Manusia bukahlah makhluk hidup yang berupa material saja, seperti struktur organ tubuh yang tampak dan yang tersusun dalam jasad kasar atau jasmaniah. Akan tetapi, manusia adalah makhluk hidup yang diberi kecerdasan dan potensi rohaniah.
Manusia merupakan salah satu “kaligrafi” Tuhan yang sangat indah, apabila manusia bisa mengenal dan membaca dirinya sendiri. Manusia merupakan “desain” Ilahi yang teramat istimewa, sehingga diizinkan Allah untuk menjadi “mandataris”-Nya di bumi.
Manusia diberi anugerah seperti ruh, nafsu, akal dan hati sebagai potensi yang membawa sang hamba pada jalan kebaikan, atau malah tersesat dari kebenaran yang dituntun-Nya. Dan, ‘raja’ yang mengendalikan adalah hati: hati (rohani) adalah lokus psike manusia.
***
Dalam proses kejadian manusia, Sang Maha Cinta Agung menjelaskan dalam firmanNya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (28) Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(29) (QS. Al-Hijr {15}: 28-29)
Ayat di atas menjelaskan, bagaimana proses manusia diciptakan Allah Swt, dan proses kejadian manusia tersebut bukan tanpa segaja. Akan tetapi melalui proses yang direncanakan atau sengaja. Proses yang sangat spesifik adalah, ketika dimensi Ilahiah dimasukkan kedalam diri manusia oleh Tuhan berupa ruh.
Proses kejadian manusia yang sangat sakral itulah yang memunculkan penghormatan para malaikat pada manusia pertama (Adam) yang disimbolkan dengan laku sujud. Jadi yang dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi simbol sebagai penghormatan.
Pengertian dan esensi ruh tidak dapat dijelaskan, karena manusia diberi keterbatasan dalam memahaminya, seperti firman Sang Maha Cinta Agung:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Isra {17}: 85)
Dalam pengertian kebahasaan, ruh seakar dengan kata rih, yang berarti angin. Disebut roh yang ada dalam jasad manusia dengan sebutan demikian karena halusnya laksana angin, tetapi dapat dirasakan. Al-Qur’an mengungkapkan kata ruh dalam lima pengertian, yakni: Malaikat Jibril (Ruh al-Qudus), wahyu, rahmat Allah, kenabian, hidup dan kehidupan (Ali, 2002: 80).
Dua Kategori Ruh Menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, mengkatagorikan ruh pada dua katagori. Pertama, roh yang berhubungan dengan jasad. Roh ini erat hubungannya dengan jantung, di mana ia beredar bersama peredaran darah, sehingga kalau detak jantung sudah berhenti, maka berakhir pulalah roh ini.
Roh dalam kategori ini pula yang menjadi sumber pengindraan, dia adalah laksana cahaya yang melimpah dari sebuh pelita ke segenap penjuru rumah. Kedua, roh sebagai al-lathifah al-alimah al-mudrikah min al-insan (sesuatu yang halus yang memungkinkan mengetahui dan mempersepsikan, yang terdapat dalam diri manusia) (Ali, 2002: 82).
Di sinilah letak keautentikan manusia sebagai makhluk rohaniah dalam dimensinya sebagai manusia rohani. Karena roh bersifat Ilahiah tentu ia (roh) ingin dan rindu kepada fitrah kemanusiaan (suci, bening, benar, dan baik), sebagaimana roh yang ditiupkan oleh Sang Maha Suci pada diri manusia.
Pemahaman seperti inilah seharusnya menyadarkan manusia, bahwa dirinya adalah manusia yang dimasuki dimensi rohani dalam dirinya, sehingga ia akan menjalani kehidupan dengan kehati-hatian. Supaya nantinya ia akan kembali kepada Sang Maha Suci, Allah Swt yang menciptakannya dalam kesucian diri.
Pribadi yang Berkarakter Hanif
Pribadi yang berkarakter hanif senantiasa hati-hati dan waspada. Kesadaran Imani–nya akan muncul dengan senantiasa menyaksikan sinyal langit yang difirmankan Sang Maha Cinta Agung dalam Al-Qur’an yang suci lagi mulia:
Pertama, mengetahui asal-usul kejadiannya, sehingga ia memiliki rasa tanggung jawab jasmani dan rohaninya pada Sang Khaliq. Sebagaimana firman Sang Maha Cinta Agung:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.(7) Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.(8)Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.(9) (QS. As-Sajadah {32}: 7-9)
Kedua, teguh memegang perjanjian primordialismenya dengan Tuhan dan tidak lengah pada komitmennya sebagai manusia-tauhid dan manusia rohani. Seperti firman Sang Maha Cinta Agung:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”,(172) Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”(173) Dan demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran).(174) (QS. Al-A’raf {7}: 172-174)
Ketiga, mewaspadai bahwa roh akan menuju alam keabadian. Sebagaimana firman Sang Maha Cinta Agung:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Ali Imran {3}: 185).
***
Keempat, Allah senantiasa memberi ujian dan cobaan supaya tampak autentisitas dirinya sebagai manusia rohani. Seperti firman Sang Maha Cinta Agung:
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (QS. Ali Imran {3}: 186)
Kelima, Allah lah yang mengendalikan jiwa/roh manusia. Sebagaiman firman Sang Maha Cinta Agung:
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (QS. Az-Zumar {39}: 42)
Yang dimaksudnya dengan orang-orang yang mati dalam ayat di atas adalah orang yang mati rohnya, yang ditahan Allah sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya; dan orang-orang yang tidak mati, yakni orang yang hanya tidur saja, rohnya dilepaskan sehingga dapat kembali kepadanya lagi.
Keenam, Pada saatnya jiwa/roh akan diambil oleh Allah. Seperti firman Sang Maha Cinta Agung:
Maka Mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan,(83) Padahal kamu ketika itu melihat,(84)Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat,(85) Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)?(86) Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?(87) Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),(88) Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki serta jannah kenikmatan.(89) (QS. Al-Waqiah {56}: 83-89).
***
Ketujuh, setiap jiwa menyaksikan sepak-terjangnya dahulu di dunia pada hari kimat nanti. Sebagaimana firman Sang Maha Cinta Agung menjelaskan:
Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. (QS. At-Takwir {81}: 14)
Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya. (QS. Al-Infithaar {82}: 5)
Dari uraian di atas amat jelas, bahwa karakter hanif merupakan karakter yang rindu kebaikan dan cinta kebenaran. Sehingga sepakterjangnya dalam kehidupan senantiasa berpegang pada nilai kebaikan dan kebenaran. Karakter hanif senantiasa memelihara kefitrahan dirinya untuk tetap suci, bening, benar, lurus dan baik. Ketika salah menerba, percikan dosa mendera, salah dan khilaf hadir pada dirinya, iapun mengusung pertobatan dalam tazkiyatunnafs supaya kembali menjadi suci, bening, jernih, lurus, benar dan baik di hadirat Allah. Itulah esensi karakter hanif. Wallahua’lam bishshawab.
Editor: Yahya FR