Akhlak

Karakter Tawadhu: Rendah Hati di Hadapan Sang Maha Tinggi

14 Mins read

Karakter Tawadhu I Dalam realitas kehidupan sosial terkadang antara bungkus dan isi berbeda. Kita terkadang terkecoh kalau hanya terkesima dengan bungkus yang bagus, sementara isi yang sesungguhnya sangat jauh dari tampilan depannya.

Terkadang ada orang yang menunjukkan rasa kedigdayaan dirinya padahal itu hanya sebatas unjuk diri, bahwa dirinya memiliki sesuatu, sedangkan dia tidak memiliki apapun hanya untuk mendapat pengakuan khalayak dengan dia melakukan ‘action’ seperti itu.

Terlalu banyak ‘topeng’ yang dijadikan sebagai penutup kepalsuan atas jati diri yang sesungguhnya. Di era kelimpahan saat ini manusia tidak mau dilecehkan, direndahkan dan diskreditkan sebagai orang yang tidak ada apa-apa atau bukan siapa-siapa, sebab eksistensi dan status menentukan siapa diri seseorang: meninggikan diri dalam narasi kepalsuan!

Manusia hari ini selalu membudayakan kemelekatan diri dengan hal-hal yang bersifat materi dan status. Popularitas ditentuhan dari postingan narasi dan vidio (termasuk Tiktok) yang bisa membuatnya viral dan kontennya mendapat dukungan secara masif. Sehingga semua hal bisa ‘dipoles’, wajah bisa dipermak, kostum bisa dipinjam, dan segala asesoris yang membuat mata terkesima yang memunculkan simpati dan empati bisa dibuat sebagaimana ‘actian’ para selebritas dan pesohor sekalipun. Wajah ceria, kusam, sedih, marah, sinis, dan cuek bisa dibuat ‘lakonnya’; tampilan necis dan narsis bisa diperagakan demi ‘pundi’ uang yang terkadang berkedok ‘sumbangan’ dan ‘donasi’.

Budaya hidup di alam nyata dan di dunia maya pada saat sekarang ini seperti ‘kembang api’ yang begitu memberikan warna dalam kegelapan malam tapi hanya sesaat saja. Mata manusia secara masif terkadang melihat sesuatu seperti fatamorgana; dari kejauhan nampak seonggok air yang dapat mengatasi kehausan dan dahaga, namun setelah didekati ternyata itu tiada dan hampa, yang ada hanyalah bias cahaya.

Pengertian Tawadhu

Secara etimologi, tawadhu berasal dari kata ittadha’a yang berarti merendahkan diri. Maka tawadhu artinya  dengan rendah terhadap suatu.

Secara istilah, tawadhu artinya menampakkan kerendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan.

Jadi, tawadhu adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam yakni tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan orang lain. Orang yang tawadhu adalah orang yang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatkannya bersumber dari Allah SWT.

Sedangkan Imam Al-Ghazali berpendapat, tawadhu adalah mengeluarkan kedudukan kita dan menganggap orang lain lebih utama daripada kita.

Fudail bin Iyadh mengatakan, “Orang yang selalu mengadu kepada Allah adalah orang yang khusyuk dan tawadhu, sedangkan orang yang selalu mengadu kepada hakim (pemerintah) adalah orang yang tinggi hati dan sombong.” Ia juga mengatakan, “Barangsiapa yang melihat dirinya sendiri berharga, maka dia tidak akan mendapatkan bagian tawadhu.” Fudhail pernah ditanya tentang tawadhu. Dia menjawab, “Rendah diri untuk kebenaran, menyelamatkan diri untuk kebenaran, dan menerima kebenaran dari orang lain.”

Junaid pernah ditanya tentang tawadhu. Dia menjawab, “Merendahkan lambung kepada orang lain dan lemah lembut kepada mereka.”

Menurut Yahya bin Mu’adz, tawadhu adalah suatu kebaikan yang dapat dikerjakan oleh setiap orang tetapi apabila dikerjakan oleh orang yang kaya tentu akan lebih baik. Sombong adalah keburukan yang dapat dikerjakan oleh setiap orang tetapi apabila dikerjakan oleh orang fakir untuk akan lebih buruk.”

Menurut Ibnu Atha’, tawadhu adalah orang yang menerima kebenaran dari orang lain.

Hakikat Karakter Tawadhu

Karakter tawadhu artinya rendah hati, lawan dari sombong atau takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri, jadi sekalipun dalam prakteknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya di hadapan orang lain, tetapi sikap tersebut bukanlah akhir dari rasa tidak percaya diri.

Sikap tawadhu terhadap sesama manusia adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan kemahakuasaan Allah SWT atas segala hambanya. Manusia adalah makhluk yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT,  manusia membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah. Tanpa rahmat, karunia dan nikmat dari Allah SWT, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak akan pernah ada di atas permukaan bumi ini.

Orang yang tawadhu menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan maupun pangkat dari kedudukan dan lain-lain sebagainya semuanya itu adalah karunia dari Allah SWT. (Ilyas, 2009: 125)

Firman Allah SWT:

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepadaNyalah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53)

Dengan kesadaran seperti itu sama sekali tidak pantas bagi dia untuk menyombongkan diri sesama manusia apalagi menyombongkan diri terhadap Allah SWT.

Karakter Tawadhu sebagai Tazkiyatun-Nafs

Pelayanan dan tawadhu termasuk sarana tazkiyatun-nafs dan sekaligus menjadi bukti bahwa jiwa adalah tersucikan. Oleh karena itu, Allah dan rasul-Nya sangat menganjurkan kedua hal ini.

Pelayanan ada dua: Pelayanan khusus dan pelayanan umum. Keduanya punya pengaruh dalam tazkiyatun-nafs. Pelayanan umum memerlukan kesabaran, lapang dada dan persiapan untuk memenuhi tuntutan pada setiap saat, sedangkan pelayanan khusus memerlukan tawadhu dan kerendahan hati kepada kaum mukminin. Oleh sebab itu pelayanan termasuk sarana penting dalam tazkiyah bagi orang yang menunaikannya secara ikhlas dan bersabar. Jika landasan pelayanan adalah tawadhu maka tawadhu itu sendiri termasuk salah satu sarana tazkiyatun-nafs karena ia dapat menjauhkan jiwa dari kesombongan dan ujub. (Hawwa, 2005: 152)

Keutamaan Karakter Tawadhu

Adapun keutamaan dari karakter tawadhu adalah:

1. Orang yang tawadhu senang membantu kebutuhan sesama manusia.

Sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya.”

2. Allah mengapresiasi karakter tawadhu di dalam Alquran sebagai manifestasi keimanan.

Firman Allah SWT:

“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr: 88)

3. Orang yang berkarakter tawadhu akan ditinggikan oleh Allah.

Sabda Rasulullah SAW:

“Allah tidak menambah seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu karena Allah kecuali Allah pasti mengangkatnya.” (HR. Muslim)

4. Orang yang berkarakter tawadhu bisa membawa diri dalam segala keadaan dan situasi.

Baca Juga  Doa Nabi-nabi yang Dikabulkan dan Sengaja Ditangguhkan

Sabda Rasulullah SAW:

“Berbahagialah orang yang tawadhu tanpa menghinakan diri, menginfakkan harta yang dikumpulkannya kepada hal yang tidak bermaksiat, mengasihi orang yang rendah dan hina, dan bergaul dengan ahli fiqih dan hikmah.” (HR. Al-Baghawi, Ibnu Qani’,  Thabrani, dan Al-Bazzar)

5. Tawadhu adalah wujud dari kemuliaan hati yang tercerahkan dan pikirannya yang tercerdaskan.

Sabda Rasulullah SAW:

“Kedermawanan adalah takwa kemuliaan adalah tawadhu dan keyakinan adalah kekayaan.” (HR. Ibnu Abu Dunya)

Virus Takabur sebagai Penghalang Karakter Tawadhu

Karakter tawadhu tidak serta merta akan bisa jadi dengan sendirinya. Sebab tawadhu merupakan ibadah hati tentu memiliki efek negatif dari bisikan dan godaan setan, sehingga ‘virus’ takabur muncul dari orang yang ‘bertopeng’ tawadhu maupun yang berusaha untuk bisa tawadhu. Berikut ini pandangan Ibnu Athaillah tentang virus takabur sebagai penghalang karakter tawadhu:

Ibnu Athaillah mengatakan:

“Barangsiapa yang mengatakan diri sebagai orang yang tawadhu, maka ia benar-benar takabur (sombong), sebab tidak mungkin ia merasa tawadhu melainkan karena sifat ia merasa besar. Dan ketika anda menyatakan diri sebagai orang yang berderajat tinggi maka anda benar-benar sebagai orang yang sombong (takabur).”

Orang yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang tawadhu, pada dasarnya ia adalah orang yang takabur. Karena pernyataan itu tidak akan keluar melainkan dari orang yang takabur. Ketawadhukan seseorang tidak perlu digambar-gemborkan bahwa dirinya adalah sebagai orang yang tawadhu,  karena sifat tawadhu itu sendiri telah melekat pada dirinya. Tapi ketika ia mengatakan diri sebagai orang yang tawadhu, maka itu berarti menunjukkan akan kesombongan dirinya.

Tawadhu merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki seorang hamba. sebagai seorang hamba harus merasa hina dan rendah diri dihadapan Allah SWT. dan dalam pergaulan dengan sesama juga hendaklah menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji diantaranya adalah tawadhu, tidak angkuh dan tidak pula ujub. Sedangkan sifat takabur merupakan akhlak tercela yang sangat berbahaya. Orang yang merasa takabur kepada Allah ia akan terusir dari isi-Nya, sebagaimana iblis, yang karena kesombongannya ia di usir oleh Allah dan dinyatakan sebagai makhluk yang terlaknat.

***

Ibnu Athaillah mengatakan:

“Bukanlah yang dinamakan tawadhu itu, orang yang bila tawadhu ia merasa bahwa dirinya berada di atas apa yang diperbuat, tetapi orang tawadhu itu ialah orang yang bila berbuat sesuatu, ia merasa bahwa dirinya masih berada di bawah apa yang dilakukan itu.”

Orang yang tawadhu yang sebenarnya ia tidak akan mengatakan dirinya sebagai orang yang tawadhu, karena mengatakan tawadhu itu sama sesungguhnya merupakan sebuah kesombongan. Orang yang tawadhu merasa bahwa dirinya adalah orang yang rendah dan hina, orang yang merasa dirinya tidak pantas menyandang kedudukan, apalagi sampai menonjol-nonjolkan dirinya di tengah-tengah masyarakat, kalau dirinya sebagai orang yang mulia yang harus dihormati.

Asy-Syibali ra berkata, “Barangsiapa yang merasa diri berharga, sesungguhnya ia bukanlah orang yang tawadhu kepada Allah, hingga ia mengetahui kedudukan dirinya sebagai seorang hamba yang hina dan fakir dihadapan Allah SWT.”

Abu Yazid berkata, “Selama seorang itu merasa ada orang yang lebih jahat dari dirinya, maka ia adalah orang yang sombong. Dan ketika ditanya, bilakah seorang itu tawadhu? Ia jawab, “Jika ia tidak merasa memiliki kedudukan atau kemuliaan, tidak pula merasa tawadhu. Seseorang itu menurut kadar makrifatnya terhadap Tuhan dan pengetahuannya terhadap dirinya sendiri.”

Dan di antara tanda bahwa seseorang itu benar-benar tawadhu, jika ia tidak marah ketika dihina atau dicela, tidak pula bila dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak ambisius untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, ia merasa tidak mendapatkan tempat di hati mereka. yang terpenting bagi dirinya adalah berlaku jujur, memperbaiki diri dan di hatinya merasa rendah dan tidak pantas menyandang jabatan dan kedudukan.

***

Ibnu Athaillah berkata:

“Hakikat tawadhu timbul karena melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.”

Kesaksian akan keagungan dan kebesaran Allah SWT, serta kejelasan kesempurnaan dan kemuliaan sifat-sifatNya, akan menyebabkan seseorang bersikap tawadhu. Sebab dengan begitu, seorang hamba akan menyadari kerendahan dan kehinaan dirinya sebagai hamba yang lemah, farkir dan sangat membutuhkan pertolongan dari Allah SWT. Dia merasa bahwa dirinya yang lemah dan hina itu tidak akan bisa melakukan amal perbuatan, kecuali atas pertolongan dan petunjuk Allah SWT. Kalau ada kebaikan dan amal saleh yang dilakukan dia tidak memandang dirinya, tapi semua itu atas pertolongan Allah SWT semata.

Junaid ra berkata, “Tawadhu dalam pandangan ahli tauhid, adalah kesombongan. Siapa yang merasa dirinya ada kemuliaan dan kedudukan, maka perasaan yang demikian itu sebagai kesombongan.”

***

Dzun Nun Al-Misri berkata, “Siapa yang menginginkan tawadhu, maka hendaklah ia menghadapkan dirinya kepada keagungan dan kebesaran Allah, maka dirinya akan merasa terhina, rendah dan tidak memiliki apapun yang bisa dibanggakan. Barangsiapa yang melihat pada kekuasaan Allah SWT maka lenyaplah kekuasaan dirinya. Dan semua hamba adalah rendah di hadapan Allah SWT dan di antara sebaik-baik tawadhu ialah tidak memandang apa yang ada pada dirinya melainkan semua kebaikan dan kekuasaan itu adalah milik Allah SWT semata.”

Ibnu Athaillah berkata:

“Tidak ada sesuatu yang dapat melepaskan anda dari sifat keseimbangan, kecuali dengan melihat sifat-sifat Allah.”

Selama anda tidak memperhatikan dan menyadari bahwa sifat ketuhanan, kebesaran dan kekuasaan Allah, maka selama itu anda akan merasa besar, kuasa, dan sombong. Selama anda tidak melihat sifat kesempurnaan Allah, maka selama itu pula anda tidak akan mengakui kekurangan-kekurangan atau kehambaan diri anda kepada Allah SWT. (Asy-Syarqawi, 2006: 448-449)

Kriteria Karakter Tawadhu

Adapun kriteria karakter tawadhu itu adalah:

  1. Ikhlas beramal mencari keridhaan Allah bukan mencari ‘ridha’ makhluk.
  2. Tidak ambisius terhadap segala sesuatu.
  3. Tidak suka dipuji, sebab pujian hanyalah milik Allah.
  4. Tidak mau dikenal banyak orang (menjauhi popularitas)
  5. Selalu berbuat benar dan berada dalam kebenaran.
  6. Menerima kebenaran termasuk kritik sekalipun dari siapa saja dan dalam bentuk apa saja.
  7. Mau bergaul dengan siapapun termasuk para fakir, miskin, dhuafa, anak yatim dan lain sebagainya.
  8. Suka memberikan solusi dan opsi terhadap berbagai masalah apabila ada yang datang meminta.
  9. Suka membantu dan memberikan pertolongan kepada siapa saja tanpa melihat suku, agama, ras/keturunan.
  10. Berpenampilan sederhana senantiasa dalam keadaan rapi.
Baca Juga  Karakter Syukur: Kunci Kebahagiaan Hidup yang Sejati

Internalisasi Karakter Tawadhu secara Psikologis

Supaya tawadhu menjadi karakter pada diri seseorang, maka ada proses yang harus dilakukan yakni internalisasi karakter tawadhu secara psikologis. Berikut ini pandangan para salaf dapat dijadikan daya dorong untuk internalisasi karakter tawadhu pada diri sendiri, seperti pernyataan:

Abu Bakar Ash-Shidiq ra berkata: “Kami menemukan kedermawanan di dalam takwa, kecukupan di dalam keyakinan, dan kemuliaan di dalam tawadhu.”

Umar ra berkata, “Sesungguhnya jika hamba merendahkan dirinya karena Allah, niscaya Dia mengangkat hikmahnya. Dan malaikat yang mengurusi hikmah berkata: ‘Bangunlah dari jatuhmu, niscaya kamu diangkat oleh Allah!”

Aisyah ra berkata, “Bahwa sesungguhnya kamu semua melupakan ibadah yang utama yaitu tawadhu (merendahkan diri).”

Urwah bin Ward berkata, “Tawadhu adalah salah satu alat ukur memancing kemuliaan. Dan setiap nikmat itu di dengki oleh orang yang punya nikmat, kecuali nikmat tawadhu.”

Al-Fudhail ditanya tentang apa itu tawadhu? Ia menjawab: “Kamu tunduk kepada kebenaran, dan patuh kepadanya sekalipun kebenaran itu kamu dengar dari anak kecil, bahkan sekalipun kamu dengar dari orang yang paling tidak tahu kiblat salatnya.”

Dikatakan kepada Abdul Malik bin Marwan: “Siapakah orang yang paling utama? Ia berkata: “Orang yang tawadhu pada saat berkuasa, zuhud pada saat berambisi dan tidak membalas pada saat kuat melakukannya.”

Ziad an-Namri berkata: “Orang zuhud tanpa tawadhu seperti pohon yang tidak berbuah.”

Malik bin Dinar berkata: “Seandainya ada penyeru yang berseru di pintu masjid agar orang yang paling jahat diantara kalian mengeluarkan seseorang; demi Allah tidak ada orang yang dapat mendahului aku ke pintu kecuali orang yang punya kelebihan kekuatan dan daya upaya. Dikatakan, ketika perkataannya itu sampai kepada Ibnu al-Mubarok, ia berkata: “Dengan inilah Malik menjadi Malik (pemilik) keutamaan.”

Al-Fudhail berkata: “Barangsiapa mencintai kepemimpinan maka ia tidak beruntung selamanya.”

Abu Yazid berkata: “Selagi seseorang hamba masih mengira bahwa di antara makhluk ada orang yang lebih buruk dari dirinya maka ia adalah orang yang sombong.” Dikatakan kepadanya: “Lalu kapan ia menjadi orang yang tawadhu? Ia menjawab: “Apabila tidak memandang adanya kedudukan dan hal bagi dirinya.”

***

Menurut Ibnu Mubarak, “Sombong terhadap orang kaya dan rendah diri terhadap orang farkir sebagian dari tawadhu.”

Abu Yazid pernah ditanya, “Kapan orang itu harus bertawadhu? Dia menjawab, “Orang yang tidak memandang dirinya sendiri mempunyai kedudukan dan bukan sebagai realitas keadaan serta tidak memandang orang lain buruk.”

Ada orang yang berpendapat, “Tawadhu adalah kenikmatan yang tidak dapat diagitasikan atau dipopulerkan, sombong adalah cobaan yang tidak dapat dikasihani dan kemuliaan terletak pada tawadhu.”

Ibrahim bin Syaiban mengatakan, “Keagungan terletak pada tawadhu, kemuliaan terletak pada takwa, dan kemerdekaan terletak pada qanaah.”

Saya telah mendengar Abu Sa’id Al-Arabi mengatakan, “Sufyan Ats-Tsauri telah mengajariku. Dia mengatakan bahwa orang yang paling mulia dibagi menjadi lima, yaitu ilmuwan yang zuhud, ahli fikih yang sufi, orang kaya yang tawadhu, orang fakir yang bersyukur, dan orang berpangkat yang mukanya berseri-seri.”

Transformasi Karakter Tawadhu dalam Kehidupan dan Kemanusiaan

Proses transformasi karakter tawadhu dilakukan dalam kehidupan dan kemanusiaan adalah dengan menjadikan diri sebagai ‘solusi’ dan ‘opsi’ terhadap berbagai masalah persoalan kehidiupan dan kemanusiaan. Di antaranya adalah dengan sikap senang memberikan pertolongan dan bantuan kepada siapapun tanpa melihat agama, suku, ras/keturunan dan warna kulit.

Karena karakter tawadhu tidak terlepas dari kesadaran imani yang bersifat rohaniah dalam kehidupan dan kemanusiaan. Maka referensi Alquran, hadits dan pandangan salaf dapat dijadikan referensi untuk motivasi dan transformasi karakter tawadhu dalam kehidupan dan kemanusiaan. Berikut ini dapat disimak ‘referensi’ tersebut:

Firman Allah SWT:

“Dan tolong-menolonglah kamu di dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaannya.” (QS. Al-Maidah: 2)

Sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang berjalan dalam kerangka untuk menolong dan memberikan kemanfaatan kepada saudaranya, maka baginya pahala seperti orang-orang yang berperang di jalan Allah.”

Sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya Allah mempunyai beberapa makhluk yang diciptakanNya dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Dia bersumpah pada DzatNya untuk tidak menyiksa mereka dengan neraka. Apabila telah datang hari kiamat, diletakkanlah  mimbar-mimbar dari cahaya untuk mereka berbicara dengan Allah SWT, sementara manusia masih berada dalam hisab.”

***

Sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka untuk memenuhi suatu kebutuhan saudara sesama muslimnya, sehingga kebutuhannya menjadi terpenuhi atau tidak, maka Allah mengampuni dosa yang telah lalu dan dia akan datang, lebih dari itu ditulis baginya dua pembebasan, yaitu bebas dari neraka dan bebas dari kemunafikan.”

Abu Nu’aim meriwayatkan dalam Al-Hilyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memenuhi suatu kebutuhan bagi saudaranya yang muslim, maka aku akan berdiri di samping timbangan amalnya. jika amal kebaikannya yang menang, maka sudahlah begitu dan jika tidak aku akan memberi syafaat kepadanya.”

Dari Anas, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berjalan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan saudaranya sesama muslim, maka setiap langkah kakinya Allah akan menulis untuknya 70 kebaikan dan menghapus darinya 70 kejahatan. Jika kebutuhan saudaranya itu terpenuhi, maka dia keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ibunya melahirkannya, dan jika dia mati pada pertengahan itu maka dia akan masuk surga tanpa hisab.”

Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang keluar bersama saudara muslimnya untuk suatu hajat saudaranya itu, lalu dia menasehatinya mengenai hajatnya itu, maka Allah akan menjadikan antara dia dan neraka tujuh buah parit, jarak antara satu parit dengan satu parit yang lainnya jarak jauhnya antara langit dan bumi.”

***

Dari Ibnu Umar ra, dia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki beberapa kenikmatan yang diletakkan di hadapan beberapa kaum. Dia menetapkan dan menyediakan kenikmatan itu di samping mereka selama mereka peduli terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia sebelum mereka jenuh untuk memberikan bantuan. Apabila mereka telah bosan, maka Allah akan memindahkan kenikmatan itu kepada selain mereka.”

Dari Abu Hurairah ra ia berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tahukah Anda apa yang dikatakan serigala dalam kaumnya?” Mereka menjawab: “Allah dan rasulnya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda:  “Dia itu ialah orang yang berkata, ‘Ya Allah janganlah engkau kuasakan kepadaku seorang pun dari orang-orang yang ahli kebaikan.”

Ali bin Abi Thalib  berkata: “Demi Tuhan yang pendengaranNya meliputi segala macam suara, tidaklah ada seorangpun yang memasukkan kegembiraan dalam suatu hati, kecuali Allah akan menjadikan kegembiraan itu sebagai belas kasih. Lalu apabila datang sebuah bencana di hatinya berlarilah belas kasih itu menyambut bencana, sebagaimana air terjun, sehingga bencana itu menjadi tertolak, sebagaimana dihalanginya unta asing dari sekumpulan unta.”

Ali Bin Abi Thalib juga berkata: “Terbangkalainya suatu hajat adalah lebih ringan daripada mencarinya kepada orang yang bukan ahlinya.”

Ali Bin Abi Thalib berkata: “Janganlah yang kau memperbanyak kebutuhan pada saudaranya, karena sesungguhnya anak lembu apabila terlalu menghisap puting susu induknya tentu induk itu akan menanduknya.”

Seorang penyair menyatakan: “Janganlah sekali-kali anda memutuskan kebiasaan berbuat kebaikan dari seseorang, selagi anda mampu dan hari-hari ini tetap datang silih berganti. Dan ingatlah akan keutamaan perbuatan Allah, jika Ia menghendaki membalik posisi anda tengadahkan hajat itu di hadapan manusia.”

Demikian pula ucapan yang lain: “Penuhilah beberapa kebutuhan seseorang selagi anda mampu dan jadilah anda sebagai orang yang menggembirakan kesusahan saudara anda. Maka sungguh sebaik-baiknya hari bagi seorang pemuda adalah hari yang di dalamnya dia dapat memenuhi beberapa kebutuhan orang lain.” (Al-Ghazali, 2000: 343-345)

Baca Juga  Misbahul Arifin; Hafidz, Tunanetra, dan Pegiat Isu Toleransi

Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh beruntung orang yang dapat menghadirkan kebaikan di hadapan seseorang, dan sungguh celaka orang yang menghadirkan kejahatan di hadapan seseorang.”

Bentuk-bentuk Karakter Tawadhu

Adapun karakter tawadhu dalam pergaulan bermasyarakat dapat terlihat antara lain dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

  1. Tidak menonjolkan diri dari orang-orang yang level atau statusnya sama, kecuali apabila sikap tersebut menimbulkan kerugian bagi agama atau umat Islam.
  2. Berdiri dari tempat duduknya dalam satu majelis untuk menyambut kedatangan orang yang lebih mulia dan lebih berilmu daripada dirinya, dan mengantarkannya ke pintu keluar jika yang bersangkutan meninggalkan majelis.
  3. Bergaul dengan orang awam dengan ramah, dan tidak memandang dirinya lebih dari mereka.
  4. Mau mengunjungi orang lain sekalipun lebih rendah status sosialnya.
  5. Mau duduk-duduk bersama dengan fakir miskin, orang-orang cacat tubuh, dan kaum dhuafa lainnya, serta bersedia mengabulkan undangan mereka.
  6. Tidak makan minum dengan berlebihan dan tidak memakai pakaian yang menunjukkan kemegahan dan kesombongan. (Ilyas, 2009: 124-125)

Hikmah Memiliki Karakter Tawadhu

Adapun hikmah memiliki karakter tawadhu adalah:

1. Orang yang berkarakter tawadhu akan dihormati dan dihargai, dia senantiasa disenangi oleh masyarakat dan tidak ragu bergaul dengannya serta derajatnya dinaikkan di hadirat Allah SWT.

Sabda Rasulullah SAW:

“Tawadhu,  tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian (derajat). Oleh sebab itu tawadhulah kamu, niscaya Allah akan meninggikan (derajat)mu… (HR. Ad-Dailami)

2. Orang yang berkarakter tawadhu dimasukkan ke dalam kelompok hamba-hamba yang mendapatkan kasih sayang dari Allah Yang Maha Penyayang.

Firman Allah SWT:

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati…” (QS. Al-Furqan: 63)

3. Orang yang berkarakter tawadhu selalu dalam lindungan Allah dan pengawasan malaikat.

Sabda Rasulullah SAW:

“Tiada seorangpun kecuali bersamanya ada dua malaikat. dan pada orang itu ada tali kekang yang dipegang oleh dua malaikat atas orang itu. Jika ia mengangkat dirinya (sombong), pasti dua malaikat menarik dari kekangnya. Kemudian dua malaikat berdoa, “Ya Allah, rendahkanlah dia.” Jika orang tersebut merendahkan dirinya karena Allah, maka kedua malaikat berdoa, “Wahai Allah, tinggikanlah kemuliaannya.” (HR. Al-Baihaqi)

***

4. Orang yang berkarakter tawadhu hidupnya terarah di dalam nilai kebenaran.

Sabda Rasulullah SAW:

“Kebaikan bagi orang yang mau merendahkan dirinya, tidak karena kemiskinannya. Dan kebaikanlah bagi orang yang membelanjakan hartanya di mana harta itu tidak dikumpul-kumpulkannya dari perbuatan maksiat, ia berbelas kasih kepada orang yang hina dan orang miskin dan mau bergaul dengan ahli fikih dan ahli hikmah.” (HR. Ath-Thabrani)

5. Tiket kemuliaan diberikan oleh Allah kepada orang yang tawadhu.

Sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya aku tidak mengharamkan madu. Barangsiapa merendahkan diri karena Allah pasti dia diangkat kemuliaannya oleh Allah. Barangsiapa yang sederhana pasti dikayakan oleh Allah. Dan barangsiapa yang berbuat tabdzir (boros) pasti dijadikan miskin oleh Allah. Barangsiapa banyak berzikir (mengingat) Allah, pasti Dia akan mencintainya.” (HR. Ath-Thabrani)

6. Kemuliaan bagi orang yang mulia adalah dengan karakter tawadhu.

Sabda Rasulullah SAW:

“Sifat pemurah adalah takwa. Kemuliaan orang yang mulia itu adalah jika ia mau merendahkan dirinya. Dan keyakinan adalah kekayaan.” (HR. Abid Dunya)

Memelihara Karakter Tawadhu

Karakter tawadhu harus senantiasa dipelihara pada setiap diri manusia yang beriman kepada Allah dan rasulNya. Supaya terhindar dari sikap takabur, jauh dari kehinaan, serta terhindar dari perilaku aniaya pada diri sendiri dan orang lain. 

Maka ketawadhukan bukanlah asesoris dan ‘topeng’ belaka. Akan tetapi ia meruapakan ibadah hati yang terkadang tidak tampak namun dapat dirasakan oleh siapapun yang berada di sisi orang yang memiliki karakter tawadhu.

Ketawadhukan akan menjadi jati diri seseorang apabila proses internalisasi, aktualisasi dan ytansformasi karakter tawadhu dilakukan secara simultan dan kontiuitas. Sehingga ‘topeng’, action, adegan demi konten, postingan demi like ‘jempol’ dan kepalsuan lainnya sirna dari hati yang tercerahi dan akal yang cerdas.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa tidak mudah untuk memiliki karakter tawadhu. Sebab ada virus takabur dan sombong serta ujub yang sering menyelinap seperti semut gitam yang berjalan di atas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita dan pekat. Sehingga eksestensi bisikan dan godaannya bisa menjelinap pada hati siapapun, baik ulama, pejabat, selebritas, orang awam, dan seluruh umat manusia. Maka mari kita jujur terhadap diri sendiri! Bukalah topengmu!

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds