Perspektif

Karakter Ihsan: Menuntun Hati ke Hadirat Ilahi

6 Mins read

Mengaca pada diri kita sendiri, patut menjadi renungan bagi kita sebagai manusia, bahwa Allah telah mengatur denyut jantung bertegub 80 kali per menit, 4800 kali per jam, dan 120.000 kali denyut per hari. Mungkin ada yang beranggapan hal sebut adalah biasa! Namun, apabila terjadi masalah dalam degub jantungnya, saat itulah manusia menyadari, bahwa manusia sesungguhnya tidak memiliki kuasa atas dirinya.

Siapapun orangnya, bagaimanapun kedigdayaannya manusia, ia pasti tidak mampu menghalangi dirinya dari sakit dan mati. Materi, kursi, ambisi yang dimiliki tidak mampu kondisi terburuk pada dirinya. Semuanya mungkin bisa diusahakan, namun tidak dapat dipastikan! Maka, disanalah manusia baru menyadari, bahwa ada yang Maha Digdaya atas dirinya, yakni Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah yang sangat dekat dan mengayomi manusia dalam segala situasi dan kondisi.

Sebenarnya Allah SWT Maha Dekat dengan hamba-hamba-Nya sebagaimana disinyalir oleh ayat:

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadi lehernya.”

Akan tetapi, pernahkah kita merasa dekatnya Allah kepada kita? Pernahkah kita rasakan lembutnya belaian kasih Ilahi pada kita? Dan, pernah kita rasakan tegoran Ilahi atas perbuatan jelek kita? Jika kita dapat merasakannya, maka bersyukurlah, karena kita termasuk orang yang mendapat keberuntungan. Akan tetapi, jika kita belum, tentu kita akan bertanya kepada diri kita sendiri, “Kenapa saya tidak merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup saya? Bukankan Allah sendiri menyatakan bahwa Dia dekat dengan saya seberapa tebal tabir pemisah antara saya dan Tuhanku?

Tabir bermisah itu di samping topeng-topeng duniawi tadi, kata sufi, Maymun ibn Marhan, ialah dosa-dosa yang kita perbuat. Dosa-dosa itu bagaikan asap gelap yang menyelimuti hati kita, sehingga kita tidak dapat menatap Wajah Ilahi dari jendela hati kita, karena itu kita senantiasa berada dalam kegelapan (Ali, 2002: 132).

Karakter Ihsan Terlahir dari Hati yang Bening

Ibnu Athaillah dalam Kitab Al-Hikam menjelaskan:

“Bagaimana mungkin hati manusia akan memancarkan cahaya, bila cermin hatinya masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam dunia? Bagaimana bisa seseorang menempuh perjalanan menjumpai Allah, sementara ia terbelenggu dengan nafsu syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba yang masuk ke hadirat Allah, sedangkan ia belum bersih dari jenabat kekalaian. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai berbagai rahasia yang halus dan dalam, sementara ia belum juga bertobat dari kesalahannya.” (Athaillah, 2006: 59-60)

Berbinar-binarnya sinar hati adalah dengan cahaya keimanan dan keyakinan. Sebaliknya gelapnya hati adalah karena gambaran dunia yang mengasyikkan bergelayut  melumuri hatinya. Kecintaan akan dunia dan perhiasan-perhiasannya membuat hati tertutup dan menjadi gelap.

Orang yang meniti jalan untuk menjumpai kehadirat Allah haruslah dapat mematahkan dan membebaskan diri dari perilaku nafsu syahwat.

Untuk dapat memasuki kehadirat Allah menuntut kesucian dan kebersihan orang-orang yang hendak masuk ke hadirat-Nya.

Baca Juga  Islam Adalah “Berdamai dengan Allah”

Keadaan suci ini merupakan hal yang berlawanan dengan keadaan jenabat kelalaian. Sehingga dalam kondisi junub, masih berlumuran dosa dan kelalaian mustahil seseorang bisa berjumpa kehadirat Allah. Kondisi terakhir ini, justru membuat seseorang terpental dan terlempar jauh dari hadirat Allah. Dan pemahaman akan kehalusan rahasia hakikat-hakikat terdalam yang tereleksi dari ketakwaan adalah lawan dari kecerobohan berkelimangan kemaksiatan dan berlumuran dosa-dosa.

Allah telah mengisyaratkan dalam firmannya:

“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”.(QS. Al-Baqarah: 282)

Sementara itu diriwayatkan pula dalam hadis Nabi SAW:

“Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang dimiliki, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu-ilmu yang belum diketahuinya.”

Dalam konteks antara dua hal yang selalu berlawanan tersebut, Ibnu Athaillah merasa heran terhadap orang yang berkayakinan akan dapat berkumpulnya dua hal yang saling kontradiktif tersebut. Yaitu orang yang menginginkan memperoleh derajat sebagai pembesar yang mulia, sementara kondisinya carut marut bergelimangan dengan dosa dan kemaksiatan (Athaillah, 2006: 61).

***

Apabila kita pahami bersama, manusia adalah wujud yang fakir dan penuh kekurangan. Hakikatnya tidak lain sangat butuh dan bergantung kepada hak daripada Allah. Karena itu emanasi Tuhan kepadanya tidak pernah terputus sama sekali. Dan sebagai perwujudan terima kasihnya kepada pemberi wujudnya, jalannya adalah ibadah kepada-Nya.

Dapat kita pahami, bahwa kepemimpinan manusia terdapat pada akal dan pikirannya yang sehat, sedangkan bahaya manusia terdapat pada potensi hati yang kotor dan nafsu yang tak terkendali, karena padahal itulah, kehendak manusia tidak terbatas.

Apabila ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya manusia hidup dari hati rohaninya. Manusia ‘semedi’ (bertempat tinggal) hakikinya adalah di hati rohaniahnya. Sehingga hati rohani adalah sebuah perjalanan panjang (vertikal dan horizontal/ isra’ dan mikraj) dalam jangkar waktu yang tak tertentu sampai melewati beberapa alam (saat hidup maupun mati nantinya). Maka, sesungguhnya manusialah yang menelusurinya dengan berbagai ‘perjalanan’ lintas waktu di hatinya; manusialah yang menuju kepuasannya dalam anggan dan cita-citanya; manusialah yang merasakan kesejahteraannya dalam rasa penerimaan; serta, manusia pula yang ikut merasakan kebahagiaannya dari Tuhannya. Berbagai makhluk menghalanginya, terkadang atau seringkali dirinyalah yang merintanginya (penjara-penjara kehidupan dan belenggu diri).

***

Pada esensinya, hati adalah ‘sentral’ (pusat) segala keinginan (kehendak) yang membuat manusia mengalami segala bentuk gejala kejiwaan (psikologis), seperti: tertawa dan menangis, sedih dan gembira, sukaria dan berputus asa. Maka, dapat dipahami, bahwa manusia selalu menjadai ‘pengebara’ di hatinya, sedangkan pikiran membantunya. Dengan demikian, pikiran terus bekerja sekuat-kuatnya, pikiran terus ‘menerawang’ (berevolusi), sehingga pikiran tidak bisa istirahat (tidur), dan  pikiran terus  ‘dilecuti’ untuk lebih cepat dari melintasi semua lini kehidupan dan dimensi semua alam yang mungkin untuk ditapaki.

Maka, hati tidak selalu mengerti persis apa yang dikehendakinya ia hanya bisa berkiblat ke Tuhannya untuk memperoleh kejernihan dan ketepatan kemauannya.

Baca Juga  Lima Tahun IBTimes.ID: Temu Penulis Muda Bincang Strategi Baru Narasi Islam Digital

Dengan demikian, perlu kesadaran diri, bahwa hidup manusia dalam ‘liputan’ malaikat yang diberi tugas oleh Allah sepanjang waktu, seperti firman Allah:

“(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaf: 17).

Karakter Ihsan sebagai Puncak Keimanan Sang Hamba

Ihsan menurut Nabi SAW, ialah ketika kita mampu menghayati kehadiran Ilahi di dalam hidup kita, beliau bersabda:

“Ihsan ialah bahwa engkau mengabdi kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, {engkau rasakan} bahwa Dia melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi, ihsan adalah penghayatan yang sedalam-dalamnya akan kehadiran Tuhan: Ketika kita menyembah kepada Tuhan seolah kita melihat-Nya (al-ihsan –u huwa an ta’bud-a,l- Iah-a anna ka tara-hu). Dalam hadis ini memang seolah-olah dibolehkan kita mempunyai bayangan tentang Tuhan karena kita tidak mungkin berpikiran secara abstrak murni. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa gambaran kita tentang Tuhan tidak boleh di mutlakkan, apalagi menggambarkan Tuhan sebagai bayangan kita yang pada akhirnya Tuhan seperti ciptaan kita sendiri. Inilah yang dinamakan berhala (Madjid, 2002: 74)

Ihsan,  kata Ibnu Qayyim al-Jauziyah, adalah puncak keimanan. Pada taraf iman, mukmin meyakini dengan sepenuh kalbunya akan adanya Tuhan, tetapi ketika sampai pada taraf ihsan, Muhsin merasa kehadiran Tuhan sepanjang hayatnya. Oleh sebab itu, setiap kali dia akan terjebak kepada perbuatan terkutuk, dia merasakan ada tangan gaib yang mencegah dan mencegahnya.

Dari itu, ketika Yusuf dan Zuleha hampir saja terjebak pada perbuatan mesum, di mana gelora nafsu telah menutup mati peran akal,  sehingga tiada lagi sinar yang dapat menguak kabut pekat itu, tiba-tiba Yusuf tersentak oleh tangan gaib, sehingga dia sadar bahwa dia telah berada dalam perangkap nafsu dan setan, maka serta merta dia balik kanan dari perbuatan terkutuk itu.

Dalam suatu perjalanan di luar kota Mekah, Ibnu Umar r.a melihat seorang anak gembala yang sedang menggembalakan puluhan ekor kambing. Ibnu Umar meminta kepadanya, “ Juallah seekor kambingmu ini.” Si Gembala membalas, “Kambing ini bukan milikku, tetapi milik tuanku.” Sahur Ibnu Umar, “Katakan saja kepada tuanmu bahwa serigala telah menerkam seekor kambingnya.” Sang Gembala menantang dengan bertanya, “Bukankah Allah Bukankah Allah melihat yang sebenarnya?” Mendengar jawaban anak gembala itu, Ibnu Umar merasa terharu dan merasa telah mendapatkan ajaran yang sangat berarti Tak lama kemudian dia membebaskan gembala itu dari perbudakan.

***

Allah berfirman:

“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak,” (QS. Ibrahim: 42)

Baca Juga  Omnibus Law 'Musuh Besar' Pancasila

Allah tidak pernah absen dari seluruh kegiatan kita.  Seluruh kegiatan kita dicatat Allah. Segalanya harus kita pertanggungjawabkan di hadirat-Nya. Kalau kita menyadari itu, kita akan mendapat bimbingan Allah dalam kehidupan. Ketika Rasulullah SAW berduaan bersama Abu Bakar di gua Tsur dalam perjalanan hijrah ke Madinah. Ketika musuh mendekat ke gua dan Abu Bakar merasa sangat takut, Nabi dengan tenang mengatakan,  “Jangan cemas Sesungguhnya Allah bersama kita ,”La tahzan inna Allaha ma ‘ana. (Ali, 2002: 139)

Allah berfirman:

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Mujadalah: 7).

Karakter Ihsan sebagai Etos Spiritual Masyarakat Modern

Dalam menghadapi kondisi dunia saat ini, maka karakter ihsan harus dijadikan sebagai etos spiritual masyarakat modern. Dengan etos spiritual itulah tatanan kehidupan masyarakat modern akan tertata rapi dan dinamis.

Menurut Nurcholis Madjid, seorang muslim adalah seorang yang senantiasa modern, maju, progresif, terus-menerus mengusahakan kebaikan-kebaikan bagi diri dan masyarakatnya. Dan inilah yang disebut dengan ihsan (harfiah: memperbaiki), salah satu dari dua perintah Tuhan dalam Firman-Nya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu akan keadilan dan ihsan.” (QS 16: 90) (Madjid, 1987: 175)

Mengapa sangat dibutuhkan etos spiritual yang berbasis pada karakter ihsan? Sebab, dari sudut agama pangkal kesuksesan dalam semua bidang kegiatan ialah ihsan nilai kerohanian ini meneladani melandasi kesungguhan dan dedikasi menuju kepada optimalisasi kerja sehingga menghasilkan sesuatu yang sebaik-baiknya ini bukanlah anjuran untuk perfeksionisme melainkan optimisme (Madjid, 2002: 25)

Untuk mencapai nilai optimal, agama memberi petunjuk agar kita tanamkan dalam diri kita etos Ihsan, yang secara harfiah berarti bekerja sebaik-baiknya. Dalam bidang keruhanian murni, Nabi Saw. memberi petunjuk, “ihsan ialah bahwa engkau menyembah Tuhan seolah-olah engkau melihat Tuhan itu.” (Hadits Rasulullah Saw. ditanya tentang ihsan, lalu beliau menjawab), “Yaitu hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihatnya maka {ketahuilah} Dia itu melihat engkau.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad) (Madjid, 2002: 26)

Dengan demikian, apabila karakter ihsan telah terlahir dari kebeningan hati dan bertranspormasi menjadi ‘habit’ sehingga sang hamba berada pada puncak keimanan yang tertinggi. Ketika sudah mencapai  karakter ihsan tersebut maka harus menjadi etos spiritual dalam memajukan masyarakat modern dalam berbagai lini kehidupan, sesuai dengan profesi yang dijalani. Sebab, kesalehan individual harus berbanding lurus dengan kesalehan social.

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds