Perspektif

Melampaui Keterbatasan adalah Buah dari Puasa dan Takwa

3 Mins read

Takwa dan Puasa – Setelah sebulan lamanya berpuasa, umat Islam merayakan kemenangan bagi mereka yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa dan amalan kebaikan selama Ramadhan. Meraih takwa, begitulah pesan Al-Qur’an.

Puasa dan Pencerahan Diri

Puasa sejatinya adalah ‘menahan’. Berpuasa Ramadhan merupakan kegiatan menahan diri dari perilaku biologis manusia, seperti makan, minum, dan berhubungan suami istri pada siang hari. Begitulah setidaknya pengertian yang diutarakan oleh para fuqaha.

Namun, pengertian puasa dapat dimaknai secara luas yang esensinya mampu mengendalikan diri atau menahan diri dari sesuatu. Sehingga, praktik berpuasa mengalami perluasan. Menahan atau mengendalikan diri dari beragam bentuk yang menjerumuskan pada kerusakan atau kebatilan yang merugikan dirinya sendiri serta umat manusia dan alam semesta.

Perluasan makna ini mengalami keterhubungan dengan makna takwa. Alm Fazlur Rahman, guru besar pemikir Islam dari Universitas Chicago, dalam buku Neomodernisme Islam, menekankan tiga etika Al-Qur’an, yaitu Islam, iman, dan takwa.

Islam, menurut Fazlur Rahman, dalam pengertian kata sifat, dimaknai sebagai bentuk dari keselamatan. Sedangkan iman, kata dia, dimaknai sebagai bentuk dari keamanan. Dan takwa mencakup pengertian dan sifat keduanya. Singkatnya, takwa mempersyaratkan Islam dan iman dalam diri seorang Muslim.

Takwa, menurut Rahman, adalah aktivitas diri dalam rangka menjaga keamanan dan keselamatan agar terhindar dari bentuk-bentuk perilaku buruk, berilaku yang merusak. Dengan demikian, pemaknaan yang sederhana mengenai taqwa selepas berpuasa adalah kemampuan diri manusia untuk mengendalikan diri agar tidak melakukan kerusakan di muka bumi (la tufsidhu fil ardh) dalam segala lini kehidupan.

***

Itulah kecenderungan manusia, dapat berbuat baik dan juga sekaligus berbuat buruk. Namun, pesan Al-Qur’an sebagaimana diutarakan Buya Ahmad Syafii Maarif, memberikan pemihakan kepada mereka untuk memilih menjadi orang yang beriman.

Baca Juga  Tentang Waktu, Masa Lalu yang Tak Mungkin Terulang Kembali

Beragam perilaku buruk yang dilukiskan manusia dalam Al-Qur’an beserta konsekuensi keburukannya sejatinya dapat diambil pelajaran, tidak terjerumus. Sebagaimana tulis Prof Haedar Nashir dalam artikel Jalan Pencerahan Diri menyebutkan, “Manusia adalah aktor pembangunan kesuksesan, kedamaian dan kemajuan peradaban. Sebaliknya, perang, kekacauan, dan kejatuhan bermula dari ulah dirinya. Bencana alam dan kerusakan lingkungan tidak sedikit bertemali dengan tangan-tangan kotor manusia.”

Itulah buah dari puasa, meraih takwa hingga meraih kemenangan yang sejati. Jika setiap pribadi muslim memiliki ketakwaan itu, tentu saja upaya menjaga amanat dari Tuhan untuk menjaga bumi akan berjalan baik, membangun peradaban utama.

Sosiolog Iran, Ali Syariati, dan juga ahli tafsir Indonesia, M Quraish Shihab, menganalogikan komposisi manusia terdiri atas dua elemen utama. Manusia diciptakan dari tanah atau lumpur yang busuk, disimbolkan sebagai bentuk atau potensi manusia dalam hal berbuat keburukan. Kedua manusia ditiupkan ruh Tuhan yang memiliki potensi untuk berbuat sesuai dengan nama-nama Tuhan.

Buah Takwa dan Puasa: Melampaui Keterbatasan

Ramadhan ini, merupakan kali kedua dalam kondisi pandemi Covid 19. Masyarakat muslim dunia menjalankan puasa diasumsikan dalam kondisi keterbatasan. Walau demikian, ganjaran takwa dari Tuhan Yang Maha Esa tetap berlaku walau di tengah aktivitas manusia yang terbatas. Sebab, keterbatasan itu tidak mengurangi umat Muslim menjalankan ibadah seperti tetap membaca alquran, shalat Tarawih, zakat, infak, dan sedekah (ZIS), iktikaf, pengajian dan amalan lain sebagainya. Anggapan keterbatasan itu tidak mengurangi umat Muslim menjalankan ibadah di bulan Ramadan.

Keterbatasan itu mungkin berkaitan dengan kebiasaan masyarakat. Sebagaimana kumpul sanak saudara di kampung halaman. Maka, dalam keadaan normal, masyarakat dari berbagai daerah, menuju ke kampung halaman (mudik). Kegiatan mudik inilah yang pada masa pandemi mengalami keterbatasan.

Baca Juga  Untuk Mewujudkan Islam Transformatif, Butuh Spirit Al-Ma'un di Dalamnya

Namun, keterbatasan mudik diperbantukan dengan hadirnya teknologi dan internet. Namun memang hanya kalangan tertentu yang hanya dapat mengakses hal tersebut. Melalui beragam aplikasi, orang dapat saling terbubung dalam jaringan (daring).

Ada filosofi jawa yang terkenal, “mangan ora mangan seng penting kumpul”. Filosofi ini harus di koreksi, begitu tulis  Prof. Yudian Wahyudi (sekarang Kepala BPIP), jika diteruskan hal itu akan melanggengkan kehidupan sosial ekonomi yang serba kekurangan. Maka, yang diperlukan adalah “kumpul ora kumpul seng penting mangan”. Ada semangat atau etos mencari kesejahteraan dalam memperbaiki ekonomi.

***

Mungkin yang lebih tepat, keterbatasan masyarakat di tengah pandemi yang dimaksud adalah keterbatasan dalam akses ekonomi, seperti keterbatasan pekerjaan, keterbatasan finansial, dan keterbatasan modal usaha. Hal inilah yang dirasakan kebanyakan masyarakat akibat hantaman pandemi Covid 19.

Negara sebagai penjamin warga negara dalam kondisi aman dan sejahtera, harus hadir dan bertanggung jawab untuk itu. Negara harus melakukan silaturahim dengan rakyat yang mengalami keterbatasan itu. Idul Fitri memang sejak dulu dekat dengan tradisi mudik dan juga silaturahim. Tradisi mudik dan silaturahim di Hari Raya sejatinya adalah ruang dialog, saling tukar informasi peluang pekerjaan, yang juga merupakan harapan perbaikan ekonomi.

Kita menyaksikan berita di berbagai media elektronik televisi, akibat dari tidak punya pekerjaan, tidak ada penghasilan, sekeluarga pulang ke kampung halaman, dari Tegal ke Bandung dengan berjalan kaki. Kondisi ini adalah cermin keadaan masyarakat yang terpuruk di tengah pandemi karena kehilangan pekerjaan.

Negara yang menjamin kesejahteraan warganya, menjauhkan rakyatnya dari rasa takut dan kelaparan, merupakan wujud dari ketakwaan seorang pemimpin negara. Semoga momentum lebaran ini kita benar-benar kembali ke fitri, ekonomi kembali pulih, dan selalu diberikan kesehatan. Selamat lebaran, Mohon Maaf Lahir Batin!

Baca Juga  Melawan Neo-Khawarij dengan Literasi

Editor: Yahya FR

Ari Susanto
4 posts

About author
Kader Angkatan Muda Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *