Perspektif

Kapitalisme Data di Balik Manuver WhatsApp

5 Mins read

Jagat media sosial di awal tahun baru 2021 dikejutkan dengan “pemaksaan” penyedia aplikasi pesan instan WhatsApp kepada penggunanya, yaitu terima kebijakan baru terkait pengelolaan data atau dipersilakan menyetop penggunaan tersebut.

Aplikasi pesan instan paling populer ini merilis ada beberapa kebijakan baru terkait pengelolaan data pengguna. Yang paling signifikan adalah bahwa pengguna WhatsApp harus merelakan data mereka digunakan untuk komunikasi oleh pihak ketiga yang menyediakan layanan bisnis ke konsumen. Artinya, nanti pihak ketiga seperti bank, perusahaan telekomunikasi, dan juga jasa layanan e-commerce, misalnya, akan dapat berhubungan dengan kita menggunakan WhatsApp, suka atau tidak suka, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak ketiga tersebut.

***

Selain itu, pengguna aplikasi yang jumlahnya lebih dari 2 milyar itu harus rela data mereka diintegrasikan dan dimanfaatkan oleh entitas lain yang merupakan keluarga besar pemilik WhatsApp itu sendiri, yakni Facebook. Dengan kata lain, data pengguna WhatsApp seperti data akun, nama, nomor ponsel, perilaku harian seperti keaktifan berkomunikasi, dan juga data nomor-nomor di buku telepon (contact list) akan dimanfaatkan bersama oleh Facebook, Instagram, dan Crowdtangle. Yang terakhir ini aktivitasnya adalah melakukan analisa dan agregasi data untuk tujuan pemberitaan di dan untuk berbagai media sosial.

WhatsApp tidak memberikan pilihan (opt-out) bagi mereka yang tidak setuju jika datanya digunakan untuk keperluan di atas. Istilah populernya adalah “Take it or leave it!” Pendekatan ini memang lumrah di dalam perniagaan. Namun jika yang melakukannya adalah aplikasi terbesar dengan dua milyar pengguna, maka bisa dibayangkan gaung kerisauan dan gunjingannya pasti terdengar di seantero dunia, termasuk di Indonesia.

Dari pemantauan penulis beberapa hari terakhir ini, konsumen Indonesia termasuk yang gerah dan bertanya-tanya tentang apa yang harus dilakukan. Menariknya, salah satu respon dari konsumen ini adalah gerakan untuk meninggalkan WhatsApp dan berpindah ke aplikasi serupa yang lain. Tentu ini hal yang sangat lumrah dan memperkuat paradigma bahwa konsumen sepatutnya memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan yang terbaik.

Namun yang perlu dipikirkan adalah, aksi perpindahan ini sebaiknya dilandaskan oleh ilmu, bukan emosi. Jika berlandaskan ilmu dan informasi yang cukup, maka pilihan itu akan lebih mantap dan efisien. Oleh karena itu, sebelum kita melakukan aksi serupa, ada baiknya kita membaca dan memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dapur aplikasi WhatsApp yang dimiliki oleh Facebook ini.

Baca Juga  “Tuna Wisma” di Rumah Sendiri

Kapitalisme Berbasis Data

Sudah kita ketahui bersama, bahwa pada era teknologi informasi ini, data menjadi sumber daya yang sangat penting dan utama. Dalam aplikasi perpesanan seperti WhatsApp, data yang dituai adalah data pribadi pengguna seperti nomor dan identitas pengguna, negara asal, nomor kontak dalam buku telpon, data lokasi dan juga data perilaku konsumen.

Semua data ini sangat penting bukan saja untuk mengeksekusi proses pelayanan asal, namun juga untuk menghasilkan data agregat yang dapat digunakan untuk analisa prediksi yang berguna bagi dunia bisnis. Selain itu tentunya data tersebut dapat digunakan untuk mengkomunikasikan berbagai materi bisnis baik pelayanan maupun iklan terselubung. Dalam konteks WhatsApp, data isi pesan atau komunikasi tidak dapat dituai karena dienkripsi dan hanya dapat dibaca oleh penerima pesan tersebut.

Kondisi inilah yang menyebabkan banyak entitas bisnis sekarang berbondong-bondong mengalihkan investasinya ke dunia data dalam berbagai lini dan siklus hayatnya. Maka menjamurlah produk-produk yang menawarkan jasa analisa data, pengumpulan data, penyimpanan data dan juga pengamanan data. Ekonomi berbasis data ini biasa disebut ekonomi digital yang pada gilirannya menciptakan ekonomi berbasis modal data.

Dalam tulisan kritisnya, Profesor Shoshana Zuboff (2019) dari Universitas Harvard mewanti-wanti bahaya trend ini yang disebutnya “kapitalisme berbasis pengawasan” (surveillance capitalism) dimana dunia bisnis menjadikan analisa perilaku harian manusia sebagai obyek pengambilan keputusan. Alhasil, teknologi analisa prediktif akan menjamur dan niscaya memerlukan banyak data pribadi sebagai bahan bakarnya. Dalam konteks inilah, “kegaduhan” aplikasi WhatsApp mutakhir ini dapat dibaca dan dimengerti.

Kapitalisasi Data WhatsApp

Maka jika kita lihat lagi sejarah WhatsApp yang diciptakan pada 2009 oleh dua orang mantan pekerja Yahoo! Brian Acton dan Jan Koum ini, kita akan paham. Saat WhatsApp dibeli oleh Facebook pada tahun 2014, Mark Zuckerberg harus merogoh kantongnya sangat dalam, yaitu seharga sembilan belas milyar dolar Amerika, atau sekitar 268 trilyun rupiah. Jumlah itu menjadi rekor penjualan aset digital sekaligus mengundang banyak pertanyaan. Apalagi saat itu WhatsApp adalah aplikasi murah tanpa iklan dengan ongkos mendaftar kurang dari satu dolar. Darimana keuntungan akan didapat oleh Facebook?


Jawabannya ada pada dua hal. Pertama, tren peningkatan pengguna WhatsApp. Aplikasi mudah dan murah tanpa biaya data yang signifikan ini diterima baik di negara berkembang seperti kawasan anak-benua India, Amerika latin, Asia Tenggara dan juga Afrika. Ini memberikan angin segar untuk perusahaan Mark Zuckerberg itu memperluas pengaruh pasar globalnya, apalagi terkait agenda gobalisasi Internetnya melalui proyek Internet.org.

Baca Juga  Empat Seni Mencintai yang Perlu Kamu Ketahui


Kedua, faktor kekayaan data. Siapa yang tidak tergiur dengan aset data yang dimiliki oleh WhatsApp? Apalagi saat ini, dengan pengguna aktif melebihi dua milyar bisa dibayangkan masifnya data yang tertuai termasuk data pribadi, data profil akun, data kontak, data lokasi, ataupun big data lainnya yang dapat dianalisa dan diagregasikan dari perilaku pengguna (behavioural data). Namun ini tidak termasuk konten komunikasi pengguna, karena pesan tidak dapat dibaca kecuali oleh pengirim dan penerimanya. Metode ini disebut enkripsi dari ujung ke ujung (end-to-end encryption).

***


Pada tahun 2014 itu, isu integrasi data antara dua platform yang berbeda ini telah menjadi sorotan. Malah Komisi Eropa telah menerapkan aturan bahwa integrasi data tidak boleh dilakukan karena berpotensi melanggar aturan privasi dan kompetisi di benua itu. Karena pada dasarnya, data pengguna di sebuah entitas (dalam hal ini WhatsApp) tidak boleh digunakan oleh entitas lain (yaitu Facebook) tanpa izin dari individu tersebut, yaitu konsumen yang menggunakan produk tersebut. Saat itu Facebook menjamin bahwa mereka tidak akan bisa melakukan integrasi otomatis antara data akun Facebook dan WhatsApp sehingga konsumen tidak perlu khawatir.

Namun, pada tahun 2017 tersiar kabar bahwa Komisi Eropa memberikan denda kepada Facebook sebanyak 110 juta Euro karena terbukti telah memberikan keterangan yang mengelirukan tentang kemampuan sinkronisasi data. Dengan kata lain, Facebook sebenarnya memiliki kemampuan otomatisasi integrasi data antara kedua aplikasi besar tersebut namun hal ini tidak dinyatakan secara jelas. Dalam memberikan sanksinya, komisioner Kompetisi Uni Eropa Margrethe Vestager berharap denda itu menjadi sinyal bagi semua pebisnis yang mengambilalih perusahaan lagin agar menaati segala aturan di Uni Eropa.


Sampai di sini, kita dapat membaca bahwa aset data WhatsApp memang terlalu berharga untuk tidak dikapitalisasi oleh perusahaan induknya. Apalagi untuk saat ini WhatsApp merupakan pundi keuntungan Facebook yang lebih besar dibanding produk andalan lainnya, Facebook Messenger dan Instagram. Dengan adanya penerapan ketentuan privasi yang terbaru ini, Facebook nampaknya semakin terang-terangan ingin memanfaatkan aset mereka dengan membuka akses data WhatsApp kepada pihak lain meski dengan dalih “meningkatkan pelayanan” dan “memperkaya pengalaman konsumen” mereka.

Baca Juga  Mundurnya Hanafi Rais: Antara Siasat dan Sensasi

Hak Privasi Tergugat?

Di sisi lain, perkembangan ini jelas menimbulkan ketidaknyamanan bagi konsumen di WhatsApp dunia termasuk Indonesia. Konsumen hari ini semakin sadar akan pentingnya menjaga, mengontrol dan mengatur pengelolaan data pribadi di kehidupan keseharian baik luring atau daring.

Pemberitaan tentang kebocoran data, pemalsuan identitas, pencurian elektronik dan juga spionase membentuk sensitivitas masyarakat kita yang makin melek akan haknya. Apalagi dengan pemberlakuan tanpa pilihan, tidak heran jika konsumen akan merasa dikerdilkan dan dianiaya hak-hak digitalnya.

Hak privasi data berpusaran pada pentingnya menghormati hak-hak konsumen untuk mengontrol penggunaan data pribadi agar tidak dieksploitasi baik untuk kepentingan yang meluas ataupun untuk digunakan oleh pihak ketiga. Dalam tatanan aturan dan perlindungan data pribadi, norma aturan ini sudah diadopsi secara meluas di berbagai negara dan kelembagaan internasional seperti APEC, ASEAN maupun Uni Eropa. Jadi apa yang dilakukan oleh WhatsApp ini bukan area yang tidak diatur, bahkan di Indonesia sendiri. Tidak ada kekosongan hukum di sini.

Saat konsumen menggunakan WhatsApp, maka ada syarat dan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati terkait ruang lingkup penggunaan data pribadi yang seharusnya dibatasi pada tujuan asal aplikasi tersebut, yaitu untuk menjalankan layanan pesan instan. Maka segala tujuan lain yang tidak masuk persetujuan asal tidak boleh dilakukan karena akan membuka peluang eksploitasi data.

Dalam konteks WhatsApp, ketika konsumen “dipaksa” untuk berbagi data dengan pihak bisnis maupun pihak lain dalam lingkungan Facebook, maka yang terjadi adalah eksploitasi data untuk tujuan-tujuan diluar kesepakatan asal. Dalam norma aturan internasional, seharusnya dalam kondisi ini konsumen diberikan pilihan untuk bersetuju atau tidak. Pilihan inilah yang dinihilkan oleh kebijakan baru tersebut.

***

Berdasarkan paparan di atas, kiranya kita dapat memahami manuver yang dilakukan oleh salah satu perusahaan raksasa Internet asal Amerika ini. Wajar saja konsumen sedunia merasa gerah dan tergugat, karena mereka merasa dikerdilkan dan hak privasi kian terancam. Dan inilah juga kegusaran Prof. Shoshana Zuboff yang dipetik diatas tadi, agar kita waspada terhadap ancaman kapitalisme berbasis pengawasan, dimana data dieksploitasi sesuai dengan agenda pemilik modal. 

Sonny Zulhuda
4 posts

About author
Professor, Pengajar Cyber Law di International Islamic University Malaysia
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds