Pada tahun 2017, postingan di Instagram Felix Y Siauw didebat oleh Kalis Mardiasih. Saat itu, Koh Felix mengunggah gambar dengan caption tentang aksi bela Quran. Aksi bela Quran yang dimaksud Koh Felix adalah rangkaian Aksi Bela Islam yang dilakukan hingga berjilid-jilid. Di Jakarta dan di beberapa kota lain.
Intinya, Koh Felix, di caption itu menulis bahwa Islam tengah dalam kondisi menjadi bulan-bulanan bagi para pembencinya. Tak jelas siapa yang dimaksud sebagai pembenci Islam. Namun, narasi yang berkembang dalam aksi-aksi itu adalah perlawanan terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dituduh menistakan Alquran.
Kalis kemudian mendebat narasi Koh Felix. Kalis, anak muda kelahiran Blora, 16 Februari 1992 itu menyebut bahwa musuh Islam adalah hasutan-hasutan kebencian terhadap kelompok lain. Kalis juga menyayangkan aksi yang berjilid-jilid itu. Menurutnya, aksi itu justru memperkeruh suasana kebangsaan karena menggaungkan narasi-narasi kebencian dan perpecahan.
Tak disangka, balasan Kalis atau tulisan Koh Felix di media sosial viral. Nama Kalis kemudian menjadi perbincangan luas. Koh Felix, yang selama ini diprofilkan sebagai ustadz, ulama, dan dai yang memiliki jutaan followers baik di dunia nyata maupun di dunia nyata, ternyata bisa juga dibantah dan tidak selalu benar. Suara-suara yang sejak jauh-jauh hari telah tidak sepakat dengan beberapa pendapat Koh Felix merasa terwakili oleh Kalis.
Tak hanya sekali itu, Kalis beberapa kali mengomentari apa yang dilakukan dan diucapkan oleh Koh Felix. Kalis menjadi viral. Meskipun Koh Felix telah jauh lebih dulu viral. Lalu, siapa sebenarnya Kalis Mardiasih?
Biografi Kalis Mardiasih
Kalis Mardiasih berasal dari Blora. Masa kecilnya ia habiskan di kampung halaman. Setelah lulus dari SMA N 1 Blora, ia ‘hijrah’ ke Solo. Kalis melanjutkan kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo.
Sejak SMA, Kalis telah terpapar dengan banyak bacaan. Saat itu, di Masjid Agung Blora, ada perpustakaan yang buku-bukunya disuplai oleh mahasiswa dari berbagai kota. Kalis banyak membaca buku di tempat tersebut.
Ketika kuliah, dengan bekal bacaan yang luas, ia mulai menulis. Tulisannya dimuat di beberapa koran lokal. Sejak saat itu pula, ia mulai tertarik dengan isu-isu kesetaraan gender.
Nama Kalis semakin dikenal ketika banyak menulis melalui Mojok.co. Naiknya popularitas Mojok.co berjalan beriringan dengan popularitas Kalis.
Pada tahun 2018, buku pertamanya terbit. Buku itu berjudul Berislam Seperti Kanak-Kanak. Di tahun berikutnya, Kalis menerbitkan buku Muslimah Yang Diperdebatkan. Pada tahun yang sama, buku ketiganya, Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar! terbit. Dua buku terakhir ini diterbitkan oleh penerbit Buku Mojok.
Di tahun selanjutnya, Kalis kembali menerbitkan buku berjudul Sister Fillah, You’ll Never Be Alone.
Selain sebagai penulis, Kalis aktif berkeliling Indonesia untuk memberikan kelas-kelas menulis dan kelas kesetaraan gender. Selain itu, kader Nahdlatul Ulama ini juga aktif di Jaringan Gusdurian. Di Jogja, Kalis juga membuka toko buku bernama Akal Buku.
Tak hanya di Indonesia, perempuan pengagum Nur Rofiah ini beberapa kali mengikuti kursus singkat tentang kesetaraan gender di luar negeri.
Terlepas dari semua kesibukan itu, Kalis adalah aktivis media sosial. Seolah tak mau kalah dengan ‘ustadz-ustadz medsos’ yang sering ia kritik. Di media sosial, cuitan-cuitannya selalu ditunggu oleh ratusan ribu followers-nya. Gagasan-gagasan utamanya tentang kesetaraan gender dan pembelaan terhadap perempuan ia sampaikan melalui media sosial.
Menjadi Seorang Feminis
Isu kesetaraan gender bukan isu yang jauh. Ia ada di sekitar kita. Dialami oleh tetangga-tetangga kita. Bahkan mungkin juga keluarga kita. Hal itulah yang dirasakan oleh Kalis di kampung halamannya, Blora.
Di Blora, ia melihat banyak perempuan-perempuan yang tidak memiliki keterampilan harus berjuang seorang diri untuk menghidupi anak-anaknya. Di lingkungan seperti itu, laki-laki yang miskin cenderung lebih bisa bertahan hidup daripada perempuan yang miskin. Karena laki-laki diajarkan dengan banyak keterampilan sejak muda. Hal ini tidak berlaku bagi perempuan.
Padahal, dalam praktiknya, banyak janda-janda yang berjuang tanpa kehadiran laki-laki. Maka, menarik perempuan dari ruang publik dalam rangka ‘menjaganya dari fitnah’ bukanlah solusi yang nyata.
Berangkat dari keresahan itu, Kalis berkomitmen penuh untuk mendorong kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Ia ingin setiap perempuan agar ‘hijrah’ menjadi berdaya dan mandiri.
Hijrah yang dimaksud Kalis adalah hijrah sebagai perubahan sosial yang menciptakan masyarakat yang adil. Hijrah menuju Islam yang mampu berdialog secara mendalam dan terbuka dengan nilai-nilai modernitas, demokrasi, pluralisme, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia.
Kalis juga menjadi kritikus tajam terhadap fenomena islamisme populer yang berkembang belakangan, khususnya tentang tren hijrah. Dalam banyak tulisannya, ia berhasil menguliti habis-habisan fenomena hijrah yang digrandungi oleh sebagian besar anak muda muslim urban.
Ia menyebut bahwa gerakan hijrah yang marak belakangan telah kehilangan makna substansinya. Hijrah, imbuhnya, hanya dipandang sebagai peralihan simbolik semata. Hijrah hanya dimaknai sebagai ekspresi perubahan pakaian dan gaya hidup.
“Hijrah bagiku bukan sebuah ekspresi segolongan orang atau anak muda yang tiba-tiba mengubah penampilan atau mengekspresikan dorongan beragama yang kuat, termasuk melalui festival-festival solidaritas,” ujarnya.
*Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes dan INFID dalam program Kampanye Narasi Islam Moderat kepada Generasi Milenial.