Media massa seperti media cetak, radio, dan televisi, serta media online diyakini mampu membentuk paham dan perilaku sesuai keinginan penguasa media massa. Kapitalisasi media massa membawa kemelut terhadap informasi yang semestinya dapat dipercaya, menjadi patut dipertanyakan, terutama dengan kualitas acara televisi terkini. Menonton televisi terbukti membawa banyak sekali dampak negatif, karena kapitalisasi media.
Kapitalisasi media massa telah membuat perbedaan kelas dalam masyarakat, yang nantinya akan menjadi clash, yaitu pertentangan kelas. Seperti yang terjadi di beberapa negara yang kemudian menjadi negara sosialis. Hal ini perlu kita kawal bersama sebagai wujud nasionalisme kita terhadap negeri ini.
Media televisi kini telah terongrong oleh kapitalisasi media. Pemilik modal bebas melakukan posting/tayangan tanpa mempedulikan etika bermedia demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Terkadang melalui media juga penguasa berusaha menggapai kepentingan tertentu, seperti propaganda politik maupun budaya.
Oleh karena itu, himbauan pada masyarakat agar dapat partisipasif dalam memperhatikan fenomena kapitalisasi media perlu digencarkan. Apabila masyarakat telah mawas diri, kita mampu mencegah kemungkinan dampak-dampak yang merugikan.
Menurut Aryanty (2010), banyak acara-acara di stasiun televisi yang kurang berkualitas dan mendidik yang bisa menjerumuskan anak pada hal-hal yang negatif. Seperti acara kekerasan, bersifat seksual, tindak kriminal kejahatan, dan masih banyak acara yang tidak selayaknya menjadi perhatian anak. Acara-acara yang menyajikan konten edukatif sangat sedikit.
Embargo Ulah Dalang Kapitalisasi Media Massa
Media massa penyiaran, khususnya televisi, merupakan media massa yang sangat dominan dan diminati dalam kehidupan masyarakat modern. Kesimpulan tersebut berdasarkan pada kajian yang dilakukan oleh Hendriyani, Hollander, d’Haenens dan Beentjes (2012). Mereka melakukan penelitian pada 589 SD di Jakarta terkait preferensi media masa.
Dari hasil kajian tersebut, mereka mendapati 98 persen responden memilih menonton acara televisi dengan rata-rata 5 hingga 6 jam sehari. Selain itu, didapati pula isi acara televisi yang disiarkan banyak mengandung adegan ganas, seksual, porno, dan mistis yang berlebihan. Konten serupa tidak layak dan tidak ramah untuk dikonsumsi bagi anak karena tidak edukatif.
Penelitian dengan hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Abd. Halim Bin Tanuri dan Zairin Bin Ismail pada tahun 2009, terhadap 398 pelajar sekolah menengah di Sabak Berenam Selangor-Malaysia mengenai pilihan media apa yang disukai.
Mengenai pendedahan mereka kepada media massa dalam sehari, responden yang dikaji menghabiskan 3,62 jam menonton acara televisi, 2,96 jam mendengarkan radio, 2,34 jam membaca koran, 2,30 jam menonton VCD/DVD, 2,21 jam membaca majalah, dan hanya 1,32 jam melayari laman web. Adapun kandungan dalam acara televisi yang digemari adalah tayangan hiburan. Â
Fakta-fakta tersebut adalah bentuk embargo media massa yang dilakukan oleh dalang kapitalisasi media. Kapitalisasi media massa menjadikan media buta nilai keobjektifan dan tidak bertanggungjawab atas amanah yang diemban pada publik untuk menyajikan berita yang relevan.
Orientasi Kapital dalam Pengelolaan Media Massa
Kini media massa berfokus pada keuntungan finansial saja tanpa memperhatikan kualitas berita yang berimbang dan ril. Kapitalisasi media membawa kita berputar-putar pada lingkaran setan post-truth yang sangat merugikan banyak kalangan.
Menurut Dimmick dan Rothenbuhler dalam jurnal Harahap (2013), mereka mengemukakan bahwa ada tiga sumber kehidupan bagi media, yaitu konten, kapital dan penonton. Konten terkait dengan muatan dari sajian media, misalnya muatan acara televisi atau radio, berita/feature, dan lain sebagainya. Kapital menyangkut sumber dana untuk menghidupi media. Sedangkan penonton sebagi sumber kehidupan media terkait dengan segmen pasar yang dituju. Ketika media lebih mengedepankan kualitas konten dan kepentingan penonton, tentu sajian isi media sesuai dengan konsep yang ideal.
Orang dengan kekuatan finansial memiliki kekuasaan yang berpotensi pada pengaburan objektivitas dalam menyampaikan informasi. Kapitalisasi media oleh pihak yang menjadi dalang sandiwara kebohongan publik menjadikan berita seolah-olah hitam itu putih dan putih itu hitam. Mereka tetap terhindar dari serangan publik karena bersembunyi di balik wajah yang mereka gunakan dalam media massa.
Acara Televisi Cenderung ‘Unfaedah’
Menurut Nawiroh, (2010) menyebutkan bahwa acara televisi yang diputar pada jam-jam utama (prime time) mengandung 8 contoh kekerasan setiap jamnya. Fakta tersebut berdasarkan hasil penelitian tentang efek terpaan media massa televisi pada khalayak yang pernah dilakukan oleh George Gerbner (1972), Huesmann dan Eron (1986). Penelitian tentang efek media violence dilakukan terhadap anak-anak yang diterpa acara televisi sejak berusia 8 tahun hingga 30 tahun.
Metode yang digunakan yaitu panel suvey. Dari metode tersebut, didapati hasilnya bahwa anak-anak yang menonton acara televisi mengandung kekerasan lebih cenderung terlibat kejahatan serius ketika dewasa.
Dengan data tersebut, indikasi-indikasi kapitalisasi media dalam berbagai media komunikasi sudah sering terjadi. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan cenderung mampu membungkus informasi yang berbau politik dan muatan problematik hingga mampu diterima masyarakat.
Dampak Acara Televisi pada Anak
Pada usia anak kisaran 0-4 tahun, menonton televisi menyebabkan terganggunya fase pertumbuhan otak, kecakapan berbicara, kemampuan membaca, dan menghambat anak dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan.
Sedangkan untuk anak usia 5-10 tahun, diperkirakan dapat meningkatkan tingkat agresi berupa kekerasan, cenderung bertingkah seperti yang sering ditonton pada tayangan televisi. Anak juga menjadi konsumtif karena iklan televisi, menjadi tidak kreatif, dan juga meningkatkan kemungkinan obesitas karena kurang berkreativitas dan berolahraga.
Pada usia dewasa, menonton televisi berdampak pada gaya hidup yang tidak produktif karena lupa waktu dan tidak terdidik. Bahkan, tidak sedikit yang terbawa arus iklan televisi sehingga menjadi konsumtif. Tidak jarang, karena melihat tayangan informasi di televisi pada tontonan yang salah, sehingga memiliki persepsi yang salah dalam menghadapi fakta sebenarnya.
Menanggulangi Dampak Negatif Televisi
Televisi merupakan media massa yang paling familiar, akan tetapi dampak negatif yang besar. Mulai dari tayangan berita yang mengaburkan informasi, hiburan anak-anak yang mengandung kekerasan, film maupun sinetron yang tidak mendidik, dan hingga acara yang cenderung unfaedah.
Cara aman untuk menghindari berbagai dampa negatif tersebut yakni dengan menjadi bijak dan mengajak keluarga untuk memilih tayangan yang edukatif.
Selain itu, mengawasi anak-anak pada tayangan tertentu, dan segera mengganti kanal apabila acara televisi tidak mendidik. Selanjutnya, dengan selalu mengecek informasi secara teliti apabila mendapatkan berita-berita yang patut diragukan.
Oleh karena itu, memilah kanal televisi yang bermanfaat itu sangat penting. Hal ini karena ia dapat membantu kita tidak terpengaruh terhadap tayangan yang dapat menyesatkan kita. Iklan televisi pun patut diawasi agar tidak terbawa arus iklan dan tidak konsumtif.
Suyanto (2013) menjelaskan bahwa orangtua berperan memberikan rasa aman kepada anak-anaknya dari dampak media yang tidak sehat. Salah satu peran itu adalah dengan memberikan mereka pilihan yang sehat dan pendampingan pada saat mereka menonton televisi. Menurut Suyanto, orangtua tidak boleh melawan perkembangan teknologi, yang harus dilakukan adalah mendampinginya menghadapi perkembangan teknologi tersebut. Orangtua harus terlibat menentukan pilihan media bagi anak-anaknya, untuk melindungi generasi selanjutnya dari dampak negatif.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan