Oleh: Firdaus Al Hakim*
Saat menulis tulisan ini, saya sedang duduk mengamati jalanan Jogja di siang yang terik. Jogja semakin sesak kendaraan yang berlalu-lalang tiada henti. Pengamatan saya kemudian menghasilkan satu kesimpulan; orang-orang semakin kurang santai saat berkendara. Entah karena faktor mobilitas yang demikian cepat, atau faktor cuaca yang belakangan ini terasa sangat terik.
Saya kemudian teringat pepatah Jawa yang mungkin sudah tak asing lagi, yaitu “Alon-alon waton kelakon”. Pepatah yang sejatinya mengingatkan kita untuk tidak perlu terburu-buru, yang penting terwujud. Atau kalau dikondisikan dengan paragraf awal tadi dapat diartikan, pelan-pelan asal selamat sampai tujuan. Namun, seiring berjalannya waktu pepatah ini semakin pudar oleh tuntutan zaman yang serba cepat.
Era percepatan membuat kita mudah menyalahkan orang yang bergerak lambat. Seperti ketika menunggu lampu merah berganti hijau, ada saja kendaraan roda empat yang lajunya menghambat pengendara lain yang tidak ingin terkena lampu merah lagi. Kalau sudah begitu, mau tidak mau harus siap menerima resiko diteriaki, diklakson keras-keras, dan resiko tekanan batin lainnya.
Tuntutan ini secara nyata dapat kita lihat pada kejadian beberapa waktu lalu. Seorang pelajar meninggal dunia akibat tertabrak bus Trans Jogja di simpang empat UPN Veteran Yogyakarta. Alasannya sepele, supir bus Trans Jogja secara sadar menerobos lampu merah karena tanggung.
Ya, mau bagaimana, kalau tidak buru-buru dan ugal-ugalan, nanti jadwal bus Trans Yogya malah jadi molor. Waktu istirahat supir pun jadi terpotong.
Ketika sedang berkendara sering pula kita menjumpai pengendara lain yang kedapatan sedang bermain ponsel. Ponsel di tangan kiri, gas di tangan kanan. Sementara pandangan secara sigap bergantian melirik ke depan, melirik ke bawah, tak mau kecolongan. Pengendara seperti ini jamak kita temui. Mengingat tak cukup kalau hanya dituntut bergerak cepat, kita juga perlu memiliki softskill melakukan banyak hal dalam satu waktu alias multitasking.
Bermain ponsel saat berkendara tentu berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Konsentrasi menjadi terpecah antara melihat ponsel atau melihat jalan. Daripada menimbulkan bencana, alangkah baiknya fokus saja berkendara terlebih dahulu, atau kalau memang sangat diperlukan, cari tempat yang sekiranya aman untuk berhenti. Bisa juga saat terkena lampu merah kalau waktunya memungkinkan untuk cek ponsel.
Tapi, tentu kita mengabaikannya.
Kita seolah tutup mata pada Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 106 yang mewajibkan pengemudi berkendara dengan wajar dan penuh konsentrasi, juga Pasal 283 yang mengatur pidana kurungan paling lama tiga bulan dan denda paling banyak 750.000 rupiah.
Bagaimana mau peduli, pemerintahnya saja tidak cakap menangani pengesahan dan revisi Undang-Undang, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Kita juga tidak peduli pada hasil penelitian Governors Highway Safety Association (GHSA) yang menyebutkan penggunaan ponsel saat berkendara, jadi salah satu penyebab terbesar terjadinya angka kecelakaan jalan raya di Amerika Serikat.
Ya, mau bagaimana lagi, kita sudah hidup di zaman yang serba cepat. Kalau bisa dilakukan dalam satu waktu sambil jalan, mengapa tidak?
Apa-apa yang dilakukan serba cepat ini mengingatkan saya beberapa waktu lalu saat dosen mengajak mahasiswanya berdiskusi mengenai kerja jurnalis. Ada salah seorang teman yang perkataannya membuat saya sependapat dengannya. Bahwa kode etik jurnalis yang sudah ada kurang sesuai dengan tuntutan zaman yang serba cepat.
Tak cukup kalau hanya menjalankan kode etik dengan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, dan berimbang. Wartawan hari ini juga perlu menghasilkan berita yang tak hanya faktual tapi juga aktual. Kerja sudah berat, kini semakin tambah terbeban. Tak salah bila dosen saya kemudian berkata, “Menjadi seorang wartawan itu hidupnya tidak pernah tenang.”
Ya, mau bagaimana, kalau tidak mau selalu update, nanti akan kalah oleh portal berita lain.
Di lain waktu saat berkunjung ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Yogyakarta, ada satu kondisi yang membuat saya ingin khawatir. Di awal pembicaraan, pemateri–yang saya lupa siapa namanya, mengajukan satu pertanyaan kepada mahasiswa yang datang, termasuk saya. Pertanyaannya begini,
“Siapa yang ingin jadi wartawan?”
Satu pertanyaan singkat yang langsung membuat kami semua diam, saling tatap, tanpa ada yang mengangkat tangan. Entah ini kondisi yang harus disyukuri, mengingat kuliah semester ini cukup membuka mata kami bahwa bekerja menjadi seorang wartawan adalah pekerjaan yang tidak mudah–pekerjaan lain pun sebetulnya demikian. Atau justru menjadi sebuah ironi mengingat saya dan teman-teman berada di jurusan yang bahasannya tidak lepas dari jurnalistik.
Pemateri–yang saya lupa namanya itu, juga menyetujui kalimat di atas sebelumnya bahwa menjadi wartawan tuntutannya semakin, berat ditambah penghasilan yang didapat tidak seberapa. Belum lagi masalah perlindungan hukum bagi wartawan yang jauh dari kata aman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) juga mengatakan hal yang serupa. Masih ada sejumlah media yang mengupah jurnalisnya di bawah UMP. Ketidaksejahteraan ini kemudian secara tersirat mengimplikasi bahwa sebagian wartawan hari ini cenderung bersikap pragmatis.
Dalam kesempatannya saat itu, beliau mengatakan pentingnya menjaga sebuah idealisme di tengah himpitan zaman dan pergolakan. “Tidak hanya hati, tetapi pikiran, dan tindakan juga harus selaras,” tuturnya menutup sesi diskusi hari itu.
Sebentar, sebentar, saya kira pembahasan awal tadi sedang membahas karakter pengendara saat ini, mengapa jadi melebar ke pembahasan kerja jurnalis? Ya, sudahlah tidak apa-apa. Namanya juga tuntutan zaman serba cepat, kalau bisa dibahas dalam satu tulisan dan dapat dibaca dalam satu kali duduk, mengapa tidak?
*) Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta