Karakter Shidiq I Hidup di dunia nyata terkadang ada kata yang menyentuh jiwa, dan ada pula kata yang menyakitkan hati. Sementara itu di dunia maya, ribuan jari pengguna media sosial menari-nari di atas layar HP dengan segala kelincahan dalam membuat argumentasi di status media sosialnya masing-masing.
Mungkin banyak status yang mengabadikan nilai-nilai kebajikan, motivasi hidup, dan hal-hal yang dapat mencerahkan hati dan menyehatkan akal pikiran. Namun terkadang ada juga yang dengan sengaja ataupun terlena dalam narasi yang provokatif dan agitasi politik serta segala bentuk yang menyeru kepada hoaks dan ujaran kebencian serta merusak citra diri, institusi, maupun lembaga yang menjadi lawan argumentasi maupun yang dibentuk sebagai wadah ‘diskusi’.
Apabila tidak bijak dalam bermedia sosial, terkadang keilmuan seseorang tidak berbanding lurus dengan akhlaknya; ketinggian ilmu luruh karena terpengaruh dari emosi situasional terhadap suatu bentuk diskusi yang tidak berkembang dan terpengaruh dengan suasana batin seseorang; bahkan kealiman bisa tumbang dikarenakan ego kedigdayaan diri secara berlebihan: karena netizen ‘maha benar’ dengan segala argumentasinya yang terkadang juga nyeleneh.
Walaupun postingan di media sosial tidak berbentuk ucapan yang dapat didengar, akan tetapi dapat memberi pengaruh yang cukup luas terhadap para penggunanya. Begitu banyak akibat dari jari ‘ menari’ sampai ke jeruji besi; akibat postingan berakibat kemalangan diri; ulah kata terluka jiwa! Akibat kata mendustai laku!
Pengertian Karakter Shidiq
Shidiq (ash-sidqu) artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong (al-kadzib). seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan benar lahir batin; benar hati (shidq al-qalbi) benar perkataan (shidq al-hadits) dan benar perbuatan (shidq al-amal). antara hati dan perkataan harus sama, tidak boleh berbeda apalagi antara perkataan dan perbuatan.
Benar hati, apabila hati diisi dengan iman kepada Allah SWT dan bersih dari segala penyakit hati. Benar perkataan, apabila semua yang diucapkan adalah kebenaran bukan kebatilan. dan benar perbuatan, apabila semua yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam. (Ilyas, 2009: 81)
Menurut Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, shadiq atau orang yang ahli kebenaran adalah suatu nama yang harus dikaitkan dengan kebenaran. Sedangkan shidiq untuk tingkatan yang lebih tinggi, yaitu bagi orang yang banyak atau sangat banyak kebenaran. Orang semacam ini kehidupannya banyak didominasi oleh nilai-nilai kebenaran. Hal itu seperti as-sakkir yaitu orang yang ahli mabuk (karena Tuhan) dan al-khamir, orang yang sangat kecanduan minuman khamar. Paling rendahnya tingkatan shidiq adalah kesamaan baginya antara yang rahasia dan yang tampak. Orang yang shadiq (perilaku kebenaran) adalah orang yang benar dalam ucapannya, sementara as-shiddiqi adalah orang yang benar dalam segala ucapan, perbuatan, dan keadaannya. (Al-Qusyairi, 2007: 302)
Hakikat Karakter Shidiq
Ketahuilah bahwa lafaz shidiq dipergunakan dalam 6 makna: shidiq dalam perkataan, shidiq dalam niat dan kemauan, shidiq dalam tekad, shidiq dalam amal, dan shidiq dalam merealisasikan semua maqam agama. Barangsiapa merealisasikan shidiq dalam semua hal tersebut maka ia adalah orang yang shidiq. Orang-orang yang shidiq juga berlainan tingkatannya. Siapa yang berlaku shidiq dalam sebagian hal tersebut maka ia adalah orang yang shidiq dalam kaitannya dengan bagian tersebut. (Hawwa, 2005: 322)
Al-Junaid mengatakan, “Hakikat kebenaran adalah keberadaanmu yang berani membenarkan sesuatu di tempat-tempat yang tidak akan menyelamatkanmu kecuali kebohongan.” Dikatakan bahwa ada tiga hal yang tidak bisa disalahkan, yaitu orang yang benar yang merasakan manisnya kehadiran Al-Haq, rasa segan karena penghormatan pada Allah, dan cahaya taat yang membias pada wajah. Dikatakan pula bahwa Allah pernah mewahyukan kepada Nabi Daud a.s, “Hai Daud,” firman-Nya, “Barangsiapa membenarkan-Ku dalam kerahasiaannya, maka Aku pasti membenarkannya di hadapan para makhluk di dalam suasana yang terang.”
Dzun Nun Al-Misri mengatakan, “Kebenaran adalah pedang Allah. tidak ada suatu pun yang ditempatinya kecuali diputusnya.”
Derajat dan Tingkatan Karakter Shidiq
Pertama, shidiq lisan.
Ia tidak terjadi kecuali menyangkut pemberitaan atau menyangkut hal yang mengandung pemberitaan dan memberitahukannya. Berita kadang berkaitan dengan masa lalu atau masa yang akan datang. Termasuk ke dalamnya adalah menepati janji atau tidak menepatinya. Adalah kewajiban setiap hamba untuk menjaga ucapan-ucapannya agar tidak berbicara kecuali kejujuran. Ini merupakan bentuk shidiq yang paling populer dan paling nyata. Siapa yang menjaga lisannya dari memberitakan sesuatu yang tidak benar maka ia adalah orang yang shadiq (benar atau jujur).
Kedua, shidiq dalam niat dan kemauan.
Hal ini kembali kepada keikhlasan yaitu tidak adanya pendorong dalam berbagai gerak dan diamnya kecuali Allah ta’ala. Jika keikhlasan itu dicampuri oleh kotoran dari kepentingan nafsu maka batalah shidqun-niyah sedangkan orangnya bisa disebut sebagai pendusta.
Sebagian ulama mengatakan, “Shidiq adalah kesahihan tauhid dalam tujuan. Demikian pula Firman Allah: “Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1). Orang-orang munafik itu mengatakan, “Sesungguhnya angkau (Muhammad) adalah Rasul Allah.” Pernyataan ini adalah benar tetapi Allah menciptakan mereka bukan dari segi ucapan lisan maupun dari segi hati nurani. Dengan demikian, maka salah satu makna shidiq adalah mengacu kepada bersihnya niat yaitu ikhlas, sehingga setiap orang yang shadiq pasti ikhlas.
Ketiga, shidiq dalam ‘azam (tekad).
Seseorang kadang mendahulukan ‘azam (tekad) dari amal perbuatan lalu berkata di dalam dirinya, “Jika Allah mengaruniakan harta kepadaku niscaya aku akan menginfakkan semuanya atau separuhnya.” atau “Jika aku berhadapan dengan musuhnya Allah niscaya aku akan bertempur tanpa peduli sedikitpun aku terbunuh.” “Jika Allah mengaruniakan kekuasaan kepadaku niscaya aku akan berlaku adil dan tidak bermaksiat kepada Allah dengan berlaku zalim dan cenderung kepada makhluk.”
Kalimat ini terkadang mendapat dukungan dari dalam dirinya sehingga menjadi tekad yang benar (shadiq) dan terkadang di dalam tekadnya itu terdapat semacam kecenderungan, keraguan dan kelemahan yang bertentangan dengan kebenaran tekadnya. Jadi shidiq di sini merupakan ungkapan tentang kesempurnaan dan kekuatan, sebagaimana dikatakan, “Fulan punya selera yang benar.” atau dikatakan, “Selera orang yang sakit itu dusta,” jika seleranya tidak kuat atau lemah. terkadang kata shidiq dipakai untuk makna ini.
Jadi, orang yang shadiq dan shidiq adalah orang yang tekadnya dalam semua kebaikan didukung oleh kekuatan yang sempurna tanpa mengandung keraguan atau kelemahan bahkan jiwanya senantiasa penuh dengan tekad yang kuat dan pasti untuk melaksanakan kebaikan.
Keempat, shidiq dalam menempati tekad.
Kadang-kadang jiwa sangat dermawan dengan tekad seketika, karena untuk berjanji dan bertekad memang tidak ada kesulitan dan beban. Tetapi jika telah sampai pada realitas yang sebenarnya dan syahwat pun bergejolak maka tingkat itu pun memudar dan syahwat pun untuk mendominasi sehingga ia tidak mampu menempati tekadnya. Ini bertentangan dengan sikap shidiq yang seharusnya dipenuhinya.
Kelima, shidiq dalam amal perbuatan.
Yaitu bersungguh-sungguh hingga berbagai amal lahiriahnya tidak menunjukkan pada keadaan batinnya yang tidak sesuai dengannya. Bukan dengan meninggalkan amal perbuatan tetapi dengan mendorong batin untuk membenarkan lahiriah sehingga tidak terjebak kepada sikap riya.
Bisa jadi orang yang tampak khusyuk dalam salatnya ia bermaksud untuk memamerkannya kepada orang lain tetapi hatinya lalai dari salat itu sendiri. Siapa saja yang melihatnya pasti mengira sedang berdiri di hadapan Allah padahal batinnya berada di pasar bersama syahwatnya. Amal perbuatan ini mengungkapkan, dengan keadaannya (lisanul hal), tentang batinnya dengan penuh kedustaan, padahal ia dituntut kejujuran dalam amal perbuatannya.
Demikian pula, bisa jadi seseorang berjalan dengan khusuk dan tenang tetapi tidak demikian halnya dengan batinnya. Orang ini tidak jujur dalam amalkan agama sekalipun ia tidak memandang kepada makhluk dan tidak pamer kepada mereka. Orang tidak dapat melihat dari hal itu kecuali dengan menyamakan antara batin dan lahir yakni menjadikan batinnya sama seperti lahir atau lebih baik dari lahirnya.
Jadi, tidak samanya lahir dengan batin jika disengaja maka hal itu disebut riya dan tidak dapat mencapai ikhlas. Jika tidak disengaja maka tidak dapat mencapai tingkat shidiq.
Keenam, shidiq dalam berbagai maqam agama (tingkat shidiq yang paling tinggi).
Seperti shidiq dalam khauf, raja’, ta’zhim ridha, tawakal, cinta dan lain sebagainya. perkara-perkara ini memiliki dasar-dasar yang menjadi landasan digunakannya berbagai istilah tersebut. Disamping juga memiliki berbagai tujuan dan hakikat. Orang yang shadiq (jujur) adalah orang yang mendapatkan hakikat ini. Jika hakikat perkara tersebut telah tercapai maka orang yang mencapainya itu disebut shadiq dalam masalah tersebut.
Berbagai derajat shidiq ini tidak ada batas akhirnya. Bisa jadi seseorang hamba berlaku shidiq dalam sebagian perkara tetapi tidak demikian pada perkara yang lainnya. Jika ia berlaku shidiq pada semua perkara maka dia adalah orang yang benar-benar shidiq. (Hawwa, 2005: 321-327)
Keutamaan dan Kemuliaan
1. Orang yang punya karakter shidiq memiliki kuatnya ‘buhul’ ikatan terhadap Allah.
Firman Allah SWT:
“Orang-orang yang menempati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 23)
2. Orang yang shidiq selalu jujur dalam kata dan laku.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga, dan sesungguhnya seseorang berlaku jujur hingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya kedustaan membawa kepada kemaksiatan dan kemaksiatan membawa ke neraka, dan sesungguhnya seseorang berlaku dusta hingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Shidiq merupakan pecahan kata darinya dan Allah mensifati para Nabi dengan kata ini dalam konteks pujian.
Firman Allah SWT:
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Alquran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan bagi seorang nabi.” (QS. Maryam: 41)
4. Shidiq merupakan karakter khas para Rasul dan Nabi yang terdahulu.
Firman Allah SWT:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Alquran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 54)
5. Sikap shidiq menunjukkan komitmen setia pada kebenaran seperti dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul.
Firman Allah SWT:
Dan ceritakanlah (hai Muhammad) kepada mereka, kisah Idris yang tersebut di dalam Alquran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. (QS. Maryam: 56)
6. Orang yang shidiq bersungguh-sungguh berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka.
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 16)
7. Orang yang shidiq memiliki komitmen keimanan, keislaman, keihsanan terhadap dinullah.
Firman Allah SWT:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 177)
Internalisasi Karakter Shidiq secara Psikologis
Untuk menjadikan shidiq sebagai karakter yang kuat pada kepribadian diri, maka ada proses yang harus dilalui, yakni menginternalisasi dalam kata dan laku hidup. Berikut ini adalah pandangan para salaf yang senantiasa mengintegrasikan karakter shidiq dalam kata dan laku mereka, seperti pernyataan mereka:
Ahmad bin Khadrawih berkata, “Barang siapa menginginkan Allah senantiasa bersamanya maka tetaplah dalam kebenaran. Allah bersama orang-orang yang benar.”
Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Kalau orang yang benar hendak mensifati dalam hatinya maka lidahnya tidak akan berkata.”
Abdul Wahid bin Zaid mengatakan, “Kebenaran adalah pemenuhan hak Allah dengan perbuatan.”
Sahal bin Abdullah mengatakan, “Hamba yang mencium bau dirinya (nafsunya) atau lainnya tidak akan mencium bau kebenaran.” Ia pun mengatakan, “Awal pengkhianatan orang-orang yang benar adalah ucapan mereka dengan diri mereka sendiri.”
Abu Said Al-Quraisyi mengatakan, “Orang yang benar adalah orang yang mempersiapkan kematiannya dan dia tidak akan malu jika rahasia pribadinya bersingkap.”
Ibrahim al-Khawwash berkata, “Orang yang benar tidak bisa kamu lihat kecuali dalam kewajiban yang ditunaikannya atau keutamaan yang dikerjakan untuk Tuhannya.”
Abu Ali bin Ad-Daqaq mengatakan, “Kebenaran adalah keberadaanmu sebagaimana yang kamu lihat pada dirimu atau kamu melihat dirimu sebagaimana keberadaanmu.”
Al-Haris Al-Muhasyidi pernah ditanya tentang tanda-tanda kebenaran, lalu dijawab, “Orang yang benar adalah orang yang tidak peduli seandainya segala hal yang berharga yang menjadi miliknya keluar dan masuk ke dalam hati para makhluk untuk perbaikan dirinya. dia juga tidak senang menampakkan pada manusia kebaikan-kebaikan amalnya meski hanya sebesar biji-bijian; atau tidak membenci jika perbuatan buruknya terlihat atau ditampakkan pada manusia jika perbuatan buruknya terlihat ada manusia. Jika dia membencinya, berarti itu adalah bukti yang menunjukkan bahwa dia senang mendapatkan tambahan simpati di sisi manusia. Ini bukan termasuk akhlak orang-orang yang benar.”
Dikatakan, jika engkau mencari Allah dengan kebenaran, maka Allah pasti memberimu cermin yang kamu dapat melihat segala hal keajaiban dunia dan akhirat di dalam cermin itu. Dikatakan pula, engkau wajib bersama kebenaran. Sekiranya kamu takut kebenaran akan membahayakanmu, sesungguhnya dia memanfaatkanmu. Tinggalkanlah kebohongan. Kalau sekiranya kamu melihatnya dapat memberimu manfaat, sesungguhnya dia membahayakanmu.
Dikabarkan, segala sesuatu adalah sesuatu, membenarkan kebohongan bukanlah sesuatu. dikatakan, tanda orang yang bohong adalah kedermawanannya dengan sumpah meski dengan tanpa diminta bersumpah.
Ibnu Sirin mengatakan bahwa, “Ucapan lebih luas daripada kebohongan orang yang cerdik.” Dikatakan bahwa yang melunakkan pedagang adalah kebenaran.
Kontekstualisasi dalam Kehidupan
Karakter shidiq tidak cukup hanya menjadi kepriadian diri sendiri, akan tetapi harus menjadi perilaku yang aktual di hadapan publik. Apabila karakter shidiq tidak ditampakkan di dunia nyata, maka bisa saja kebohongan, ujaran kebencian dan hoaks menjadi ‘pembenaran’ narasi dan argumen dari para provokator dan agitator politik yang membudayakan desas-desus dan isu murahan. Mungkin ungkapan dari para salaf bisa dijadikan acuan dalam kontektualisasi karakter shidiq, berikut pernyataan mereka:
Ibnu Abbas berkata, “Empat hal siapa yang berada padanya maka ia beruntung: shidiq, malu, akhlak yang baik dan syukur.”
Basyar bin al-Harits berkata, “Siapa yang berlaku shidiq kepada Allah maka akan merasa sumpek dengan manusia.”
Abu Abdullah Ar-Ramli berkata, “Aku pernah bermimpi bertemu Mansyur ad-Dainuri.” Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang telah diperbuat Allah terhadap mu?’ Ia jawab, ‘Dia telah mengampuniku, merahmatiku dan memberiku apa yang tidak pernah aku angankan?’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah hal terbaik yang dipersembahkan seorang hamba kepada Allah?’ Ia menjawab, ‘Sikap shidiq, sedangkan hal terburuk yang dipersembahkan kepadanya adalah kedustaan.’
Abu Sulaiman berkata, “Jadikanlah shidiq sebagai kendaraanmu, kebenaran sebagai pedang dan Allah sebagai puncak pencarianmu.”
Seseorang berkata kepada seorang bijak bestari, “Aku belum pernah melihat seorang yang shidiq!” Orang bijak bestari itu berkata kepadanya, “Seandainya kamu seorang yang shidiq niscaya kamu mengetahui orang-orang yang shidiq.”
Muhammad bin Ali al-Kanani, ia berkata, “Kami mendapati agama Allah dibangun di atas tiga alasan: di atas kebenaran, shidiq dan keadilan. Yakni kebenaran menjadi kewajiban anggota badan, keadilan menjadi kewajiban hati, sedangkan shidiq menjadi kewajiban akal.”
Sebagian berkata, “Para ahli fikih dan ulama menyepakati tiga hal yang apabila dipenuhi dengan benar maka akan menjadi keselamatan sebagiannya juga tidak akan sempurna kecuali dengan yang lainnya yaitu: Islam yang bersih dari bid’ah dan hawa nafsu, shidiq kepada Allah dalam berbagai amal perbuatan, dan makanan yang baik.”
Abu Yakub an-Nahrajuri berkata, “Shidiq ialah menyesuaikan diri dengan kebenaran dalam batin dan lahir.”
Memelihara Karakter Shidiq
Karakter shidiq tidak akan terjadi dengan sendirinya. Ia mengalami proses internalisasi, aktualisasi dan transformasi dalam setiap diri manusia yang berkeinginan berkepribadian shidiq.
Supaya karakter shidiq selalu menjadi kepribadian yang langgeng maka orang yang berkarakter shidiq harus senantiasa berinteraksi dengan orang-orang yang sama-sama memiliki karakter shidiq.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119)
Dari penjelasan di atas maka jelaslah, karakter shidiq yang mengedepankan kejujuran kata dan laku sangan berbeda dengan yang berkarakter dusta dan bohong. Bagaimanapun kedustaan, kebohongan, kebencian dan hoaks yang dibungkus dengan slogan dan label dan simbolisme apapun suatu saat akan terkuak juga. Maka suara kebenaran harus ‘dilantangkan’ supaya kebohongan ‘tiarap’. Rusaknya negeri bisa saja karena ‘diam’nya orang-orang yang benar! Ntulah iyo gak!
Editor: Soleh