Karakter adalah ciri, keunikan atau sifat khas yang melekat pada sesuatu, baik itu pada benda maupun manusia. Contohnya, karakter orang ini penyabar atau karakter benda ini lunak dan lain-lainnya. Sehingga jika disebut karakteristik tafsir yaitu ciri, keunikan atau sifat khas yang melekat pada kitab tafsir. Ciri, keunikan atau sifat khas ini menjadi identitas tersendiri yang melekat dan membedakan dengan dengan kitab-kitab tafsir lainnya. Lalu, bagaimanakah karakteristik Tafsir At-Tanwir?
Karakteristik Tafsir At-Tanwir
Kitab Tafsir At-Tanwir memiliki karakteristik tersendiri. Ada tiga karakteristik yang melekat pada Tafsir At-Tanwir. Ketiga karakteristik inilah yang membedakan Tafsir At-Tanwir dengan tafsir-tafsir yang lain. Berikut adalah karateristik kitab Tafsir At-Tanwir:
Responsivitas adalah tafsir yang mampu merespons terhadap berbagai problem-problem aktual kekinian. Sehingga produk tafsir semacam ini memiliki sensitifitas terhadap permasalahan yang mengitarinya. Seyogyanya tafsir yang berkarakter responsif seharunya mampu memberikan jawaban dan solusi terhadap problem-problem aktual kekinian yang sedang perkembang dan dihadapi masyarakat.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, menegaskan bahwa Tafsir At-Tanwir diharapkan respons terhadap situasi konkret lebih ditonjolkan sehingga Tafsir At-Tanwir tidak sekadar kumpulan dan kliping terhadap tafsir-tafsir yang sudah ada, melainkan diupayakan sebagai pencerminan dari dialog dan pergulatan dengan persoalan konkret yang sedang berkembang (Lihat, Tafsir At-Tanwir Juz 1, hlm. viii).
Respons Tafsir At-Tanwir terhadap persoalan ke Indonesiaan rupanya tampak ketika menafsirkan surat Al-Fatihah ayat ke-5. Dalam Tafsir At-Tanwir telah dijelaskan bahwa ada dua cara untuk menempuh kehidupan yang diisyaratkan dalam ayat ke 5 dari surat Al-Fatihah.
Dua jalan tersebut adalah ibadah (pengabdian) dan isti’anah (permohonan pertolongan). Keduanya merupakan satu kesatuan. Ibadah merupakan perwujudan dari tauhid uluhiyyah yaitu keyakinan yang kuat dalam hati setiap muslim bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan yang patut dijadikan llah (Tuhan) yang haq (Tafsir At-Tanwir Juz 1, hlm. 59).
Ibadah bukan hanya dilakukan oleh manusia, namun juga dilakukan oleh semua makhluk Allah swt, baik itu yang di langit maupun yang di bumi. Seluruh langit dan bumi dengan segala isinya bertasbih kepada Allah. Inilah yang di tegaskan oleh Allah swt di dalam QS. al-Jumu’ah [62]: 1 dan QS. ar-Ra’du [13]: 13.
Tafsir yang Responsif
Ketika menafsirkan ayat ke 5 dari surat Al-Fatihah, Tafsir At-Tanwir memunasabahkan dengan QS. al-Jumu’ah [62]: 1 dan QS. ar-Ra’du [13]: 13 yaitu tentang tasbihnya (ibadah) alam semesta dan sesisinya kepada Allah swt. Di bawah ini penulis kutibkan keterangan Tafsir At-Tanwir terkait penafsiran surat Al-Fatihah ayat ke 5 yang dimunasabahkan dengan QS. al-Jumu’ah [62]: 1 dan QS. ar-Ra’du [13]: 13 yang kemduian dikaitkan dengan kondisi sosial lingkungan ke-Indonesiaan:
“Tasbih alam kepada Allah sebagai wujud pengabdiannya kepada Allah, dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika Allah menurunkan hujan, serentak tanah-tanah menjadi subur, tanaman tumbuh menjadi subur. Air dimanfaatkan manusia untuk dikonsumsi, dimanfaatkan binatang ternak, ada yang mengalir menjadi sungai, yang kemudian oleh manusia dialirkan ke saluran sungai-sungai kecil, menjadi waduk untuk mengairi sawah, budi daya ikan, pariwisata, dan lain-lain.
Sebaliknya, ketika tumbuhan dan pepohonan yang berfungsi menyimpan air tanah ditebangi, benda-benda tambang dikuras, aliran sungai dihuni manusia, sungai-sungai menjadi dangkal, kotor penuh sampah, maka ketika hujan turun, airpun bertasbih. Alllah menunjukkan kuasanya, menghancurkan peradaban yang telah dibangun oleh manusia, tetapi juga dirusak oleh manusia sendiri.” (Tafsir At-Tanwir Juz 1, hlm. 60).
Penafsiran surat Al-Fatihah ayat ke-5 yang kemudian dikaitkan dengan isu-isu lingkungan seperti kutipan di atas merupakan bentuk respons Tafsir At-Tanwir terhadap isu lingkungan yang saat ini sedang dihadapi Indonesia. Indonesia sendiri merupakan Negara tropis dengan jumlah hutan yang luas.
Bahkan hutan Indonesia dijuluki sebagai jantungnya kehidupan dunia. Namun kenyataanya saat ini hutan di Indonesia sudah mulai rusak, baik karena kepentingan politik maupuan karena penebangan liar. Hutan yang rusak inilah yang kemudian menyebabkan berbagai bencana di Indonesia, seperti banjir dan tanah longsor.
Begitupun dengan masalah sungai yang banyak dicemari sampah, sampai kekayan tambang yang habis dikuras demi kepentingan segelintir orang.
Respons Kepercayaan Masyarakat
Respons Tafsir At-Tanwir juga tampak ketika misalnya menafsirkan surat Al-Baqarah ayat ke-21 dan 22 tentang larangan menyekutukan Allah swt. Jika di zaman Rasulullah saw orang-orang makkah menyekutukan Allah dalam bentuk menyembah berhala, berbeda halnya berhala dalam konteks Indonesia.
Berhala dalam konteks Indonesia adalah tradisi-tradisi nenek moyang yang dicampuradukkan dengan ajaran Islam. Di dalam Tafsir At-Tanwir dijelaskan sebagai berikut:
“…Hingga saat ini masih banyak umat manusia yang menyembah berhala dengan cara sesaji. Terkadang kita mendapatkan sebagian umat Islam yang karena berpegang kuat dengan tradisi, berziarah kubur dengan semangat yang kurang lebih sama dengan sesaji. Mereka juga meyakini ada tempat-tempat keramat di sudut pekarangan rumah, atau di persimpangan jalan, di sudut desa, dan lain-lain, yang pada momen tertentu seperti ketika mantu, mereka harus memberi sesaji di tempat yang dipercayai keramat terebut. Ayat 20-21 surah Al-Baqarah ini masih relevan untuk meluruskan akidah semacam ini.” (Tafsir At-Tanwir Juz 1, hlm. 151-152).
Penafsiran surat Al-Baqarah ayat ke-21 dan 22 tentu sangat relevan jika dikontekskan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak menganut kepercayaan-kepercayaan kepada tradisi-tradisi tersebut. Penafsiran yang dilakukan dalam Tafsir At-Tanwir yang kemudian dikaitkan dengan kondisi ke-Indonesiaan tersebut tentu sangat sejalan dengan misi Muhammadiyah yang inging memberantas Tahayul, Bid’ah dan Khurafat, atau yang dikenal dengan istilah TBC.
TBC merupakan penyakit yang dapat merusak Tauhid seorang Muslim. Penafsiran surat Al-Baqarah ayat ke-21 dan 22 yang kemudian diakitkan dengan masalah TBC tersebut juga sejalan dengan Pokok Pikiran Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, yaitu hidup manusia harus berdasar Tauhid (meng-esa-kan) Allah; ber-Tuhan, beribadah, serta tunduk dan taat hanya kepada Allah (Lihat, Haedar Nashir, Memahami Ideologi Muhammadiyah, hlm. 74).
Respons untuk Perpolitikan
Berdasarkan karakteristik Tafsir At-Tanwir yang responsif, tafsir ini turut merespons kondisi perpolitikan di Indoneisa. Misalnya ketika menafsirkan ayat 83-84 dari surat Al-Baqarah yaitu tentang perjanjian Bani Israil dan penolakan mereka terhadap kenabian Muhammad saw. Di bawah ini penulis kutibkan penafsiran surat Al-Baqarah ayat 83-84 dalam Tafsir At-Tanwir sebagai berikut:
“Pada Q.S. Al-Baqarah (2): 83-84 tercantum perjanjian yang diikrarkan oleh Bani Israil kepada Allah melalui utusan-Nya. Perjanjian Bani Israil itu dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 83-84 disebut sebagai mitsaq (مِيثَاقَ). Menurut pakar kosa kata Al-Qur’an, al-Raghib al-Ashfahani, kata mitsaq (مِيثَاقَ) berarti perjanjian yang diperkuat dengan sumpah.” (Tafsir At-Tanwir Juz 1, hlm. 341).
Di bawah ini penulis kutibkan komentar Tafsir At-Tanwir ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah (2): 83-84 tentang pentingnya perjanjian dan pentingya pula menepati janji yang kemudian dikaitkan dengan kondisi perpolitikan di Indonesia dewasa ini:
“Pada sejumlah kampanye politik menjelang hari pemungutan suara pada pemilihan legislatif dan eksekutif, tidak jarang kita membaca dan mendengar janji-janji yang dilontarkan oleh calon-calon anggota legistalif dan calon-calon pemimpin, baik calon-calon pemimpin ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, seperti calon gubernur, calon bupati dan calon wali kota.
Para calon yang bertarung diajang pemilihan umum itu berupaya meraup suara para calon pemilih dengan mengikrarkan janji mereka untuk memperjuangakan kesejahteraan pemilihnya, untuk memberantas korupsi, dan sebagainya…. Setelah masa pemiliha umum usai, tidak jarang mereka yang terpilih itu seperti tidak ingat dengan janji-janji yang mereka lontarkan.
Sebagian mereka tampak dengan mudah melanggar janji-janji yang telah mereka ikrarkan sebelumnya, dan seakan-akan janji yang pernah dilontarkan selama kampanye tidak memiliki ikatan dengan diri mereka sama sekali. Janji-janji yang pernah dilontarkan seakan-akan hanya pemanis bibir tanpa kemauan kuat untuk mewujudknnya setelah mereka terpilih jadi anggota legislatif atau pemimpin di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.” (Tafsir At-Tanwir Juz 1, hlm. 343-344).
Penafsiran ayat 83-84 dari surat Al-Baqarah yaitu tentang perjanjian Bani Israil tentu menjadi relevan dan menarik ketika kemudian dihubungkan dengan kondisi perpolitikan di Indonesia dewasa ini. Apa lagi mulai tahun 2018 Indonesia tengah menghadapi pemilihan umum. Ditambah lagi pada tahun 2019, yaitu pemilihan presiden. Terlihat bahwa Tafsir At-Tanwir memuat tafsir yang responsif.
Tentu karakteristik Tafsir At-Tanwir tidak hanya sampai di sini. (Bersambung)
Editor: Nabhan