Manusia yang dihadirkan di bumi Allah ini bukanlah sekedar meramaikan setiap ‘karnaval’ kehidupan, mulai dari pesta kelahiran, pentas khitanan, pesta pernikahan hingga saat kematian.
Peristiwa alam, mati dan hidup, tidak bisa dianggap sebagai peristiwa biasa. Setiap peristiwa merupakan wujud ‘tanda’ dan ‘sinyal’ langit yang terpantul pada bumi dengan segala konsekuensi sunatullah.
Mungkin ada yang beranggapan hidup merupakan proses manusia berkembang dan menggali potensi dirinya; juga ada yang menganggap mati sebagai proses perpindahan alam, atau istirahat dari ‘kepenatan’ hidup yang penuh masalah (misteri, tragedi dan komedi). Namun, konsep Islam sangat luas dalam memaknai hidup dan mati yang menjadi peristiwa sunatullah pada setiap diri manusia.
Dalam Al-Qur’an Allah menyatakah:
“Yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2).
***
Menurut M. Quraish Shihab, klausa ayyukum ahsan ‘amalan dalam ayat-ayat tersebut hendak menegaskan bahwa penciptaan langit dan bumi dalam enam masa dan penciptaan mati serta hidup manusia, padahal Allah Maha Kuasa untuk menguji manusia dalam wujud penciptaan langit, bumi, mati dan hidup manusia. Interaksi dan interelasi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sekitar merupakan interaksi dan interelasi yang sarat dengan ujian dan penilian Allah.
Dilihat dari relevansi ayat (munasabah) ayat 1 surat al-Mulk, menjelaskan Allah, selain sebagai sumber kebaikan, juga tugas yang memiliki kekuasaan yang salah satu kekuasaan-Nya menciptakan mati dan hidup untuk menguji manusia agar dapat diketahui siapa yang terbaik dari amal-amal manusia. Penyebutan mati dan hidup dari sekian banyak kekuasaan Allah tersebut sebagai bukti paling jelas tentang kekuasaan-Nya dalam konteks kekuasaan manusia. Hidup tidak dapat diwujudkan oleh selain Allah dan mati pun tidak dielakkan oleh siapapun (Shihab, 2010, 342-343)
Secara teologi, peran Allah sangat tinggi dalam mati dan hidup manusia. Sebagai manusia kita harus memaknai tentang misi kekhalifahan di muka bumi ini. Misi kehadiran manusia esensinya adalah memakmurkan bumi Allah dengan amal kebajikan yang bermanfaat pada semua manusia dan alam sekitar. Sehingga mendapat kemanfaatan untuk setiap pribadi manusia yang melakukannya.
Manusia Berkompetensi dalam Kebaikan
Ada tiga tugas kekhalifahan manusia di muka bumi ini, yakni: tugas kekhalifahan terhadap dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Sehingga karakter hanif harus menjadi elan vital dalam menggerakkan potensi diri pada nilai kebajikan kolektif.
Nilai kebajikan merupakan akhlak mulia disebabkan kebajikan merupakan fitrah manusia yang hanif, yakni suci, bening dan sublim. Sekaligus merupakan energi positif dalam hidup dan kehidupan.
Semua insan yang gemar pada kebaikan dan senantiasa melakukannya merupakan cermin Insan Kamil (manusia paripurna). Keistikamahan dalam nilai kebajikan merupakan sebuah proses perenungan yang memberi pemaknaan pada fungsi hidup dan misi kekhalifahan di bumi.
Kebajikan yang dilakukan manusia tidak hanya merupakan keecenderungan diri yang hanif. Akan tetapi motivasi berbuat kebajikan akan mendapat ganjaran dari Allah. Ganjaran atau pahala bisa saja yang berbentuk penghargaan, penghormatan dan asesoris pertisius, yang disebuu dengan piala atau ‘pahala’ dunia; serta bisa saja pahala atau ‘piala’ akhirat berupa amal jariah dunia yang berkekalan di alam akhirat, sebagaimana firman Allah yang menegaskan:
Karena itulah Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala baik yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Ali Imran: 184).
Ayat di atas dapat dimaknai, bahwa sebagai manusia yang berperan sebagai ‘mandataris’ Tuhan di muka bumi, harus mengambil ‘peran’ kesejarahan yang otentik (hanif). Sebab, jejak-jejak dan napak tilas kehidupan akan menjadi warisan dan tongkat estapet bagi generasi selanjutnya.
Menurut Abdullah Yusuf Ali, manusia dimotivasi melakukan aktivitas kebajikan agar mereka dapat berjuang mencapai sesuatu yang mulia (Ali, 1977: 1576).
Sangat jelas sekali, bahwa kompetensi manusia dalam kebaikan, tidak hanya untuk pahala dunia, akan tetapi juga untuk pahala akhirat. Maka, motivasi banyak melakukan kebaikan selain sebagai amal jariah dunia juga amal kebajikan akhirat. Prinsip dan teologi kompetensi kebajikan harus menjadi tradisi positif, supaya otentisitas sebagai manusia mulia dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata,
Keistikamahan dalam Kebaikan Wujud Karakter Hanif
Kehadiran manusia dan peran manusia sangat memberi arti bagi dirinya sendiri di dunia ini, serta menjadi penentu episode kehidupan berikutnya di alam sana (akhirat). Esensi manusia dan kemanusiaan adalah, seberapa besar konstribusi kebaikan yang sudah diistikamahkan dalam kehidupannya. Diri sejati manusia adalah nilai kebajikan yang ia konsisten melakukannya dan menjadi karakter (akhlak) keseharian. Karena kebaikan itulah sebagai ‘identitas’ kesejatian sebagai ‘mandataris’ Tuhan yang diamanahkan ruh dariNya.
Maka setiap kebaikan yang diistikamahkan bukanlah tanpa ganjaran dari Allah. Allah tidak tidur, Dia akan membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih sempurna. Seperti firman SAllah:
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula (QS. Ar-Rahman: 60).
Tidak ada kerugian dalam mengistikamahkan nilai-nilai kebaikan pada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sebab, semua manusia memiliki kecenderungan pada yang baik, suci, bening dan sublim.
Kebaikan yang dilakukan sebenarnya tidak dilihat dari besar atau kecilnya perbuatan yang dilakukan, bukan pula hanya dilakukan pada orang yang dikenal saja, dan bukan pula pada sesama manusia saja. Akan tetapi juga dilakukan pada orang yang tidak dikenal dan pada semua makhluk termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Bagi Allah, setiap amal jariah (kebajikan) tidak hanya hal-hal yang besar saja. Pada sesauatu yang sangat kecil sebesar zarrah pun Allah tetap memberikan penilaian dan akan tetap mendapatkan balasan yang setimpal, sebagaimana firman Allah:
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar Zarah pun niscaya dia akan melihat balasannya (QS. Az-Zalzalah: 7).
***
Dalam teologi Islam, sekecil apapun perbuatan tidak terlepas dari pantauan malaikat dan Tuhan. Manusia bebas memilih melakukan apa saja. Sebab, konsekuensinya kembali pada diri manuisa itu sendiri. Maka tidak ada kemubaziran dalam berbuat baik, dan perbuatan baik akan kembali kepada yang melakukannya, seperti firman Allah:
Jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri (QS. Al-Isra:7)
Dalam pandangan orang dulu, “Apa yang di tanam, maka itu yang akan di panen.” Perbuatan jahat maupun perbuatan baik, pasti akan kembali kepada pelakunya. Sehingga dalam hidup harus senantiasa ingat kepada Allah dan mawas diri.
Dan esensi kebaikan yang dilakukan adalah sedekah seperti sabda Rasulullah Saw:
“Setiap kebaikan adalah sedekah.” (HR. Bukhari)
Karena kebaikan merupakan amal jariah bagi manusia yang esensinya sedekah. Maka sangat naïf sekali apabila manusia tidak gemar dalam melakukan kebajikan sepanjang hidupnya.
Editor: Yahya FR