Perspektif

Kapan Sebenarnya “Hari Kasih Sayang” dalam Islam?

3 Mins read

Kapankah sebenarnya hari kasih sayang? Jika saya perlu merayakan ‘hari kasih sayang’, saya akan selalu kembali kepada ‘Futuh Makkah’ atau ‘Fathu Makkah’, hari di mana Muhammad Rasulullah menaklukkan kota yang pernah terus-menerus berusaha merendahkan harkat dan martabat kemanusiaanya—bahkan mengusirnya.

Ketika itu, 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah, saat pada akhirnya Rasulullah berhasil membangun kekuatan Islam yang sanggup membungkam dan menaklukkan arogansi pasukan Quraisy yang berpusat di Makkah.

Tak terbayangkan sebelumnya oleh kaum Quraisy bahwa ‘Muhammad’ yang mereka benci, mereka anggap gila, dan mereka sebut pendusta akan menjadi pemimpin besar yang sanggup merebut kota itu dengan kemenangan yang gilang-gemilang. Al-Quran mengabadikan momen ini sebagai ‘fathan mubina’, kemenangan yang nyata (QS Al-Fath: 1).

Dalam peristiwa itu, Muhammad Rasulullah sebenarnya bisa melakukan ‘balas dendam’ paling menyakitkan kepada para petinggi Quraisy dan penduduk kota Makkah. Tetapi Baginda yang mulia memilih untuk tidak melakukannya.

Nabi Muhammad SAW memilih untuk merayakan kemenangan besar itu dengan kasih sayang: Ribuan tawanan diberikan pengampunan masal, masyarakat Makkah dijamin keselamatannya, dan berbagai harta benda serta pampasan perang dibagikan!

Itulah momen yang pernah dicontohkan Rasulullah sebagai ‘hari kasih sayang’. Momen di mana (umat) Islam perlu menunjukkan keluhuran akhlak dan kelembutan kasih agama ini kepada seluruh alam. Bagaimana cara merayakannya?

Baginda Rasul memberi tahu kita melalui pidatonya di hadapan para tawanan di hari kemenangan itu, “Hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antum thulaqa…”. Hari ini bukan hari pembantaian, melainkah hari kasih sayang, dan kalian semua dimaafkan (serta merdeka) untuk kembali kepada keluarga masing-masing.

Ada tiga pelajaran yang bisa kita petik dari pidato tersebut. Pertama, hari kasih sayang yang diajarkan Sang Nabi meminta kita untuk tidak jumawa dan sewenang-wenang saat menjadi ‘pemenang’, saat menjadi ‘mayoritas’. Rasulullah mengerti betul bagaimana sakitnya dihinakan, dilecehkan, dan ditindas ketika menjadi ‘minoritas’. Maka beliau tidak ingin melakukan hal yang sama ketika pada saatnya memegang kekuasaan atas kota Makkah.

Baca Juga  Muhammadiyah itu Ber-Ittiba', Bukan Ber-Taqlid!

Saat ini, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, 87.17% dari total populasi penduduk (menurut data BPS, 2019). Mudah-mudahan kita semua bisa meneladani sikap Rasulullah yang tidak sewenang-wenang terhadap kaum minoritas—menghormati serta melindungi hak-hak mereka.

Di seluruh dunia, umat Islam bukan pemeluk agama mayoritas. Berdasarkan data The World Factbook (2019), jumlahnya hanya 1,9 miliar jiwa atau sekitar 24.4% dari total penduduk dunia, itu pun termasuk 15-20% penganut Syiah dan 1% Ahmadiyah di dalamnya.

Tidak mengherankan jika seringkali umat Muslim mendapatkan perlakuan dan persepsi yang tidak adil—sesuatu yang sangat tidak kita sukai dan tidak kita inginkan. Kelak, ketika Islam menjadi mayoritas, diramalkan akan terjadi tahun 2070, mudah-mudahan umat Islam di seluruh dunia bisa menjadi umat yang meneladani sikap Rasulullah, yang adil serta melindungi minoritas di sekelilingnya.

Kedua, hari kasih sayang dalam Islam juga merupakan monumen pemaafan. Pada saat ‘Fathu Makkah’, mendengarkan pidato Baginda Rasul, banyak di antara para sahabat yang terkaget-kaget mengapa Nabi Muhammad SAW justru mengampuni warga Makkah dan membebaskan tawanan—bahkan memberi mereka bagian dari harta pampasan perang?

Inilah kasih sayang yang sesungguhnya, kata Sang Nabi. Waktu itu Rasulullah memberi pilihan kepada para sahabat untuk memilih harta atau cintanya? Tentu saja, para sahabat memilih cinta Sang Nabi yang tak sebanding dengan harta benda apapun—bahkan dengan langit dan bumi sekalipun.

Mari kita resapi sekali lagi isi pidato Baginda Rasul di hadapan para tawanan Makkah waktu itu: “…kalian dimaafkan dan dibebaskan untuk kembali kepada keluarga kalian masing-masing.” Demikianlah, tak tertolak, memaafkan pada saat kita bisa membalas perbuatan buruk orang lain adalah bukti kasih sayang sesungguhnya.

Baca Juga  Bisakah Ramadhan Menyelamatkan Indonesia?

Ketiga, hari kasih sayang dalam Islam juga merupakan momen untuk ‘kembali kepada keluarga masing-masing’. Rasulullah mengerti betul bahwa kebahagiaan sejati seorang manusia ada dalam kasih sayang dan kehangatan keluarga.

Bayangkanlah wajah para tawanan perang yang dimaafkan dan diizinkan untuk kembali kepada keluarga masing-masing. Apa yang mereka rasakan ketika pada akhirnya kembali berkumpul dengan anak-anak dan istri mereka? Memeluk mereka kembali? Tertawa bahagia kembali? Seburuk apapun seseorang, sekelam apapun nasib yang dijalani seseorang, keluarga adalah tempat pulang untuk kembali mendekap kebahagiaan dan kelembutan kasih sayang.

***

Hari ini, 14 Februari, hampir di seluruh dunia orang-orang merayakan Hari Valentine, yang konon merupakan ‘hari kasih sayang’. Mereka bertukar bunga dan cokelat untuk menunjukkan rasa cinta kepada kekasih masing-masing.

Jika dibandingkan dengan ‘Fathu Makkah’, bagi saya, tentu saja ‘Valentine’s Day’ bukan bandingan yang setara. Yang pertama menginspirasi kita untuk merayakan kasih sayang yang meliputi seluruh aspek kemanusiaan, sementara yang kedua hanya tentang merayakan cinta dalam pengertian yang terbatas dan barangkali terlalu sederhana.

Tetapi kita tidak lantas berhak mengolok-olok, mengafir-kafirkan, dan merendahkan mereka yang ber-‘valentine’, kan? Barangkali mereka belum tahu, atau barangkali mereka tahu tetapi memiliki alasan lainnya untuk tetap merayakannya, sementara kita tidak pernah diajarkan untuk sombong dengan pengetahuan yang kita miliki.

Di hari di mana industri mendorong semua orang untuk merayakan hari kasih sayang agar produk dan jasa yang mereka tawarkan laku terjual, saya memilih untuk tidak larut dan tenggelam dalam gelombang itu. Saya memilih untuk berefleksi tentang ‘hari kasih sayang’ sebenarnya yang saya pahami, ‘hari kasih sayang’ yang barangkali belum banyak orang tahu atau sadari.

Baca Juga  Berdamai Dengan Covid19?

Akhirnya, jika saya perlu merayakan ‘hari kasih sayang’, saya akan selalu kembali kepada ‘Futuh Makkah’. Saya akan selalu kembali ke hari di mana Muhammad Rasulullah mengajarkan makna kasih sayang kepada seluruh umat manusia.

Karenanya, jika 14 Februari tiba, meski seluruh dunia menyebutnya sebagai hari ‘kasih sayang’ sambil merayakannya dengan pesta-pesta, cokelat atau bunga, saya akan selalu melewatkannya… dan hanya melewatkannya.

Semoga kita terbebas dari benci dan caci maki. Apapun bentuknya. Kapanpun momennya.

Tabik!

FAHD PAHDEPIE
Penulis, Bakal Calon Walikota Tangerang Selatan 2020-2024

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds