Akhlak

Karakter Wara’: Mendidik Diri Menjadi Pribadi yang Ihsan

7 Mins read

Dalam fase kehidupan manusia, ada saat-saat dimana kesadaran insani dan rohani akan muncul secara spiritualitas. Sehingga kesadaran insani dan rohani memunculkan sikap spiritualitas terhadap diri sendiri dan kehidupan sekitar. Keberartian dan kemanfaatan manusia terlihat dari ‘pengenalan’ diri secara privasi dengan kesadaran insani dan rohani yang pada kehidupan nyata memberi arti dan manfaat secara publik atau sosial kemanusiaan.

Kalau karakter takwa mengajak kepada semua nilai kebaikan dan menjauhi segala nilai keburukan, maka karakter wara’ mengajarkan menjadi pribadi yang terbaik dan lebih baik (ihsan), sehingga kesatuan kesadaran insani dan rohani menjadi satu dalam spiritualitas yang paripurna (insan kamil).

Karena bersifat kejiwaan (psikologis), sehingga karakter wara’ perlu menjadi kajian secara intensif, sebab proses internalisasi, aktualisasi dan tranformasi karakter wara’ memerlukan sikap kesadaran insani dan rohani dengan makna esoterik karena berada pada sisi terdalam dalam hati rohani semua manusia.

Tidak diragukan lagi bahwa membersihkan jiwa dari najis dan kekurangannya adalah bentuk pensucian yang diperintahkan, karena dengan itulah sempurnanya kesehatan amal dan akhlak. Yang dimaksud dengan wara’ adalah membersihkan kotoran hati dan najisnya sebagaimana air menghasilkan pakaian dan najisnya. Antara pakaian dengan hati terdapat keselarasan yang jelas.

Pengertian Wara’

Wara’ diambil dari kata yang terdiri dari huruf waw, ra dan ‘ain, yang berarti menahan, mengepal. Wara’ menurut bahasa adalah menjaga kesucian, yaitu menahan diri dari yang tidak pantas, maka dikatakan tawara’ jika seseorang merasa sempit. Wara’ adalah takwa.

Suara menurut istilah syariat adalah, meninggalkan yang meragukan, menentang yang membuatmu tercela, mengambil yang lebih terpercaya, mengarahkan diri kepada yang lebih hati-hati. Wara’ adalah menjauhi yang syubhat (samar) dan mengawasi yang berbahaya.

Ibnu Taimiyah mendefinisikan bahwa wara’ adalah dari yang ditakuti akibatnya, yaitu dari yang diketahui haramnya dan yang ditakutkan keharamannya, dalam meninggalkannya tidak terdapat bahaya yang lebih besar daripada melakukannya.

Ibnu Al Qayyim mendefinisikan wara’ adalah meninggalkan yang dikhawatirkan kemudaratannya  di akhirat.

Ibrahim berkata wara’ adalah meninggalkan semua yang syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat adalah meninggalkan hal yang berlebihan. (Al-Munajjid, 2004: 271)

Sedangkan dalam padangan Al-Ghazali, kadang-kadang wara’ berarti kondisi tertinggi dari takwa. Kadang-kadang takwa berarti maqam tertinggi dari wara’.

Macam-macam Karakter Wara’

Ibrahim bin Adham berkata wara’ ada dua macam: Wara’ yang wajib dan wara’ berhati-hati. Adapun wara’ yang fardhu, yaitu wara’ dari maksiat, dan wara’ berhati-hati yaitu wara’ dari syubhat.

Abu Lais berkata, wara’ yang murni yaitu menjaga mata daripada yang haram, dan menjaga lidah daripada dusta dan ghibah dan menjaga anggota (pancaindra) dari segala yang haram. (Assamarqandi, 2005: 721)

Keutamaan Karakter Wara’

Adapun keutamaan memiliki karakter wara’  bagi setiap hamba Allah adalah:

1. Wara’ adalah salah satu tingkatan dari tingkatan.

Firman Allah:

“Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 4)

2. Wara’ merupakan wujud kehati-hatian dalam segala tindak tanduk.

Firman Allah:

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51)

Baca Juga  Menakar Kemampuan Berkurban Kita

3. Wara’  identik dengan “Pakaian” yang  bersih dari pengkhianatan dan kedustaan.

Firman Allah:

“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir: 4)

Maksudnya adalah sucikanlah dirimu dari dosa. Jiwa dikiaskan dengan pakaian, ini merupakan pendapat para ahli tafsir sebagaimana yang dikatakan oleh Ghailan Ats-Tsaqafi, “Segala puji bagi Allah, tidak ada pakaian penghianatan yang aku pakai, dan tak ada kedustaan yang kujadikan kerudung.”

4. Wara’ cermin pribadi yang terpelihara dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

Sabda Rasulullah SAW:

“Dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)

5. Wara’ merupakan wujud penghambaan diri kepada Allah.

Sabda Rasulullah SAW:

“Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau menjadi orang yang paling menghambakan diri kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

6. Wara’ adalah sebagai benteng memelihara diri dari dosa dan kemaksiatan.

Sabda Rasulullah SAW:

“Dosa adalah apa yang bergejolak dalam dirimu dan benci untuk diketahui manusia.” (HR. Ahmad)

7. Dengan berkarakter wara’ maka Allah akan mengganti yang lebih baik apabila meninggalkan sesuatu yang syubhat.

Sabda Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya kamu tidak meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla kecuali Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya.” (HR. Ahmad)

8.Memiliki karakter wara’ adalah suatu keberuntungan.

Sabda Rasulullah SAW:

“Empat perkara jika semuanya ada padamu, maka tidak ada yang hilang darimu (keuntungan) dunia: Menjaga amanah, jujur dalam bicara, baik akhlak dan iffah (menjaga kehormatan diri) dalam makanan.” (HR. Ahmad)

9. Wara’ adalah wujud kehati-hatian dan waspada terhadap sesuatu yang samar.

Sabda Rasulullah:

“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, yang haram itu telah jelas, di antara keduanya ada yang masih sama dan tidak banyak manusia yang tahu. maka siapa yang menjauhi hal yang samar tersebut niscaya agama dan kehormatan yang terpelihara, dan siapa yang melakukan hal yang samar nanti dia telah jatuh dalam sesuatu yang haram, seperti seorang pengembala yang menyebar dari sekitar padang larangan yang menyebabkan gembalanya hampir memakan rumput padang tersebut, ketahuilah bahwa setiap Raja mempunyai tanah larangan dan larangan Allah adalah hal-hal yang telah diharamkannya, ketahuilah dalam tubuh ada segumpal daging bila ia baik seluruh anggota tubuh menjadi baik, dan bila ia rusak seluruh tubuh menjadi rusak, ketahuilah ia adalah hati. (HR. Muttafaq ‘alaih)

10. Wara’ adalah wujud kesederhanaan dalam hidup.

Sabda Rasulullah SAW:

HambaKu kerjakan apa yang Aku wajibkan atasmu niscaya kamu menjadi seibadat-ibadat manusia (manusia paling ibadat). Dan tinggalkan apa yang Aku larang niscaya kamu menjadi manusia yang paling wara’. Dan terimalah apa yang Aku berikan kepadamu daripada rezeki, niscaya kamu menjadi sekaya-kaya manusia (manusia yang paling kaya).

Tingkatan Karakter Wara’

Para ulama memiliki dua pandangan tentang tingkatan karakter wara’; ada yang berpendapat bahwa wara’ memiliki empat tingkatan, yakni:

Pertama, wara’ al-‘udul (wara’ orang-orang yang memiliki kelayakan moralitas), yaitu setiap hal yang oleh fatwa harus diharamkan di antara hal yang masuk ke dalam kategori haram mutlak yang bila dilanggar maka pelanggarnya dinilai melakukan kefasikan dan kemaksiatan.

Kedua, contohnya adalah setiap subhat yang tidak wajib dijauhi tetapi dianjurkan untuk menjauhi. Sedangkan apa yang wajib dijauhi maka dimasukkan ke dalam yang haram, diantaranya apa yang dibenci untuk dijauhi karena bersikap wara’ darinya merupakan wara’ orang-orang yang was-was; seperti orang yang tidak mau berburu karena takut jika buruan itu lepas dari seorang yang telah menangkap dan memilikinya. Ini adalah was-was. Sedangkan yang diambilkan untuk dijauhi tetapi tidak wajib adalah apa yang disebutkan di dalam sabda Nabi Saw: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Hibban) Hal ini kita pahami sebagai larangan tanzihi (preventif)

Baca Juga  Kritik: Manusia sebagai Makhluk Multidimensi

Ketiga, wara al muttaqin. Sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi SAW: “Seorang hamba tidak akan mencapai derajat Muttaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena takut terhadap apa yang berdosa.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim)

Umar ra berkata: “Kami dahulu meninggalkan 9/10 barang yang halal karena takut terjerumus ke dalam yang haram.”

Abu Darda ra berkata, “Termasuk kesempurnaan takwa ialah hendaknya seorang hamba bertaqwa dalam masalah kecil seberat biji sawi sekalipun sehingga dia meninggalkan sebagian yang dilihatnya halal karena takut menjadi haram, agar menjadi penghalang antara dirinya dan neraka.”

Keempat, wara ash-shiddiqin. Halal di sisi mereka adalah setiap hal yang dalam sebab-sebabnya tidak didahului oleh kemaksiatan, tidak dipergunakan untuk kemaksiatan, dan tidak boleh dimaksudkan untuk melampiaskan kebutuhan baik sekarang maupun di masa yang akan datang, tetapi di makan semata-mata karena Allah dan untuk memperkuat ibadah kepadaNya dan mempertahankan kehidupan karenaNya.

Ini adalah tingkatan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) yang telah terhindar dari tuntutan nafsu mereka kemudian memurnikan tujuan hanya kepada Allah. Tidak dilakukan bahwa orang yang menghindari hal yang dapat membawanya kepada kemaksiatan pasti menghindari hal yang menyertai kemaksiatan dengan sebab usahanya.

Oleh sebab itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra memuntahkan susu dengan kuat (dari dalam perutnya) karena takut mengandung hal yang haram, padahal ia meminumnya dalam keadaan tidak tahu. Sebenarnya ia tidak harus mengeluarkannya tetapi menghindarkan perut dari hal yang buruk adalah termasuk wara’ ash-shiddiqin.

Kesimpulannya, bahwa wara’ memiliki batas awal yaitu menghindari hal-hal yang diharapkan oleh fatwa, yaitu wara’ al-‘udul, dan juga memiliki batas akhir yaitu wara ash-shiddiqin, yakni menghindari setiap hal yang bukan karena Allah, di antara hal yang diambil dengan syahwat atau dicapai dengan cara yang makruh atau berkaitan dengan hal yang makruh. Antara kedua tingkat tersebut ada beberapa tingkatan kehati-hatian. Semakin ketat seseorang hamba terhadap dirinya semakin ringan pula bebannya pada hari kiamat dan semakin cepat melintasi jembatan. (Hawwa, 2005: 361-363)

Sebagian ulama lainnya  membagi wara’ kepada tiga tingkatan yakni:

Pertama, wajib, yaitu meninggalkan yang haram dan ini umum untuk seluruh manusia.

Kedua, menahan diri dari yang syubhat (samar) dilakukan oleh sebagian kecil manusia.

Ketiga, meninggalkan kebanyakan perkara yang mubah (boleh), membatasi diri dengan yang benar-benar penting, ini dilakukan oleh para nabi, orang-orang yang benar (shiddiqin), para syuhada dan orang-orang saleh. (Al-Munajjid, 2004: 273)

Baca Juga  Idulfitri untuk Mengembalikan Autentisitas Diri

Otentisitas Karakter Wara’

Sebagai hamba Allah, kita harus berusaha memahami dan mengamalkan karakter wara’ secara otentik terhadap diri pribadi dan kehidupan sosial.

Dalam pandangan Abu Laits ia berkata, bahwa tanda-tanda wara’ itu jika seseorang telah menganggap ada 10 macam kewajiban terhadap dirinya, yakni:

1. Menjaga lidah dari ghibah, karena firman Allah: “Dan janganlah mengghibah setengah kamu terhadap setengahnya.”; ghibah artinya menyebut kejelekan orang lain kepada lain orang.(QS. Al- Hujurat)

2. Meninggalkan su’udzon (buruk sangka), karena firman Allah: “Tinggalkanlah kebanyakan dari prasangka karena sebagian prasangka itu dosa.” (QS. Al- Hujurat), serta Sabda Rasulullah SAW: “Hati-hatilah kamu dari prasangka sebab prasangka itu sedusta-dusta bicara.”

3. Meninggalkan mengejek (menghina orang), karena firman Allah: “Jangan mengejek suatu kaum terhadap yang lain, kemungkinan yang dihina atau yang diejek itu lebih baik daripada yang menghina atau mengejek.” (QS. Al-Hujurat)

4. Memejamkan mata dari yang haram, karena firman Allah: “Katakanlah kepada orang mukmin supaya sedikit memejamkan matanya.” (QS. An-Nur: 30)

5. Berkata benar,  karena firman: “Allah jika kamu berkata-kata hendaklah adil, jujur, dan benar.”

6. Mengingat nikmat Allah pada dirinya, supaya tidak sombong diri, karena firman Allah: “Bahkan Allah yang memberi karunia padamu ketika memberimu hidayah sehingga kamu beriman jika kamu benar-benar mengerti.” (QS Al-Hujarat)

7. Membelanjakan hartanya untuk hak dan tidak menggunakan harta untuk yang batil karena firman Allah: “Dan mereka yang membelanjakan hartanya tidak boros, juga tidak kikir (yakni tidak digunakan untuk maksiat dan tidak menolak amal kebaikan) dan mereka dalam belanja hemat (sedang).” (QS. Al-Furqon).

8. Tidak mengharap kedudukan dan tidak sombong karena firman Allah: “Tempat di akhirat itu Kami sediakan untuk mereka yang tidak menginginkan kedudukan/ ketinggian di atas bumi dan tidak ingin kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 83).

9. Menjaga waktu sembahyang 5 waktu serta kesempurnaan rukuk, sujudnya, karena firman Allah: “Jagalah waktu-waktu sembahyang terutama sembahyang yang pertengahan, dan tegakkanlah dalam sembahyang dengan khusuk, diam bermunajat.” (QS. Al-Baqarah: 238)

10. Istiqomah mengikuti sunnaturrasul dan jamaatulmuslimin, karena Firman Allah: “Dan inilah ajaranku (ajaran yang menuju kepada keridhaanKu), lurus, benar, maka ikutilah dan jangan mengikuti jalan-jalan yang lain, maka akan terpisah jauh dari jalan Allah. Demikianlah pesan Allah kepadamu supaya kamu bertakwa.” (QS. Al An’am: 153)

Hikmah Karakter Wara’

Ada beberapa hikmah yang terdapat dari karakter wara’, yakni:

  1. Terhindar dari azab Allah, pikiran menjadi tenang dan hati menjadi tentram.
  2. Menahan diri dari yang haram.
  3. Tidak menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
  4. Mendatangkan cinta Allah karena Allah mencintai orang-orang yang wara’.
  5. Membuat doa dikabulkan, karena manusia jika mensucikan makanan, minuman dan bersifat wara’, lalu mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, maka doanya akan segera dikabulkan.
  6. Mendapatkan keridhaan Allah dan bertambahnya kebaikan.
  7. Terdapat perbedaan tingkatan manusia di dalam surga sesuai dengan perbedaan tingkatan wara’ mereka. 

Apabila nilai-nilai karakter wara’ yang dijelaskan di atas dapat terinternalisasi, teraktualisasi dan bertransformasi pada diri pribadi dan kehidupan sosial kemanusiaaan, tentu tatanan kehidupan, kemanusiaan dan kesemestaan akan senantiasa aman, tenang dan tentram.

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…
Akhlak

Hidup Sehat ala Rasulullah dengan Mengatur Pola Tidur

4 Mins read
Mengatur pola tidur adalah salah satu rahasia sehat Nabi Muhammad Saw. Sebab hidup yang berkualitas itu bukan hanya asupannya saja yang harus…
Akhlak

Jangan Biarkan Iri Hati Membelenggu Kebahagiaanmu

3 Mins read
Kebahagiaan merupakan hal penting yang menjadi tujuan semua manusia di muka bumi ini. Semua orang rela bekerja keras dan berusaha untuk mencapai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *