 M) diistilahkan “Ulul Uqul wal Hajja”.
Dalam diskursus mengenai penyatuan kalender Islam sangat diperlukan wawasan (insight) yang luas, pengetahuan yang mendalam, dan keterbukaan dalam menerima pandangan dari luar, sehingga akan memudahkan proses integrasi atau sintesa dalam perumusan kalender Islam pemersatu. Kendala yang dialami selama ini salah satunya adalah cara berpikir. Masing-masing pihak ada kelompok yang mendukung status quo dan kelompok lainnya menginginkan adanya perubahan dan bersikap progresif.
Kini saatnya umat Islam bersepakat untuk bersama (Ahmad Izzuddin, 2012) menuju peradaban yang mencerahkan dengan “Merukyatkan Muhammadiyah dan Menghisabkan NU” melalui Kalender Tawlifi. Kehadirannya sekaligus menjawab kegelisahan K.H. Salahuddin Wahid dalam artikelnya yang berjudul “Bisakah Kalender Islam Disatukan?” (Republika, 2006).
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.