Karakter Qanaah I Kehidupan sudah menjadi ‘arena’ untuk persaingan dan juga kompetensi yang tidak mengenal rasa kemanusiaan. Seakan-akan pendidikan tidak lagi menjadi penentu kesuksesan dan status sosial seseorang. Sebab egosentris sudah merajai, sehingga manusia berebut untuk membuat ‘kerajaan mini’ pribadinya yang bersifat privasi sehingga dirinya layak disebut sebagai ‘sultan” yang memiliki segala bentuk fasilitas dan popularitas: kedigdayaan diri begitu pertisius!
Ego materialisme melahirkan segala bentuk sikap hidup yang individualism, hedonisme dan premisivisme. Memang ada yang mendapatkannya dengan segala bentuk kerja keras dan profesionalismenya dari profesi yang dilakoninya. Akan tetapi ada juga yang mendapatkannya dengan cara-cara yang tidak halal.
Terkadang seperti ‘rumah” semut yang dibuat begitu tinggi membumbung ke langit namun setelah itu runtuh seketika ketika diketahui oleh KPK, bahwa harta yang tersembunyi di rumah semut itu adalah didapat dengan cara yang tidak halal. Bagi yang belum di ‘tropong’ oleh KPK sibuk membuat rumah semut dari satu tempat ke tempat yang lainnya, sampai tanah kuburan masuk ke mulut di akhir hayat nantinya.
Memang apapun yang dipilih dalam hidup adalah sesuai dengan keinginan masing-masing manusia. Memilih hidup mewah, berfoya-foya dan boros, atau hidup sederhana sekalipun tidak ada yang berhak untuk melarang karena itu wilayah privasi seseorang.
***
Ibarat memiliki status di media sosial, siapapun berhak menulis dan memposting segala bentuk keadaan dan status sosialnya tanpa harus peduli dengan komentar para pemirsa. Namun hukum sosial menghendaki adanya sikap bijak dan welas asih terhadap sesama sehingga ada norma, etika, dan kaidah hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi baik menurut agama maupun hukum negara.
Islam mengajarkan hidup sederhana. Hidup sederhana adalah hidup secukupnya, tidak mewah yang melebihi batas sehingga berlebih-lebihan dan boros kendati mampu, tetapi tidak juga berkekurangan sehingga butuh atau miskin dan menderita atau terkesan demikian padahal kemampuannya dapat mengelakkannya dari penderitaan atau kesan itu. Dengan kesederhanaan, yang mampu tidak akan tampil menonjolkan kelebihannya atau memanjakan diri dengan aneka fasilitas dan kemewahan. Sebaliknya, yang tidak memiliki kemampuan tidak akan “sok” membusungkan dada atau menghalalkan segala cara, termasuk menyusahkan/mencelakakan diri sendiri untuk memperoleh harta. (Shihab, 2016: 197)
Pengertian Qanaah
Qanaah adalah puas dengan apa yang diterimanya.
Kebanyakan ahli tafsir mengatakan, “Kehidupan yang baik di dunia adalah qanaah (menerima atau merasa puas).”
Dari Jabir bin Abdullah, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW, bersabda: “Qanaah ibaratkan harta simpanan yang tidak akan rusak.” (HR. At-Thabrani)
Menurut pandangan ulama Sufi, bahwa qanaah adalah sikap tenang karena tidak ada sesuatu yang dibiasakan. Sementara Bisyr Al-Hafi berpendapat, bahwa qanaah ibarat raja yang tidak mau bertempat tinggal kecuali di hati orang beriman. Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Kedudukan qanaah adalah permulaan rela sedangkan wara adalah zuhud.”
Abu Bakar Al-Maraghi mengatakan, “Orang yang berakar sehat adalah orang yang mengatur urusan dunia dengan sikap qanaah dan memperlambat diri, dan mengatur urusan akhirat dengan ilmu dari ijtihad.” Abu Abdillah bin Hafiz, qanaah adalah meninggalkan angan-angan terhadap sesuatu yang tidak ada dan menganggap cukup dengan sesuatu yang ada.”
Dalam pandangan Al-Ghazali, ia mengatakan, ketahuilah, seseorang dan juga yang fakir seharusnya merasa puas dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya, dan memutuskan harapan serta berpaling dari apa yang ada di tangan orang lain. Tidak menggebu dan besar kecintaannya untuk bekerja hanya demi mencari harta semata, tanpa mengenal waktu dan tidak pula halal dan haram. Bekerja mulai setiap hari untuk mencukupi kebutuhan yang tidak bisa tidak saja yaitu kebutuhan akan makan, pakaian dan tempat tinggal. Hendaklah sekedar mencukupi kebutuhan minimalnya, sehari demi sehari atau maksimal satu bulan, jadi tidak menyibukkan hatinya untuk kebutuhan melebihi batas maksimal rumah yaitu satu bulan, jadi apabila ia selalu merindukan dan mengharapkannya lebih banyak dari itu atau memperpanjang angan-angan, maka ia tidak memiliki sifat qanaah dan jiwanya terkotori oleh sifat rakus. Kerakusan itu akan mendorong menyeretnya berperilaku jahat dan berakhlak tercelakaan dan melakukan kemungkaran dan merobek-robek kehormatan dan kemuliaan ini manusia keturunan Adam memang memiliki karakter rakus sama dan sedikit qanaah. (Al-Ghazali, 2000: 239)
Kriteria Karakter Qanaah
Untuk dapat mengetahui seseorang itu memiiki karakter qanaah, maka harus diketahui ada beberapa kriterianya, yakni:
- Menerima dengan rela apa yang ada dengan penuh kesyukuran tanpa mencela dan keluh kesah.
- Memohon kepada Allah tambahan yang pantas dan selalu berusaha secara maksimal dan profesional.
- Menerima dengan sabar atas ketentuan Allah setelah berusaha sebagai wujud ketawakalan.
- Bertawakal kepada Allah dengan sesungguhnya.
- Tidak tertarik oleh tipu daya dunia dan bisikan setan.
Keutamaan Karakter Qanaah
Ada beberapa nilai utama yang dimiliki orang yang berkarakter qanaah, yakni:
1. Anak keturunan Adam memang memiliki karakter rakus dan tamak, hanya sedikit yang memiliki karakter qanaah.
Sabda Rasulullah SAW:
“Seandainya anak Adam memiliki dua lembah (ladang) emas, tentu dia akan mencari yang ketiga, dan tidak ada yang dapat membuat penuh perut anak Adam, kecuali tanah (mati) dan Allah akan menerima tobat orang yang benar-benar bertobat.”
2. Yang memiliki karakter qanaah terbebas dari kerakusan yang negatif.
Sabda Rasulullah SAW:
“Ada dua agar kerakusan yang tidak akan pernah kenyang; rakus akan ilmu dan rakus akan harta.”
3. Apabila tidak memiliki karakter qanaah maka seseorang akan bersikap rakus sampai lanjut usia.
Sabda Rasulullah SAW:
“Anak Adam telah mencapai usia pikun (lanjut usia) tetapi ia masih merasa muda dalam dua hal: yaitu dalam hal angan-angan dan cinta harta.”
4. Karakter qanaah merupakan sifat keteladanan Rasul-Nya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sungguh beruntung orang yang ditunjukkan pada Islam, karena hidupnya akan terpelihara dan terpuaskan dengannya.”
5. Orang yang berkarakter qanaah melepaskan ‘keterikatan’ dengan sesuatu dan ia merasa cukup dengan apa yang telah diberikan oleh Allah kepadanya: Disyukuri, dijalani dan dinikmati dengan kerelaan hati tanpa keluh-kesah.
Sabda Rasulullah SAW:
“Tidak ada seorang manusia pun dari yang fakir dan yang kaya, kecuali ia cinta pada hari kiamat, maka sesungguhnya ia diberi kekuatan (tercukupi kebutuhannya) di dunia.”
***
6. Yang memiliki karakter qanaah adalah memiliki kekayaan hati.
Sabda Rasulullah SAW:
“Bukanlah orang yang kaya itu karena banyaknya harta, tetapi sesungguhnya orang yang kaya itu ialah kaya hati.”
7. Orang yang berkarakter qanaah senantiasa menjaga komitmen dalam mencari rezaki.
Sabda Rasulullah SAW:
“Perhatikanlah wahai manusia, perindahlah jarak anda mencari harta, sesungguhnya seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali apa yang telah ditentukan baginya. Tidaklah seseorang hamba pergi untuk mencari harta duniawi melainkan ia hanya akan mendapatkan apa yang telah ditentukan baginya. Dunia adalah sesuatu yang rendah dan hina,”
8. Karakter qanaah melahirkan sikap adil terhadap diri sendiri.
Diriwayatkan, bahwa Nabi Musa bertanya kepada Tuhannya, ia berkata: “Siapakah diantara hamba-Mu yang paling kaya?” Allah berfirman: “Orang yang paling puas dan menerima apa yang telah Aku berikan padanya.” Dia bertanya lagi: “Siapakah diantara mereka yang paling adil?” Allah berfirman: “Orang yang dapat meluruskan dan berlaku adil terhadap dirinya sendiri.”
9. Orang yang memiliki karakter qanaah memiliki ketakwaan dan ketawakalan yang tinggi kepada Allah.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Ruhul Qudus (Malaikat Jibril) membisikkan ke dalam kesadaranku, Sesungguhnya seseorang tidak akan mati, hingga disempurnakan rezekinya. maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah usaha anda dalam mencari harta duniawi.”
10. Orang yang qanaaah adalah orang yang paling banyak bersyukur.
Sabda Rasulullah SAW:
“Jadilah anda sebagai orang yang wira’i, maka anda menjadi sebaik-baik manusia dalam beribadah. Dan jadilah anda sebagai orang yang qanaah, maka anda akan menjadi manusia yang paling bersyukur. Cintailah manusia sebagaimana anda mencintai diri sendiri, maka anda akan menjadi orang yang selamat dan terpercaya.”
***
11. Orang yang berkarakter qanaah hanya memakan dan meminum sekedar untuk keperluan dan menguatkan badan untuk ibadah.
Sabda Rasulullah SAW:
“Wahai Abu Hurairah, jika anda kelaparan, maka hendaklah makan sepotong roti dan segelas air. pandanglah dunia itu sebagai reruntuhan yang akan hancur.”
12. Orang yang berkarakter qanaah menjaga diri dari dalam segala situasi dan kondisi apapun.
Sabda Rasulullah SAW:
“Jika anda salat, lakukanlah salat itu sebagai salat terakhir (memohon diri/pamitan karena akan mati). Janganlah berbicara dengan sesuatu pembicaraan yang membuat anda besok tak dapat memberikan alasannya dan janganlah berharap terhadap apa yang ada di tangan manusia.”
13. Orang yang berkarakter qanaah menjaga diri dari meminta-minta pamrih dari manusia.
Sabda Rasulullah SAW:
“Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukannya dengan sesuatupun. Lakukanlah salat lima waktu, jadilah anda sebagai orang yang mau mendengarkan kebaikan dan menaatinya, sebaik-baik kalimat (perkataan) ialah yang lemah lembut, dan janganlah anda meminta sesuatu pun kepada manusia.”
14. Orang yang berkarakter qanaah sangat teliti dan hati-hati terhadap harta dan rezeki yang diterima, sebab harta harus dipertanggungjawabkan karena akan dihisab di akhirat.
Firman Allah Azza wa Jalla dalam Hadis Qudsi:
“Wahai anak Adam, seandainya dunia ini seluruhnya menjadi milik anda, maka tidak lain yang telah benar-benar anda miliki hanyalah apa yang sekadar anda makan. Seandainya Aku memberikan kesempatan kepada anda untuk dapat makan dari harta yang anda miliki, lalu Aku menjadikan hisab dari harta anda itu kepada orang lain, maka hal itu menunjukkan Aku berbuat baik kepada anda.”
15. Orang yang berkarakter qanaah merupakan pribadi yang mulia.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sungguh mulia orang yang bersifat menerima (qanaah) dan sungguh hina orang yang rakus.”
16. Sifat qanaah merupakan ‘deposito’ yang abadi.
“Sifat menerima (qanaah) merupakan simpanan kekayaan yang tidak akan pernah habis.”
Internalisasi Karakter Qanaah secara Psikologis
Untuk menjadikan sifat qanaah sebagai karakter yang melekat pada kepribadian seseorang, maka ada beberapa upaya dan usaha yang harus dilalukan, yakni proses internalisasi. Berikut ini pandangan para ulama salaf terhadap internalisasi kakter qanaah, yakni:
Sesungguhnya qanaah itu melatih jiwa menjadi lapang dada dan mengekang nafsu dari sikap rakus terhadap dunia. Sedangkan nafsu terhadap duniawi adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh orang-orang Sufi.
Orang yang ingin menjaga hati dari sifat rakus dan berlebih-lebihan maka ia wajib melatih jiwanya dengan qanaah. Sebab orang yang qanaah ia merasa puas dengan pemberian Allah. Ini bukan berarti ia tidak berikhtiar dan duduk menunggu sedekah dari orang lain.
***
Pengertian qanaah ialah di samping seseorang berikhtiar untuk mencari nafkah bagi kehidupannya, namun ia tetap memelihara. Ketika hasil dari ikhtiar itu didapatkannya, maka ia merasa cukup. Sifat inilah yang membangkitkan rasa syukur kepada Allah. Inilah kehidupan yang ‘baik’ di dunia dan selamat di akhirat.
Firman Allah SWT:
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan dia beriman niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97)
Kata-kata ‘kehidupan yang baik di dunia’ sebagian ahli tafsir mengartikan qanaah yaitu sebuah harta simpanan yang tidak ternilai harganya. Dikatakan demikian karena orang yang qanaah lebih ‘kaya hatinya’ dibandingkan orang kaya harta tetapi rakus. Orang yang kaya harta di dunia, memiliki kedudukan yang tinggi, namun hatinya menjadi sempit jika tidak qanaah. Sebaliknya, meskipun seseorang tampak seperti hidup serba pas-pasan atau bahkan miskin namun jika ia puas dengan apa yang diterimanya dari Allah maka dadanya menjadi lapang.
Hamba Allah selamanya tidak akan bisa bersyukur jika hatinya tidak qanaah. Dalam pandangan tasawuf bahwa orang kafir itu meskipun hidup namun sesungguhnya mereka mati. Sama halnya orang yang hidup hanya memanjakan hawa nafsunya belaka, ia dianggap ‘mati’. Mati yang dimaksudkan bukanlah mati raganya, tetapi mati hatinya; mati jiwanya. Sedangkan seseorang dapat dikatakan sebagai orang ‘hidup” jika hatinya mendapat kemuliaan dari Allah berupa qanaah.
Sebagai hamba seharusnya berserah diri, patuh dan taat terhadap kehendak Allah. Begitu pula dalam urusan rezeki yang diberikannya. Allah memberikan rezeki, maka seharusnya seseorang menerima dengan senang hati. tetapi jika ia menerima dengan merasa tidak puas, berarti ia tidak berserah diri, tidak patuh dan tidak taat kepadanya.
***
Seorang sufi yang menempuh jalan hakikat, haruslah berserah diri dan menghamba kepada Allah dengan qanaah. Menurut Muhammad bin aT-Turmidzi, bahwa qanaah adalah jiwa yang rela terhadap pemberian rezeki yang telah ditentukan.
Justru orang yang selalu tidak puas, maka ia akan senantiasa merasa kekurangan. Namun orang yang qanaah, jiwanya menjadi tenang dan mensyukuri rezeki dari Allah. Wahab mengatakan, “Kemuliaan dan kekayaan akan berkeliling mencari teman. Jika mereka telah menemukan qanaah, maka mereka akan menetap.”
Selain berlatih untuk merasa bersyukur dengan apa yang telah diterima, hendaknya seseorang suka memberi dan menolong orang lain. Betapa, hati akan merasa puas apabila seseorang berhasil memberi pertolongan (membantu) sesama saudaranya. Karena orang yang dianggap qanaahnya sempurna ialah jika ia gemar menolong dengan ikhlas hati. Dan inilah kebiasaan orang-orang sufi dalam menapaki jalan menuju makrifatullah meskipun secara lahir mereka memiliki kekayaan yang sedikit namun gemar bersedekah. Mereka mencontoh akhlak Rasulullah.
Melatih diri untuk berqanaah tidak akan berhasil jika seseorang tidak melemahkan sifat buruknya, yaitu sifat rakus. Karena itu, Ibrahim Al-Marastani berfatwa, “Balaslah kerakusanmu dengan qanaah sebagaimana engkau membalas musuhmu dengan qishash.”
Orang Sufi, walaupun menjaga hati dari cinta dunia, ia wajib mencari nafkah dengan bekerja. namun hendaknya dalam menghadapi hasil pekerjaannya ia merasa puas dan bersyukur. Jika bisa melatih demikian, maka hati akan menjadi tenang. lebih merasa tenang lagi jika ia rela memberikan sebagian rezekinya itu untuk orang lain. (Ar-Rummi, 2007: 259-260)
Kontekstualisasi Karakter Qanaah dalam Kehidupan
Karakter qanaah tidak cukup hanya menjadi wacana saja, akan tetapi harus dimunculkan dalam ruang publik, supaya nilai-nilai hidup sederhana menjadi ‘gaya hidup’ dan menjadi integritas diri yang semestinya bukan dibuat-buat. Berikut ini adalah pandangan para salaf terhadap kontekstualisasi karakter qanaah, yakni:
Umar ra berkata: “Sesungguhnya tamak (rakus) adalah kefakiran, sementara memutuskan keinginan terhadap apa yang di tangan orang lain adalah merupakan kekayaan.”
Ketika sebagian para hukama ditanya: “Apakah kekayaan itu?” Ia menjawab: “Minimnya harapan dan keinginan anda serta kerelaan terhadap apa yang mencukupkan kebutuhan anda.”
Diungkapkan dalam bait-bait syair:
“Kehidupan adalah saat-saat yang terus berlalu, dan perguliran hari-hari yang silih berganti.
Puaslah dengan kehidupan anda apa adanya, maka anda diridhai.
Patahkan keinginan hawa nafsu, maka anda akan hidup merdeka.
Ingat fokuskan hidup pada Tuhan yang Maha Suci, adalah emas, yakud dan permata.
Muhammad bin Wasi’, membasahi roti tawar dengan air memakannya, lalu ia berkata: “Barangsiapa yang merasa puas dengan makanan seperti ini maka dia tidak akan butuh pada orang lain.”
Sofyan berkata: “Sebaik-baik harta dunia anda ialah apa yang anda peroleh dari usaha secara halal.”
***
Ibnu Mas’ud berkata: “Tidaklah ada satu hari pun, melainkan seorang malaikat memanggil-manggil: ‘Wahai anak Adam, sedikit harta yang dapat membuat anda merasa cukup itu lebih baik daripada banyak, tetapi membuat anda durhaka.”
Samirth bin Ujlah berkata: “Wahai anak Adam, perut anda hanyalah sejengkal, maka jangan sampai ia membuat anda masuk neraka.”
Ketika ditanyakan kepada Hakim: “Apakah harta yang anda miliki?” Ia menjawab: “Memperindah penampilan lahir dengan maksud untuk mempercantik batin dan menutup harapan akan keinginan terhadap apa yang dimiliki orang lain.”
Ibnu Mas’ud berkata: “Apa bila salah seorang dari anda berusaha untuk memenuhi kebutuhan, maka hendaklah anda mencarinya yang paling sedikit. Jangan sampai ada seseorang yang datang dan berkata: ‘Anda lagi dan anda lagi…” hingga punggungnya patah. Sesungguhnya seseorang tidak akan mendapatkan rezeki kecuali apa yang telah dibagikan atau dianugerahkan kepadanya menurut ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.”
Sebagian ulama perkata: “Manusia yang paling panjang kegelisahannya ialah pendengki, yang paling sederhana hidupnya ialah orang yang bersifat qanaah, yang paling bersabar sakit ialah orang yang menggebu-debu ketika menginginkan sesuatu sehingga jatuh sakit, dan orang yang paling rendah tingkat ekonominya ialah orang paling besar penolakannya terhadap dunia, dan orang yang paling besar penyesalannya ialah orang yang ceroboh.”
***
Ibnu Sama’ berkata, “Sesungguhnya raja’ (harapan) adalah simpul tali di dalam hati dan mengikatkan kaki anda. Keluarkanlah harapan itu dari hati anda, maka tali yang mengikat kaki anda itu akan terlepas.”
Abdullah Bin Salam berkata kepada Ka’ab, “Sesungguhnya ilmu tidak akan pergi dari hati anak-anak jika mereka telah memiliki kesadaran dan dapat memfungsikan akalnya.” Ia berkata: “Kejahatan tamak ialah nafsu dan menuntut pemenuhan kebutuhan.” Seorang laki-laki berkata kepada Fudhail, “Jelaskanlah kepadaku mengenai perkataan Ka’ab. Fudhail berkata: “Tamak mendorong timbulnya kejahatan nafsu dan terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan, sampai agamanya hilang daripadanya. Kejahatan tamak adalah kejahatan hawa nafsu, dalam persoalan ini dan yang itu sampai ia tidak menyukai sesuatu itu terlepas dari padanya. Sehingga anda menjadi butuh apa yang ingin dan yang itu tanpa ada batas akhirnya. Apabila kebutuhan anda itu telah terpenuhi lubang penciuman hidung anda semakin lebar yang akan terus menyeret anda ke mana yang ia kehendaki. Anda dikendalikan dan ditunjukkan olehnya. Barangsiapa yang mencintai anda karena dunia, maka anda menjadi selamat karenanya. Tetapi ketika anda berjalan dengannya dan mengunjunginya ketika ia sakit maka anda tidak akan selamat daripadanya, janganlah anda mengunjunginya karena Allah SWT. Jika anda tidak memiliki hajat kepadanya maka yang demikian itu lebih baik bagi anda.” (Al-Ghazali, 2000: 244)
Sebagian ulama pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling qanaah?” Kemudian dijawab, “Orang yang selalu memberikan pertolongan, meskipun kekayaannya sedikit.” Di dalam Kitab Zabur diungkapkan, “Orang yang qanaah adalah orang kaya meskipun serba kelaparan.” Menurut satu pendapat, Allah SWT meletakkan lima hal ke dalam lima tempat. Pertama, kemuliaan dalam taat. Kedua, kehinaan dalam maksiat. Ketiga, kehebatan dalam melaksanakan salat malam. Keempat, kebijaksanaan dalam hati yang kosong. Kelima, kekayaan dalam qanaah.
***
Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Barangsiapa menerima ketenangan dari hasil pekerjaan maka dia telah memberikan kenikmatan kepada semua orang.”
Muhammad Al-Kattani juga mengatakan, “Barangsiapa yang menjual loba dengan qanaah, maka dia akan memperoleh kemuliaan dan harga diri.” Sebagian ulama mengatakan, “Barangsiapa yang kedua matanya memandang kekayaan orang lain maka dia akan selalu berduka cita.”
Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya, “Sebab apa engkau sampai terhadap hal yang telah engkau peroleh?”
“Saya mengumpulkan sebab-sebab kehidupan dunia, kemudian saya lepaskan (ikatan) dengan tali qanaah, saya letakkan ke dalam meriam kebenaran, dan saya lemparkan ke dalam sungai keputusasaan, sehingga saya menjadi tenang.” (Al-Qusyairi, 2007: 223-224)
Hikmah Memiliki Karakter Qanaah
Adapun hikmah memiliki karakter qanaah adalah:
1. Orang yang qanaah hemat dalam belanja.
Sabda Rasulullah SAW:
“Hemat dalam belanja adalah setengah dari kesuksesan hidup. Berkasih sayang terhadap orang lain adalah setengah dari kepandaian. Dan bertanya dengan baik adalah setengah dari pengetahuan.” (HR. Thabranii dari Ibnu Umar)
2. Orang yang qanaah merasa cukup atas segala pemberian Allah.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sedikit tapi cukup adalah lebih baik daripada banyak tapi melalaikan.” (HR. Baihaqi)
3. Orang yang qanaah menahan diri dari mengutang.
Sabda Rasulullah SAW:
“Hati-hati kalian dengan hutang, karena utang itu membuat susah pada malam hari dan merasa hina di siang hari.” (HR. Baihaqi)
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang akan tertahan dengan hutangnya. Ia tidak akan dapat masuk surga sampai hutangnya dibayar terlebih dahulu.”
4. Orang yang qanaah menahan diri dari meminta-minta.
Sabda Rasulullah SAW:
“Seandainya kalian mengetahui kehinaan meminta-minta, niscaya seorang tidak akan berjalan menuju orang lain untuk meminta sesuatu sedikitpun.” (HR. An-Nasa’i)
Memelihara Karakter Qanaah
Memiliki karakter qanaah bukan berarti berpakaian kumal dan lusuh, berkendaraan yang rusak, dan segala betuk minus lainnya. Setiap hamba yang dianugerahan rezeki oleh Allah harus senantiasa mensyukurinya dengan memakai dan menggunakannya sesuai dengan situasi dan kondisi serta proporsi yang pas, namun tetap pada asas kewajaran, kepantasan dan kepatutan dan kesederhanaan.
Sabda Rasulullah SAW:
“Apabila Allah menganugerahkan kepadamu harta, maka hendaklah terlihat tanda-tanda nikmat Allah dan anugerah-Nya itu kepadamu.” (HR. An-Nasa’i)
Memakai asesoris seperti pakaian baru, makanan lezat, kendaraan baru, dan ‘sarana’ yang memperindah diri bukanlah menunjukkan kesombongan dan keangkuhan. Akan tetapi memang Islam mengajarkan keindahan atau estetika dalam berpenampilan, baik saat beribadah maupun dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah Maha Indah, menyukai keindahan. Keangkuhan adalah menolak hak dan melecehkan terhadap hak manusia.” (HR. Muslim)
Kedigdayaan diri bukan untuk dipertontonkan, karena asesoris kedigdayaan diri hanya ‘pinjaman’ belaka. Suatu saat akan hilang dan pergi menurut kadar waktunya masing-masing. Sebagai kaum beriman suasana kebatinan yang merasa cukup itulah sesungguhnya kekayaan hati yang tiada taranya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Beruntunglah siapa yang memeluk Islam dan hidup dalam keadaan berkecukupan serta dianugerahi qanaah (puas hati) atas apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” (HR. Muslim, At- Tirmidzi, dll)
Bagi yang memiliki kedigdayaan diri mungkin bisa tampil mercusuar, namun bagi yang belum mampu tidak harus iri dan dengki. Rasa kesyukuran itulah yang lebih penting atas segala rahmat dan nikmat yang diberikan Allah kepada setiap hamba, seperti Ali Bin Abi Thalib berkata, “Apabila yang kau inginkan tidak terbukti (tercapai), senangilah (syukurilah) apa yang ada.”
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami, bahwa tidak perlu melihat seberapa besar rezeki dan nikmat yang didapatkan. Akan tetapi sejauhmana rasa syukur kita terhadap pemberi rezeki dan nikmat itu sendiri. Sebab, bisa jadi ‘kelimpahan’ dalam asesoris duniawi bukan nikmat akan tetapi itu malah istidraj atau azab.
Editor: Soleh