Pendidikan tinggi Indonesia, sekurangnya dalam dua tahun ini, mempraktikkan sebuah paradigma baru, yaitu Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) atau singkatnya disebut Kampus Merdeka.
Di antara banyak hal, program ini ditandai dua hal penting, yaitu pemberian kewenangan kepada perguruan tinggi untuk mendirikan program studi baru dan kebebasan mahasiswa untuk belajar di luar program studi, bahkan di luar kampusnya.
Dua hal di atas disatukan oleh satu kesamaan, yakni upaya untuk mencari kesesuaian pendidikan tinggi dengan kebutuhan dalam dunia kerja atau industri. Sebagai paradigma baru, Kampus Merdeka dianggap mampu memberikan harapan baru. Program ini diyakini sebagai breakthrough atas problem kesinambungan dunia pendidikan dan dunia kerja atau industri yang selalu menjadi perbicangan dari masa ke masa.
Kenapa Banyak Sarjana yang Menganggur?
Pendidikan tinggi seringkali dituding sebagai pencipta pengganguran terdidik. Atau bahwa perguruan tinggi sering hanya dianggap sebagai produsen gelar, penjual ijazah, atau sejumlah label satire yang lain.
Jika merujuk kepada angka pengangguran di kalangan sarjana, bisa saja tudingan itu memiliki dasar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2021 jumlah pengangguran dari kalangan sarjana mencapai hampir 1 juta orang.
Angka ini bervariasi dari tahun ke tahun, tetapi secara umum pada kisaran itu. Barangkali dari fakta semacam inilah lalu pandangan negatif tentang hubungan perguruan tinggi dan dunia kerja muncul.
Penelitian Titik Handayani (2015) mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran di kalangan sarjana, di antaranya adalah: kesempatan kerja yang terbatas, kualifikasi pekerjaan yang tidak sesuai, dan minimnya kemandirian pencari kerja untuk berwirausaha.
Di antara faktor-faktor tersebut, satu faktor lain yang sering dianggap menyumbang lahirnya pengangguran terdidik adalah tidak adanya link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja atau industri.
Kehadiran Kampus Merdeka Menjadi Solusi, Benarkah?
Dengan fakta-fakta di atas, kehadiran Kampus Merdeka diklaim sebagai solusi atas problem ini. Dalam beberapa hal, pemberian kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studinya, dimaksudkan sebagai pemberian ruang yang lebih luas untuk pengembangan diri.
Tidak bisa dipungkiri, seringkali mahasiswa belajar di program studi tertentu tidak sepenuhnya sejalan dengan minat; karena faktanya, proses pemilihan program studi bisa terjadi karena banyak faktor.
Jika seorang mahasiswa belajar di program studi yang tidak sesuai dengan minatnya, sangat mungkin gairah belajarnya menjadi berkurang atau bahkan turun sama sekali, yang pada gilirannya akan memberikan persoalan bagi kesiapan memasuki dunia kerja.
Namun demikian, klaim Kampus Merdeka sebagai solusi persoalan ini, masih menunggu waktu untuk menyatakannya berhasil atau tidak. Apalagi, klaim-klaim keunggulan Kampus Merdeka belumlah terbukti. Perlu juga disadari bahwa ada efek fundamental yang dalam jangka panjang akan memberikan pengaruh pada arah pendidikan tinggi Indonesia di masa mendatang.
Efek Fundamental Kampus Merdeka
Pertama, pada satu sisi, Kampus Merdeka merupakan bentuk instrumentalisasi pendidikan. Memikirkan tentang hubungan pendidikan dan dunia kerja tentu sangat penting.
Akan tetapi, ketika pendidikan tinggi semata-mata dianggap sebagai pencetak tenaga-tenaga yang siap pakai dalam dunia industri, tanpa disadari pendidikan akan hanya menjadi subordinat dari industrialisasi. Lebih mendasar dari itu, pendidikan bahkan akan kehilangan ruh dan makna fundamentalnya.
Dalam filsafat pendidikan, tujuan pendidikan dirumuskan secara berbeda-beda oleh berbagai aliran. Dalam pandangan aliran Naturalis, misalnya, tujuan pendidikan dirumuskan sebagai usaha perfecting of man’s highest powers via study of literature, philosophy, and classics (Maheshwari, 2013). Yakni, penyempurnaan kekuatan tertinggi manusia dengan mempelajari sastra, filsafat, dan disiplin karya-karya mapan dalam berbagai bidang.
Tujuan seperti ini menyiratkan aspek ketrampilan berfikir sebagai tujuan dasar pendidikan. Bagi kaum Naturalis, pendidikan berlaku pada dua dimensi, yaitu mind (pemikiran), body (tubuh). Sementara pada level mind pendidikan memupuk ketrampilan berfikir dan pengembangan sikap. Pada level body, pendidikan membekali ketrampilan praktis.
Ini menyiratkan adanya hubungan yang bersifat komplemeter dan komprehensif antara aspek fisik-material dan pemikiran-spiritual sebagai tujuan pendidikan. Maknanya, dalam kasus Kampus Merdeka, jika pendidikan disiapkan semata-mata untuk kepentingan pragmatis, pemenuhan dunia kerja, maka sesungguhnya pendidikan hanya menyapa dimensi fisik dan material.
Lebih dari itu, jika pendidikan menghamba kepada kebutuhan pasar semata-mata, sesungguhnya pendidikan telah kehilangan hakikatnya sebagai proses penyempurnaan kekuatan tertinggi manusia sebagaimana diyakini oleh aliran naturalis di atas.
Cendekiawan Muslim Indonesia, almarhum Nurcholish Madjid pernah berbicara tentang dampak industrialisasi pada masyarakat. Menurutnya, industrialisasi bisa menyebabkan dehumanisasi.
Di antara nilai-nilai utama yang berkembang dalam masyarakat industri adalah birokrasi, kepastian (keteraturan dan regularitas), dan intrumentalisme. Dehumanisasi yang diakibatkan industrialisasi terjadi, manakala ketiga hal di atas menjadi ukuran dan mesin penggerak kehidupan.
***
Kedua, Kampus Merdeka melahirkan pragmatisme ekstrem. Kebebasan mendirikan program-program studi baru telah direspon oleh perguruan tinggi dengan mendirikan aneka program studi yang berorientasi pada ketrampilan pragmatis.
Akibatnya, banyak perguruan tinggi yang berlomba-lomba mendirikan program-program vokasional, betapapun berada dalam rumpun akademik. Akibatnya, pembelajaran ilmu-ilmu dasar atau yang sering juga dikenal dengan istilah ilmu-ilmu murni menjadi terabaikan.
Sejarah, filsafat, bahasa, bahkan studi agama-agama; yang terlihat sebagai bidang kajian abstrak dan tidak menjanjikan lapangan kerja secara gamblang, semakin terpinggirkan.
Sebagai orang yang belajar ilmu-ilmu agama dan filsafat dalam karir akademik, saya seringkali mendengar gugatan dari kalangan tertentu tentang apa perlunya belajar agama dan filsafat
Pertanyaan itu lahir karena pola pikir instrumentalis sangat dominan. Sehingga, selalu melihat bidang kajian abstrak sebagai tidak penting. Karena secara nyata tidak menjanjikan pekerjaan.
***
Dalam kaitan ini, saya juga menyaksikan adanya distorsi makna dan fungsi pendidikan tinggi. Misalnya, sebagai konsekwensi dari pembolehan belajar secara merdeka tadi, perguruan tinggi berlomba-lomba mendirikan program-program pendidikan keterampilan singkat yang lazim dikenal center of excellence.
Tak hanya bahwa program-program itu bersifat pragmatis dan tidak berbasis nilai jangka panjang, tetapi juga berpeluang menggiring pendidikan tinggi Indonesia semata-mata sebagai vokasi. Padahal, sebuah universitas harus mengandung kompleks berbagai disiplin ilmu, orientasi ilmiah, dan aneka ragam proses, dan tidak boleh berdimensi tunggal.
Dalamgelombang inilah, lalu konsep seperti center of excellence, mengalami reduksi makna semata-mata sebagai pusat-pusat pendidikan keterampilan.
Cambridge Dictionary mendefinisikan center of excellence sebagai a place or an organization that is known for doing a particular activity very well, and that is involved in new developments, new ways of working, etc.
Meskipun definisi tidak merujuk CoE semata-mata sebagai ketrampilan pragmatis. Bahkan secara universal menyebut CoE mengandung aspek new development dan new ways of working. Maknanya, pengembangan pemikiran melalui riset-riset akademik, sebenarnya juga merupakan bagian dari CoE.
Dalam dunia politik, kumpulan para think-tank atau organisasi yang bekerja untuk menghasilkan gagasan dan mempengaruhi kebijakan publik, juga sangat layak disebut dengan center of excellence.
***
Ketiga, persoalan-persoalan substantif di atas masih harus ditambah dengan problem-problem teknis yang tak kalah rumit. Kerumitan persoalan administratif menjadikan sebagian dosen yang terlibat dalam Kampus Merdeka semakin pesimis dengan masa depan program ini.
Bahkan lebih mendasar dari itu adalah tumbuhnya kesan bahwa program ini lahir dari pemikiran yang tidak matang, tergesa-gesa, dan minus kecermatan.
Sebagai salah satu dosen pembina dalam program Kampus Merdeka ini, saya merasakan secara langsung tidak adanya standar administrasi yang terukur. Sebuah prosedur administratif begitu mudah berubah pada saat program sedang berjalan
Bahkan dengan mudahnya peraturan-peraturan baru datang dan segera berlaku secara cepat, pada saat para pelaksana program sudah menjalankan kegiatan berdasarkan standar peraturan terdahulu. Maka jangankan berfikir tentang pengembangan substansi, sementara persoalan-persoalan teknis saja tidak pernah ada jalan keluar yang terstandar. Sekali lagi, ini menjukkan bahwa Kampus Merdeka sebenarnya sebuah program prematur yang dipaksakan.
Melihat apa yang telah berlangsung, saya mengibaratkan program ini laksana film harian yang terbebani oleh target kejar tayang di atas prinsip asal beda. Maka, jika tidak dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan cermat, bukan kemerdekaan belajar, berpikir dan berkreasi yang akan muncul, melainkan belenggu-belenggu pemikiran sebagai akibat dari kecondongan pada pemahaman pendidikan sebagai instrumen pencetak tenaga kerja dalam industri tadi, di satu sisi; dan memasung kemerdekaan pengembangan ilmu-ilmu dasar dan murni, di sisi lain.
Alih-alih memunculkan harapan baru, Kampus Merdeka sampai saat ini sebenarnya masih sebatas hembusan angin surga.
Editor: Yahya FR