Akhlak

Karakter Amanah: Tunaikan Kewajiban dengan Baik, Raih Kebaikan Dunia dan Akhirat

12 Mins read

Karakter Amanah I Hari-hari kedepan kita akan disuguhi pesta demokrasi dengan segala ‘pernak-pernik’ yang mengitarinya; ada pemilihan legislatif (pilleg DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi,  dan DPRD Kabupaten/Kota); pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres/wapres); serta pemilihan kepala daerah/pilkada prov/kab/kota (pilgub/wagub dan pilbup/wabup atau pilwako/wawako).

Bendera berkibar penuh warna-warni dan nomor urut, baleho dan spanduk berjejeran di sepanjang jalan dan di bawah pohon kayu; ruang  publik, media sosial, stasiun televisi dan radio penuh dengan para orator jurkam parpol, jurkam capres, cagub, cabup/cawako, yang menjajakan program unggulan dan memantik isu-isu krusial dan sensitive supaya mendapat simpati rakyat/konstituen, jargon-jargon yang digunakan seperti iklan ‘kecap’ manis, politik ‘gincu’ menjadi arus-utama yang dijadikan strategi mencuri simpati, dan segala bentuk narasi, agitasi bahkan terkadang saling serang dengan kalimat provokasi: Untuk sebuah ‘amanah’ terkadang menghalalkan sehala macam cara!

Sebagai warga negara siapapun berhak memilih dan dipilih, sebab itu sudah diatur oleh konstitusi negara. Namun sebagai warga negara harus memahami, bahwa ‘biarkanlah mereka berebut kursi, kita tidak perlu ikut ribu!’ Mereka berkontestasi politik untuk menjadi yang dianggap baik atas nama, dari, oleh dan untuk ‘rakyat’ katanya. Kita harus hati-hati dan waspada supaya tidak terjebak pada perpecahan dan permusuhan yang tak berarti.

Yang harus disadari adalah, bahwa amanah bukanlah hanya pada kekuasaan (jabatan) saja, akan tetapi amanah memiliki pemahaman yang cukup luas cakupannya. Amanah bukan hanya pada kedudukan, harta benda, profesi/pekerjaan, muamalah, dll yang bersifat material dan keuntungan, penghargaan, keagungan, nama besar dan perhormatan orang lain pada diri sendiri dan keluarga. Amanah juga bersifat nonmateri seperti sebagai penerima titipan, sebagai orang tua, sebagai pendengar pembicaraan, sebagai penerima laporan tentang penyakit atau masalah yang bersifat privasi, termasuk juga organ tubuh kita sendiri juga merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan dunia-akhirat.

Pengertian Amanah

M. Quraish Shihab, menjelaskan kata amanah terambil dari kata amina, yakni merasa aman. Dari akar kata yang sama lahir kata iman/percaya dan aman, yakni antonim dari kata bahaya. Ketiga kata tersebut saling berkaitan. Amanah diserahkan oleh pemiliknya kepada yang dipercaya akan memelihara amanah itu dan bahwa apa yang diserahkan itu aman di tangannya. (Shihab, 2016: 161)

Dalam pandangan Al-Ghazali, makna al-amanah (amanat) dalam QS Al-Azhab: 72 ialah semua ketaatan dan kefardhuan (kewajiban-kewajiban) yang pelaksanaannya berhubungan dengan pahala dan siksa.

Imam Qurthubi berkata: “Amanah itu bersifat umum meliputi semua tugas-tugas keagamaan. Demikian menurut pandangan yang shahih di antara beberapa pendapat, dan juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Tetapi dalam skala dan yang lebih terperinci maka terdapat perbedaan di antara sebagian mereka.” Ibnu Mas’ud berkata: “Amanat di sini, maksudnya ialah amanat dalam hal harta seperti barang titipan dan lain sebagainya.”

Hakikat Karakter Amanah

Amanah adalah satu kata yang memiliki makna yang sangat luas. Ia bukan hanya berkaitan dengan sesuatu yang bersifat material, tetapi segala sesuatu yang diserahkan kepada seseorang di mana ia menyatakan kesediaan yang menerima. Saat akad nikah misalnya, ada upacara menyerahkan amanah dari pihak wali kepada calon suami yang menerima calon istrinya dengan janji akan hidup bersama, saling mendukung dan melaksanakan kewajiban.

Penerimaan amanah – apapun amanah itu – mestinya lahir dari kesadaran tentang kemampuannya memelihara dan mengembalikannya bila diminta oleh yang memberinya. Karena itu amanah seharusnya tidak diterima oleh siapapun yang meragukan kemampuannya sebagaimana tidak wajar juga diberikan kepada siapapun yang ia ragukan kemampuannya.

Hakikat ini terbaca, antara lain ketika Allah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya menolak karena merasa tak mampu memikulnya. (Shihab, 2016: 162)

Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan pikunlah amal itu boleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Azhab: 72)

Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan masalah ayat tersebut yakni:

Maksud dari: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amal itu.” Yakni, langit, bumi dan gunung-gunung menolak untuk menerima tawaran amanah itu.

Ayat selanjutnya: “…dan mereka khawatir akan menghianatinya…” Yakni, semuanya takut kalau-kalau tidak dapat menunaikan amanat, lalu ditimpakan azab kepada mereka, atau semuanya takut menghianati amanat.

Hasan berkata: “Sesungguhnya amanah telah dibawakan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka langit, bumi dan gunung-gunung serta apa yang ada di dalamnya menjadi tergoncang. Lalu Allah berfirman: “Jika anda semua berbuat baik maka Aku beri pahala. Dan apabila anda semua berlaku jahat,  maka Aku akan menyiksa anda.” Semuanya berkata:  “Tidak, kami tidak sanggup mengembannya.”

Mujahid berkata bahwa ketika Allah selesai menciptakan Adam, Ia menyodorkan amanat kepadanya. Allah berfirman kepadanya, sebagaimana dalam ayat tersebut. Lalu Adam menjawab: “Sesungguhnya aku akan memukulnya.” Bukanlah suatu hal yang tidak jelas bahwa penyodoran amanat adalah langit, bumi dan gunung-gunung adalah sebuah tawaran yang bersifat bebas memilih, bukan sebagai penyodoran yang bersifat penetapan. Seandainya Allah menetapkan amanat itu kepada mereka, tentu mereka tidak akan dapat menghindar dan menolaknya.

Para fuqaha (ahli fikih) dan yang lainnya berkata tawaran amanat dalam ayat tersebut merupakan bentuk kiasan. Yakni, langit, bumi dan gunung-gunung dengan kondisi eksistensialnya yang begitu besar dan berat, lalu seandainya dibebani untuk memikul amanat, tentu mereka menjadi keberatan. Karena amanat itu terkait dengan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan pahala dan siksa. Dengan kata lain bahwa taklif (pembebanan hukum syara’) merupakan urusan besar yang tidak akan mampu diemban oleh langit, bumi dan gunung-gunung. Oleh sebab itu, maka Allah membebankan amanat tersebut kepada manusia.

Baca Juga  Slogan "Hubbul Wathan Minal Iman" Berasal dari Orang Kristen

Firman-Nya: “…dan dipikul lah amanat itu kepada manusia.” Yakni, Adam mengatakan kesanggupannya untuk mengemban amanat itu setelah ditawarkan kepadanya di alam al-dzur, ketika anak keturunannya keluar dari punggungnya lalu diambil perjanjian atas mereka.

Ayat selanjutnya: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72).  Yakni, di dalam mengemban amanat itu, manusia sangat zalim terhadap dirinya sendiri, dan sangat bodoh akan kadar kemampuannya terhadap amanat yang dipikulnya, atau dia sangat bodoh terhadap urusan Tuhannya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa amanat itu disodorkan kepada Adam, lalu Dikatakan: “Ambillah amanat itu beserta konsekuensi yang ada di dalamnya. Jika anda mentaatinya, maka Aku akan mengampuni anda, dan jika anda mendurhakainya, maka Aku akan menyiksa anda. Adam berkata: “Saya menerimanya beserta konsekuensi yang ada di dalamnya.” Setelah menyatakan kesanggupannya itu, tidak lama kemudian hanya antara waktu Ashar dan malam pada hari itu juga, Adam makan pohon syajarah (yang dilarang baginya). Untung saja segera diikuti dengan rahmat Allah dengan menerima tobatnya dan dan memberi petunjuk. lafaz al-amanah, keluar atau diambil dari lafaz al-iman. Karenanya barangsiapa yang memelihara amanat, maka Allah akan memelihara imannya. (Al-Ghazali, 2000: 77-78)

Keutamaan Karakter Amanah

Adapun keutamaan-keutamaan karakter amanah yakni:

1. Amanah adalah sebuah keniscayaan untuk menjaga komitmen ketaatan kepada Allah.

Sabda Rasulullah SAW:

“Tidak ada iman bagi yang tidak memelihara amanah dan tidak ada agama bagi yang memelihara janjinya.” (HR. Ahmad)

2. Amanah harus diberikan kepada yang memiliki kemampuan fisik, ilmiah  dan mental-spiritual. Supaya amanah dapat dilaksanakan secara baik.

Sabda Rasulullah SAW:

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah. Sedangkan itu (jabatan yang engkau pinta) adalah amanah dan akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada Hari Kemudian, kecuali siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan apa yang seharusnya ia laksanakan menyangkut amanah itu.” (HR. Muslim)

3. Menerima atau menyerahkan amanah kepada yang tidak wajar memikulnya maka akan berakibat kehancuran.

Sabda Rasulullah SAW:

“Apabila satu urusan diserahkan kepada yang tidak kompeten, maka tunggulah saat kehancurannya (Kiamat).” (HR. Bukhari)

4. Dianggap sebuah ‘pengkhianatan’ kepada Allah, Rasul dan amanah kaum muslimin, apabila menyerahkan amanah kepada orang yang tidak berhak menerima amanah tersebut, sementara ada yang lebih baik daripada orang yang telah diserahi tersebut.

Sabda Rasulullah SAW:

“Siapa yang mengangkat seseorang dalam satu jabatan sedang ia mengetahui ada yang lebih baik daripada yang diangkatnya, maka ia telah menghianati Allah, Rasul, dan amanat kaum muslimin.”

5. Ucapan atau pembicaraan termasuk juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Sabda Rasulullah SAW:

“Cukuplah dosa bagi seseorang bahwa ia menyampaikan semua apa yang didengarnya.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

6. Sebuah pertemuan atau perkumpulan juga disebut sebagai amanat, maka harus selalu dipelihara dan dijaga.

Sabda Rasulullah SAW:

“Majelis/pertemuan adalah amanah, kecuali tiga: penumpahan darah yang haram, hubungan seks yang haram, mengambil harta orang lain tanpa hak.” (HR. Abu Daud)

7. Berperilaku amanah mendatangkan rezeki sedangkan khianat membawa kemiskinan.

Sabda Rasulullah SAW:

“Berperilaku amanah itu dapat mendatangkan rezeki, sedangkan khianat dapat membawa kepada kemiskinan.” (HR. Ad-Dailami)

Kriteria Karakter Amanah

Adapun kriteria karakter amanah adalah:

1. Amaanatul ‘abdi ma’a rabbihi, yakni amanah seorang hamba terhadap Tuhannya. Yaitu melaksanakan segala kewajiban sebagai hamba dan menjauhi larangan dalam segala segi kehidupan.

2. Amaanatul ‘abdi ma’an naas, yakni amanah seorang hamba terhadap sesama manusia. Yaitu bermuamalah dengan baik dan menjadikan mereka sebagai kawan dalam melaksanakan perintah Allah.

3. Amaanatul ‘abdi ma’al  kauni, yakni amanah seorang hamba terhadap alam sekitar. Yaitu pemanfaatan yang baik dan menjadikannya sebagai sarana ketaatan kepada Allah.

Macam-macam Karakter Amanah

Apabila diindetifikasi, maka macam-macam karakter amanah itu adalah:

1. Amanah berupa jabatan.

Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya, dan kalau kamu menetapkan hukum antara manusia, maka hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini (QS. An-Nisa: 58) mengandung banyak hal dari pokok-pokok syariat agama. Ayat tersebut bersifat umum mengenai seluruh orang mukallaf baik yang penguasa maupun yang tidak. Adalah menjadi kewajiban bagi penguasa untuk melakukan pembelaan dan berlaku adil terhadap orang yang teraniaya dan menjelaskan hak-haknya yang demikian itu adalah amanat. Menjaga harta kaum muslimin penuh terutama harta anak yatim. Para ulama berkewajiban mengajarkan hukum-hukum agama kepada manusia secara umum, ini juga merupakan amanat yang harus dijaga oleh mereka dan menjadi prioritas utama yang harus ditunaikan. Orang tua berkewajiban menjaga anaknya dengan memberikan pendidikan sebaik-baiknya, ini adalah amanat baginya.

Sabda Rasulullah SAW:

“Setiap orang dari anda semua adalah sebagai seorang pemimpin, dan setiap orang dari anda semua diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Di dalam Zahrur Riyadh diterangkan, bahwa setiap hamba akan didatangkan pada hari kiamat, lalu ia ditempatkan di hadapan Allah SWT. Kemudian Allah SWT berfirman: “Apakah anda telah menyampaikan amanat si Fulan?” Dia menjawab: “Tidak,  ya Tuhanku.” Maka Allah memerintahkan kepada seorang malaikat memegang tangannya dan melemparkannya ke dalam neraka jahanam. Lalu diperintahkan amanat pada matanya di jurang neraka jahanam. Ia lalu turun pada amanat itu selama 70 tahun, sehingga ia sampai di kedalaman jurang itu. Kemudian ia naik kembali dengan membawa amanat itu. Sesampainya di atas, kakinya terpeleset sehingga ia jatuh ke dalam lagi dengan membawa amanat itu, ia naik lagi dan jatuh lagi, begitu seterusnya, Hingga belas kasih Tuhan berkenan menghampirinya, melalui syafaat seorang nabi terpilih, Muhammad SAW. Akhirnya si pemilik amanat tersebut merelakannya.

Baca Juga  Islamofasisme: Gerakan Islamisme atau Gerakan Nasionalisme Ekstrem?

Sabda Rasulullah SAW:

“Siapa yang mengangkat seseorang dalam satu jabatan sedang ia mengetahui ada yang lebih baik daripada yang diangkatnya, maka ia telah menghianati Allah, Rasul, dan anak kaum Muslim.”

2. Amanah Al-Kalimah (amanah menyangkut pembicaraan)

Sabda Rasulullah SAW:

“Cukuplah dosa bagi seseorang bahwa ia menyampaikan semua apa yang didengarnya.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

3. Amanah Al-Majlis (amanah pertemuan).

Sabda Rasulullah SAW:

“Majelis (pertemuan) adalah amanah, kecuali tiga:  penumpahan darah yang haram, hubungan seks dan haram mengambil harta yang lain tanpa hak.” (HR. Abu Daud)

4. Amanah menyangkut ibadah, anggota tubuh, pekerja, perniagaan, dll.

Ungkapan Abdullah Ibnu Mas’ud ra: “Pembunuhan/perjuangan dijalan Allah menghapus semua dosa, kecuali amanah. Pada Hari Kiamat nanti, seseorang, walau terbunuh di jalan Allah, diperintahkan untuk menunaikan amanah yang pernah diterimanya. Dia berkata: ‘Bagaimana bisa sedang alam dunia telah punah?’ Maka ada yang diperintah Allah untuk mengantarnya ke neraka. Di sana tampak olehnya amanah yang pernah diterimanya dan ia mengenalnya. Maka ia meluncur ke bawah untuk mengambilnya setelah berhasil ia meletakkannya di kedua bahunya (lalu naik ke atas di tempatnya semula) dan ketika ia sudah menduga berhasil keluar dari neraka, amanah yang dipikulnya tergedung terjatuh, dan ia mengejarnya dan berhasil meletakkannya di kedua bahu yaitu lalu menuju ke atas lagi, dan ketika ia menduga sudah akan tiba itu terjatuh lagi dan ia pun mengejarnya lagi. Begitu berulang-ulang selama-lamanya.’

Kata perawi riwayat ini Ibnu Mas’ud melanjutkan: “Salat adalah amanah, wudhu adalah amanah, timbangan adalah amanah, ukuran panjang adalah amanah.” Lalu Ibnu Mas’ud menyebut: “Sekian banyak amanah yang lain dan yang terberat adalah di titipan.” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan juga dari Ibnu Mas’ud, bahwa amanat itu terdapat pada setiap kefardhuan atau kewajiban tetapi yang paling berat ialah amanat dalam hal harta.

Lalu Abu Darda’ berkata: “Mandi junub adalah amanat.”

Ibnu Umar berkata: “Organ tubuh manusia yang pertama kali diciptakan Allah ialah farjinya (organ intim/kelamin). Lalu Allah berfirman: “Ini adalah amanat yang Aku titipkan kepada anda, maka janganlah anda memakainya kecuali dengan jalan yang haq. Jika anda menjaganya maka Aku akan menjaga anda.” Farji adalah amanat, telinga juga amanat, mata, lidah, perut, tangan, kaki, semuanya adalah amanah. Tidaklah beriman orang yang tidak dapat dipercaya dalam mengemban amanah.

Bentuk-bentuk Karakter Amanah

Ada beberapa bentuk karakter amanah, di antaranya;

1. Memelihara titipan dan mengembalikannya seperti semula.

Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa: 58)

Sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang memberi harta orang lain dengan maksud akan mengembalikannya, maka Allah pasti akan menyampaikan maksudnya itu. Dan jika ia mengambilnya dengan maksud merusaknya, maka Allah akan merusaknya itu.” (HR. Bukhari)

2. Menjaga rahasia.

Sabda Rasulullah SAW:

“Apabila seseorang membicarakan sesuatu kepada orang lain (sambil) menoleh kiri kanan (karena yang dibicarakan itu rahasia) maka itulah amanah (yang harus dijaga).” (HR. Abu Daud)

Dalam sebuah keluarga, suami istri harus menjaga rahasia keluarga, lebih-lebih lagi rahasia ranjang. Masing-masing tidak boleh membeberkan hasil ranjang keluarga kepada orang lain, kecuali kepada dokter, penasehat perkawinan atau hakim pengadilan untuk tujuan yang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya amanah yang paling besar di sisi Allah pada hari kiamat adalah menyebarkan rahasia istri, misalnya seorang laki-laki bersetubuh dengan istrinya, kemudian ia membicarakan kepada orang lain tentang rahasia istrinya.” (HR. Muslim)

Begitu juga dokter, harus menjaga rahasia pasiennya. jangan dibeberkan kepada orang lain. Dokter yang membeberkan rahasia pasiennya kepada orang lain, di samping melanggar amanah juga melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Para pasien akan jera datang berobat kepadanya.

Begitu juga pembicaraan dalam sebuah pertemuan atau hasil keputusan yang dinyatakan rahasia maka tidak boleh dibocorkan kepada orang lain yang tidak berhak.

Orang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan, perampokan dan perzinaan, dibolehkan untuk melaporkannya kepada yang wajib atau pengadilan untuk kepentingan penegakan hukum. Khusus untuk perzinaan, dia boleh melaporkannya kalau ada tiga orang saksi lagi sekain dia. Kalau tidak, dia diperintahkan untuk diam saja.

Begitulah, seorang muslim dituntut untuk selalu menjaga rahasia yang diamanahkan kepadanya, baik rahasia pribadi, keluarga, organisasi, atau lebih-lebih lagi rahasia negara. (Ilyas, 2009: 91-92)

3. Tidak menyalahgunakan jabatan.

Sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi.” (HR. Abu Daud)

Jabatan adalah amanah yang wajib dijaga. segala bentuk penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, famili, atau kelompoknya termasuk perbuatan tercela yang melanggar amanah. misalnya menerima hadiah, komisi atau apalah namanya yang tidak halal. (Ilyas, 2009: 93)

Baca Juga  Problem Kebangsaan: Tak Cuma Tanggung Jawab Muhammadiyah

4. Menunaikan kewajiban dengan baik.

Firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarah pun, niscaya dia akan melihatnya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun niscaya dia akan melihatnya.” (QS. Zalzalah: 7-8)

5. Memelihara semua nikmat yang diberikan oleh Allah.

Semua nikmat yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia adalah amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan baik umur, kesehatan, harta benda, ilmu dan lain sebagainya, termasuk anak-anak adalah amanah yang wajib dipelihara dan dipertanggungjawabkan. Harta benda misalnya harus kita berguna bukan untuk mencari keridaan Allah baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga maupun untuk kepentingan umat. Semua harus dimanfaatkan secara halal dan baik tidak boleh mubazir atau menggunakannya untuk kemaksiatan. Segala bentuk penyalahgunaan dan penilaian benda adalah pengkhianatan terhadap amanah yang dipikulkan. begitu juga hanya dengan ilmu, anak-anak dan nikmat-nikmat Allah lainnya semua adalah amanah yang harus dipelihara. (Ilyas, 2009: 96)

Objek Amanah

1. Ilmu

2. Pekerjaan atau jabatan.

3. Anak dan istri.

4. Rumah/tempat tinggal dan tanah air.

5. Harta dan lain-lain.

Sabda Rasulullah SAW:

“Kedua telapak kaki manusia tidak akan bergeser pada hari kiamat sebelum ditanya tentang 4 hal: (1) tentang umurnya; untuk apa dia habiskan; (2) tentang jasadnya; digunakan untuk apa sampai binasa; (3) tentang ilmunya; amal apa ia kerjakan dengan ilmu itu; (4) tentang hartanya; dari mana ia peroleh dan untuk apa ia gunakan.”

Virus Khianat Perusak Karakter Amanah

Lawan dari amanah adalah khianat, sebuah sifat yang sangat tercela. Sifat khianat adalah sifat kaum munafik yang sangat dibenci oleh Allah SWT, apalagi kalau yang dikhianatinya adalah Allah dan rasul-Nya. Oleh sebab itu Allah melarang orang-orang yang beriman menghianati Allah, Rasul dan amanah mereka sendiri.

Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghadapi Allah dan Rasul dan juga janganlah kamu menghianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)

Bahkan pengkhianatan pun tidak boleh dibalas dengan pengkhianatan. (Ilyas, 2009: 96)

Sabda Rasulullah SWT:

“Tunaikanlah amanah terhadap orang yang mengamanatimu dan janganlah berkhianat terhadap orang yang menghianatimu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Rasulullah SAW bersabda:


“Tidaklah ada iman bagi orang yang tidak dapat dipercaya terhadap amanat yang diembannya, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak dapat menepati janjinya.”

Seorang penyair berkata:

“Kecelakaan segera menimpa orang yang khianat, dan orang yang berpaling dari menjaga amanat yang diembannya. Dia melempar agama dan harga dirinya jauh-jauh, lalu silih berganti bencana zaman menyimpannya.”

Seorang penyair yang lainnya berkata:

“Betapa rusaknya perangai orang yang puas dengan penghianatannya, dia tidak akan melihat sesuatu kecuali tragedi demi tragedi yang menghantamnya. Prahara demi prahara akan terus datang beruntun menggilas orang yang culas atau yang merusak perjanjian.”

Rasulullah SAW bersabda:

“Karakter seorang mukmin ialah berakhlak dengan selain khianat dan dusta.”

Rasulullah SAW bersabda:

“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan, selama tidak memandang amanat sebagai keuntungan dan sedekah sebagai kerugian.”

Sabda Rasulullah SAW:

“Sampaikan amanat kepada orang yang mempercayakannya kepada anda, dan janganlah anda mengkhianati orang yang telah menghianati anda.”

Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda:

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Apabila berbicara, ia dusta; jika berjanji ia mengingkari; dan bila dipercayai ia berkhianat.”  (HR. Bukhari dan Muslim)

Yakni, bila seseorang mempercayakan suatu kalimat kepadanya, ia menghianatinya dengan menyebarkannya kepada manusia, atau bila seseorang menitipkan sesuatu, ia berkhianat dengan mengingkarinya, tidak menjaganya dan menggunakannya dengan tanpa seizinnya. Menjaga amanat merupakan sifat para malaikat muqarrabin, para nabi dan rasul pemahaman serta menjadi ciri khas orang-orang yang baik dan bertakwa.

Dalam doa-doanya Rasulullah SAW sering meminta agar dilindungi dari sifat khianat. Seperti doa di bawah ini:

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu daripada kelaparan, karena lapar merupakan sejelek-jelek teman berbaring, dan aku mohon perlindunganmu daripada khianat, karena ia adalah kawan dekat yang paling buruk.” (HR. Abu Daud)

Memelihara Karakter Amanah

Semua manusia adalah penerima amanah sebagai ‘mandataris’ Tuhan di bumi-Nya, maka Allah mewanti-wanti dengan perintah-Nya untuk  menunaikan amanah secara professional, sebagimana firman-Nya:

 
Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah. Tuhannya. Dan janganmah kamu menyembunyikan kesaksian, Karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Baqarah: 283)

Amanah tidak hanya berbentuk kekuasaan saja, bahkan harta, titipan, istri, anak, organ tubuh, pekerjaan, perniagaan, dll merupakan amanah yang memiliki konsekuensi pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat.

Maka, menjaga amanah adalah ciri orang beriman. Dikarenakan spirit iman dan keyakinan pertanggungjawaban dunia-akhiratlah yang membuat sang hamba menjaga amanah dengan sebaik-baiknya. Seperti firman Allah SWT:

“Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8) 

Dari kajian di atas jelaslah, bahwa kita harus hati-hati dan waspada dengan amanah. Janganlah menganggap amanah sebagai nasib baik atau keberuntungan, sebab ada pertanggungjawaban dunia-akhirat. Namun, apabila amanah ditunaikan dengan baik tentu memiliki nilai plus di sisi Allah di dunia dan akhirat.

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds